Penyebab Banjir di Pantura Jabar Bukan Hanya Hujan
Banjir di daerah pantai utara Jawa Barat bukan hanya karena tingginya curah hujan, melainkan juga perubahan tata guna lahan hingga galian pasir. Pemprov Jabar berjanji menangani banjir dari hulu ke hilir.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Banjir di daerah pantai utara Jawa Barat bukan sekadar dipicu tingginya curah hujan. Perubahan tata guna lahan hingga praktik galian pasir ikut memengaruhinya.
”Adanya bencana (banjir) ini tidak tiba-tiba, tetapi berawal dari kegiatan masyarakat yang dibiarkan. Padahal, lama-kelamaan ini mengakibatkan bencana,” kata Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum dalam Rapat Koordinasi Penanganan Bersama Banjir Sungai Cimanuk via daring, Selasa (16/2/2021).
Uu mencontohkan, alih fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman sayuran terjadi di Garut yang merupakan hulu Sungai Cimanuk. Di Sumedang, yang merupakan daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk, juga terdapat galian pasir. Perumahan dan aktivitas ekonomi lainnya dibangun di sekitar sungai.
Kondisi sungai yang melintasi pantura pun rusak. Di DAS Cimanuk-Cisanggarung, misalnya, lahan kritis tercatat 170.697 hektar atau sekitar 22 persen dari luas total sungai. Laju erosi juga tercatat 3,7-8 milimeter per tahun atau termasuk kategori rusak berat.
Berbagai kondisi itu diperburuk ketika curah hujan tinggi terjadi pada 7-8 Februari. Curah hujan ekstrem tercatat 294 milimeter per hari di daerah Rajagaluh, Kabupaten Majalengka. Ini lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan tertinggi pada Januari 2014 di Indramayu, yakni 216 mm per hari.
Akibatnya, DAS Cimanuk, Sungai Cipunegara, dan Sungai Cipancuh tidak mampu menampung derasnya air. Sejumlah tanggul jebol banjir pun merendam Bekasi, Cirebon, Karawang, Subang, Majalengka, dan Indramayu. Daerah itu berada di hilir sungai.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar, 144.404 rumah tangga terdampak banjir dan puluhan ribu warga mengungsi. Lima warga Subang dan dua warga Bekasi meninggal. Sebanyak 143.667 rumah terendam.
Untuk itu, Uu meminta semua pemangku kebijakan di daerah mencegah banjir dengan menjaga tata ruang. ”Jadi, sekalipun dalam aturan hutan produktif bisa dialihfungsikan, kalau dampaknya buruk, ini harus dipikirkan,” katanya.
Uu juga mendorong aparat dan pihak terkait menutup galian C tidak berizin. ”Kami dulu sempat menutup beberapa kali, tetapi masih ada. Kalau dibiarkan, masyarakat kerepotan. Kalau perlu bikin desk yang melibatkan polisi, tentara, dan sebagainya,” lanjutnya.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jabar Bambang Rianto mengatakan, terdapat 35 galian pasir legal dan 17 galian liar di Sumedang. Cakupan luas galian yang berizin 0,038 persen dan yang tidak berizin 0,022 persen dari sekitar 348.000 hektar DAS Cimanuk.
”Jadi, sebetulnya, galian di sana itu amat sangat kecil pengaruhnya (terhadap banjir di pantura). Lokasi itu juga bukan catchment area (area tangkapan air),” ucap Bambang.
Penataan ruang juga harus dilakukan karena ini menjadi penyebab banjir dan longsor terbesar di Jabar.
Akan tetapi, pihaknya mendukung galian liar segera ditertibkan. ”Untuk sementara, kewenangan itu ada di pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba,” ujarnya.
Kepala Pelaksana BPBD Jabar Dani Ramdan mengingatkan, banjir masih berpotensi terjadi seiring musim hujan yang berlangsung tiga bulan ke depan. ”Penanganan banjir harus terintegrasi dari hulu ke hilir. Penataan ruang juga harus dilakukan karena ini menjadi penyebab banjir dan longsor terbesar di Jabar,” ujarnya.