Gempa Sulbar, Momentum Pembenahan Penanganan Bencana
Bencana gempa yang melanda Majene-Mamuju, Sulawesi Barat, harus menjadi momentum untuk pembenahan manajemen kebencanaan, mulai dari penyaluran bantuan bahan pangan hingga pendataan kerusakan rumah.
Gempa berkekuatan M 6,2 mengguncang Sulawesi Barat sebulan lalu. Selain jatuhnya korban jiwa, sejumlah rumah dan fasilitas umum rusak, terutama di Mamuju dan Majene, dua kabupaten yang paling dekat dengan pusat gempa. Bencana itu harus menjadi momentum pembenahan penanganan bencana mengingat daerah itu dan Indonesia pada umumnya diintai gempa yang bisa mengguncang kapan saja.
Kamal (28) bingung. Dalam sebulan terakhir, sudah 10 orang yang menghampirinya di Kelurahan Mamunyu, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, untuk mendata kerusakan rumah.
”Begitu saya cek di kantor kelurahan, tidak ada data terkait kerusakan rumah. Saya bingung, apakah ini pendataan betul atau hanya modus untuk digunakan buat kepentingan orang tak bertanggung jawab,” katanya, di Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (16/2/2021).
Karena tak mau terombang-ambing ketidakjelasan, bapak dua anak itu memutuskan untuk memperbaiki sendiri rumahnya. Enam tiang rumahnya terlepas dari pangkuan beton. Ia menghabiskan Rp 1 juta untuk memperbaiki rumah yang terletak tak jauh dari pantai itu.
Ia tinggal menunggu perbaikan meteran dari PT Perusahaan Listrik Negara karena meteran itu jatuh dan terkena air. Sambil menunggu perbaikan meteran, ia bersama keluarganya masih mengungsi di halaman masjid setempat.
Pendataan rumah rusak akibat gempa, seperti yang diungkapkan Kamal tadi, masih terus berjalan. Juru Bicara Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulbar Natsir menyatakan, rumah rusak terdata yang sudah divalidasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebanyak 14.173 unit dari 16.116 yang disetor Pemerintah Provinsi Sulbar. Jumlah rumah rusak terbanyak di Mamuju.
Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai, beberapa waktu lalu, memastikan data rumah rusak tidak dikunci alias masih bisa terus berkembang. Jika ada penyintas yang belum terdaftar, pemerintah tetap membuka pendaftaran susulan.
Rumah didata agar penyintas mendapat dana stimulan perbaikan atau pembangunan kembali rumah. Akhir Februari, ditargetkan dana stimulan perbaikan rumah bisa dicairkan. Dana stimulan masing-masing Rp 10 juta untuk rumah rusak ringan, Rp 25 juta (rusak sedang), dan Rp 50 juta (rusak berat).
Pada fase awal penanganan bencana, masalah juga mencuat terkait distribusi bantuan bahan pangan dan kebutuhan darurat.
Gempa bermagnitudo 6,2 mengguncang Sulbar, Jumat (15/1/2021) pukul 02.28 Wita. Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulbar mencatat 91 orang tewas dalam bencana tersebut, masing-masing 80 orang di Mamuju dan 11 orang di Majene. Tiga orang dinyatakan hilang dalam timbunan longsor di Majene. Korban meninggal karena runtuhan bangunan dan rumah serta longsor akibat guncangan gempa. Ratusan orang mengalami luka-luka.
Tercatat sekitar 90.000 orang mengungsi karena gempa tersebut. Jumlah pengungsi saat ini terus berkurang karena banyak penyintas yang telah kembali ke rumah, terutama yang rumahnya rusak ringan.
Masalah pendataan, seperti yang diutarakan Kamal tadi, hanya salah satu titik lemah penanganan bencana di Sulbar. Pada fase awal penanganan bencana, masalah juga mencuat terkait distribusi bantuan bahan pangan dan kebutuhan darurat, seperti kebutuhan anak-anak dan perempuan serta tenda pengungsi.
Kala itu, di rumah jabatan Wakil Bupati Mamuju, yang dijadikan Posko Induk Logistik, Andra (36), mengomel. Sudah memacu kendaraan sekitar 25 kilometer, ia tak mendapatkan bantuan bahan pokok sedikit pun.
”Malah saya diminta datang lagi esok, tetapi apakah dijamin esok bantuan itu ada?” gerutunya sesaat setelah duduk di beton pembatas jalan di depan rumah jabatan Wakil Bupati Kabupaten Mamuju di Jalan Ahmad Kirang, Mamuju, Senin (18/1/2021).
Andra tidak mendapat bantuan hari itu karena distribusi diakhiri. ”Stok logistik menipis katanya,” ujarnya. Saat itu, stok bahan pangan di tenda posko memang masih ada, tetapi jumlahnya sudah sedikit.
Andra bersama sebagian warga Desa Tadui yang rumahnya berada di pinggir Jalan Poros Mamuju-Topoyo, Mamuju Tengah, sudah empat hari mengungsi di titik ketinggian. Selama empat hari itu, bahan pangan mereka makin menipis.
”Saya datang untuk ambil logistik. Keluarga-keluarga di posko saya masih punya bahan makanan, tetapi sudah mau habis semua. Ada yang berasnya tinggal 2 liter,” ucapnya.
Andra hanya satu dari puluhan penyintas yang pulang dengan tangan hampa siang itu. Yang lainnya tetap berdiri di gerbang posko berharap tetap diberikan bantuan meskipun itu tak terlaksana.
Saat awal bencana, tak meratanya distribusi bantuan paling parah dialami warga yang aksesnya terisolasi karena dampak gempa. Itu terjadi di Kecamatan Ulumanda dan Malunda, Kabupaten Majene. Dua wilayah itu merupakan yang paling dekat dengan pusat gempa. Penyintas di dua daerah itu baru tersentuh bantuan hampir seminggu pascagempa, itu pun jumlahnya terbatas.
Akses menjadi kendala utama karena terjadi longsor di sejumlah titik jalan. Bantuan pun disalurkan sukarelawan yang menembus jalur longsor dengan sepeda motor. Selain itu, logistik diantar dengan helikopter yang kadang tak bisa mendarat karena cuaca buruk.
Baca juga : Banyak Daerah Belum Tersentuh Bantuan
Tak meratanya distribusi bantuan, kata Sekretaris Daerah Provinsi Sulbar Idris, karena belum jelasnya data pengungsi, mulai dari jumlah hingga titik persebarannya. Pembenahan data pengungsi menjadi kunci utama distribusi bantuan. Data berbasis desa memang baru terkumpul pada Sabtu (23/1/2021) atau delapan hari pascagempa dengan total pengungsi 90.000 jiwa.
Sebenarnya, tanpa data yang jelas pun, karena memang setiap kali bencana masalah data di awal-awal pasti simpang siur, distribusi bantuan bisa berjalan baik jika mekanismenya diatur dengan bagus. Hal ini, misalnya, dengan penyaluran melalui desa atau kelurahan.
Asumsinya, aparatur desa atau kelurahan mengetahui gambaran jumlah pengungsi dan persebarannya. Jika pun bahan pangan yang dibagikan tak sepadan dengan jumlah pengungsi, desa bisa mengatur ulang agar semua pengungsi kebagian.
Di Mamuju, penyaluran melalui desa baru dilakukan pada hari keenam pascagempa. Sebelumnya, distribusi bantuan dilakukan langsung kepada penyintas di posko induk ataupun di posko-posko yang tersebar di Kota Mamuju. Masalahnya, petugas tidak bisa mengontrol dan memastikan penyintas dari posko atau tempat pengungsian yang sama mendapatkan jatah berkali-kali dengan mengganti orang yang menerima bantuan di posko induk.
”Distribusi lewat desa lebih teratur meskipun bantuan tak sebanyak jumlah pengungsi. Itu nanti kami atur agar semua keluarga mendapat jatah,” kata Kepala Urusan Perencanaan Desa Botteng Utara, Kecamatan Simboro, Mamuju, Daud Kuatur, yang desanya baru sekali mendapatkan penyaluran bantuan bahan pangan setelah hampir seminggu gempa.
Kendala distribusi bantuan pangan memang terjadi hampir di setiap daerah bencana, terutama di awal-awal petaka melanda. Di Palu, Sulawesi Tengah, misalnya, saat daerah itu diguncang gempa M7,4 pada 28 September 2018, distribusi logistik juga bermasalah. Tak hanya distribusi yang tak merata, bahkan ada fenomena kelangkaan logistik seminggu pascagempa.
Kami meminta Pemerintah Provinsi Sulbar menyusun rencana aksi daerah terkait penanganan bencana.
Merujuk pada morat-maritnya penanganan bencana lalu, Sekretaris Fraksi Partai Nasdem di DPRD Sulbar Hatta Kainang menegaskan, Pemerintah Provinsi Sulbar harus menyiapkan desain besar penanganan bencana. Itu mulai dari rencana aksi prabencana, seperti penentuan titik evakuasi atau pengungsian, simulasi, pelatihan, dan sosialisasi pengurangan risiko bencana.
Selain itu, ada pula penanganan saat darurat, termasuk pembagian tugas yang jelas antarpihak sampai ke tingkat desa dalam penyaluran logistik dan bantuan darurat lainnya; dan penanganan pascabencana, mulai dari pendataan kerusakan hingga upaya pemulihan ekonomi-sosial penyintas.
”Kami meminta Pemerintah Provinsi Sulbar menyusun rencana aksi daerah terkait penanganan bencana. Ini menjadi payung hukum bagi pemerintah kabupaten untuk menindaklanjutinya sehingga penanganan bencana bisa berjalan saat memang diperlukan,” katanya yang menyinggung minimnya pembahasan penanganan bencana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Sulbar 2017-2022.
Pembenahan harus dilakukan agar buruknya penanganan bencana tak menjadi cerita berulang, baik di dua daerah ini maupun untuk daerah-daerah lain di Indonesia ke depan. Ini karena gempa hanya soal waktu saja melanda negeri cincin api ini. Bencana saat ini menjadi kesempatan bagi para pemangku kepentingan untuk merapatkan lagi barisan penanganan darurat, utamanya distribusi logistik.
Berbagi pengalaman bersama daerah lain terkait penanganan kedaruratan dan pascabencana bisa memperkaya pengetahuan dan pengalaman para pihak. Regulasi untuk mendukung langkah itu perlu disusun dan terutama dioperasionalisasikan.
Baca juga : Bantuan di Mamuju Disalurkan melalui Desa agar Merata
Pemerintah juga perlu memiliki logistik tersedia untuk menanggulangi kebutuhan masa darurat. Pun warga harus diedukasi untuk selalu menyimpan persediaan bahan makanan yang cukup di rumah. Bantuan dari luar memang sangat diharapkan saat bencana, tetapi hal itu perlu diantisipasi jika bencana lebih buruk melanda hingga semua akses terputus alias isolasi total.
”Saya tidak bisa membayangkan kalau karena gempa ini semua akses ke Sulbar terisolasi. Kami kelaparan di tenda-tenda pengungsian. Ini mesti dipikirkan pemerintah ke depannya,” ujar Edy (56), penyintas di Kelurahan Simboro, Kecamatan Simboro, Mamuju, yang mengungsi empat hari di daerah ketinggian di Jalan Poros Mamuju-Majene.
Barangkali patut diingat gempa lalu belum yang terburuk. Pada 23 Februari 1969 atau 52 tahun lalu, gempa M 6,9 mengguncang dua wilayah itu disertai tsunami atau lembong talludalam dalam bahasa Mandar, bahasa yang dipakai suku Mandar, suku di Sulbar. Korban tewas pada saat itu 69 orang.
Dalam Peta Sumber Gempa Bumi Nasional 2017 yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional, Sesar Mamuju-Majene, yang diduga pembangkit gempa pada pertengahan Januari lalu, bersama dengan sesar aktif lain di sekitar Selat Makassar, memiliki potensi maksimal M 7 (Kompas, 21/1/2021).
Peneliti kebencanaan di Universitas Auckland, Selandia Baru, Greg Bankoff, mengingatkan, sekalipun gempa merupakan peristiwa alam, respons menghadapinya merupakan proses budaya.
Baca juga : Pekerjaan Besar di Balik Puing Gempa Sulbar