Mitigasi Komprehensif dan Terpadu Mutlak di Selingkar Gunung Wilis
Lereng Gunung Wilis, Jatim, memiliki intensitas longsor yang tinggi dengan skala kebencanaan beragam. Mitigasi komprehensif dan terpadu di kawasan selingkar atau lereng mutlak diperlukan agar korban tak terus berjatuhan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lereng Gunung Wilis, Jawa Timur, memiliki intensitas longsor tinggi dengan skala kebencanaan kecil hingga besar berdasarkan jumlah korban, seperti yang terjadi di Dusun Selopuro, Desa Ngetos, Kabupaten Nganjuk, Minggu (14/2/2021). Mitigasi komprehensif dan terpadu di kawasan selingkar atau lereng pegunungan mutlak diperlukan agar korban tak terus berjatuhan.
Hingga Selasa (16/2/2021) pagi, jumlah korban tertimbun longsor dilaporkan mencapai 21 orang. Rinciannya, 11 orang berhasil ditemukan dan 10 lainnya masih dicari. Dari 11 orang yang ditemukan, dua di antaranya selamat, sedangkan sembilan lainnya meninggal.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Juanda menyatakan, bencana longsor di Desa Ngetos dipicu hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Pertumbuhan awan konvektif yang menyebabkan hujan tersebut terbentuk pola angin konvergensi di atas Jatim secara keseluruhan.
”Hal itu didukung muka laut yang cukup hangat, kondisi atmosfer yang labil, dan lingkungan atmosfer lembap dari lapisan udara atas. Selain itu, aktifnya fenomena La Nina juga membuat kandungan uap air di atmosfer wilayah Indonesia mendapatkan suplai tambahan dari Samudera Pasifik,” ujar Koordinator Bidang Data Dan Informasi BMKG Kelas I Juanda Teguh Tri Susanto.
Pada saat yang sama, hujan lebat juga menyebabkan bencana banjir di 21 desa yang tersebar di empat kecamatan, yakni Berbek, Nganjuk, Loceret, dan Bagor. Ketinggian genangan banjir mencapai 40-120 sentimeter. Ribuan warga sempat mengungsi sementara secara mandiri. Sementara pasien di rumah sakit dievakuasi di tempat yang aman.
Multifaktor
Meski BMKG Juanda menyatakan hujan lebat sebagai pemicu longsor, iklim bukan faktor tunggal penyebab bencana di Nganjuk. Fakta di lapangan menunjukkan, di sekitar lokasi bencana terdapat banyak retakan tanah. Bahkan, titik longsor berada dekat dengan retakan tanah yang telah teridentifikasi sejak tiga tahun lalu.
Pada 2017 lalu, pernah terjadi bencana longsor di Desa Kepel, Kecamatan Ngetos. Lokasinya di sebuah kebun cengkeh. Lima warga menjadi korban. Mereka tertimbun material longsor dan hingga kini masih dinyatakan hilang. Upaya pencarian saat itu dihentikan setelah berlangsung 10 hari.
Masih di tahun yang sama, berdekatan dengan bencana di Desa Kepel, terjadi longsor besar di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Saat itu, sebanyak 28 orang dilaporkan hilang dan 23 rumah tertimbun longsor. Bencana tersebut juga terjadi di musim hujan seperti saat ini.
Namun, sejumlah ahli kebencanaan menyatakan, hujan hanya pemicu bukan faktor penyebab. Seperti halnya Desa Banaran di Ponorogo, Kecamatan Ngetos di Nganjuk berada di lereng Gunung Wilis, sebuah gunung api yang sudah lama tidak meletus. Gunung Wilis memiliki lereng yang tersebar atau melingkar di lima kabupaten, yakni Ponorogo, Madiun, Nganjuk, Kediri, dan Trenggalek.
Lima daerah di lereng gunung ini biasa disebut Selingkar Wilis. Pakar bencana dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amin Widodo, mengatakan, kawasan lereng Wilis memiliki risiko tinggi bencana longsor.
Berkaca pada lokasi longsor di Nganjuk saat ini dan Ponorogo pada 2017 lalu, kedua wilayah itu memiliki tingkat kemiringan tebing cukup curam. Risiko bencana dipertajam kondisi struktur batuan yang lapuk. Batuan ini berasal dari aktivitas vulkanik Gunung Wilis.
Jenis batuan ini memiliki sifat mudah lepas karena daya rekatnya berkurang sehingga sangat rentan longsor. Apalagi, jika sudah muncul retakan-retakan tanah, peluang longsor di lereng pegunungan semakin besar.
Jenis batuan ini memiliki sifat mudah lepas karena daya rekatnya berkurang sehingga sangat rentan longsor. Apalagi, jika sudah muncul retakan-retakan tanah, peluang longsor di lereng pegunungan semakin besar. (Amin Widodo)
Amin mencatat, intensitas longsor di kawasan selingkar Wilis cukup tinggi karena terjadi setiap tahun, bahkan setiap musim hujan. Di Kabupaten Madiun, misalnya, longsor kerap melanda Kecamatan Kare, Dagangan, dan Gemarang. Catatan BPBD Kabupaten Madiun pada Minggu (14/2/2021), terjadi longsor di empat desa di Kecamatan Kare dalam waktu bersamaan.
Keempat desa itu adalah Desa Kepel, Desa Kare, Desa Randualas, dan Desa Cermo. BPBD Kabupaten Madiun juga mencatat terjadi longsor di Desa Batok, Kecamatan Gemarang. Awal Januari lalu terjadi longsor di Desa Padas, Kecamatan Dagangan. Selain longsor, Kecamatan Kare dan Dagangan juga rawan tanah retak.
Panjangnya jejak bencana longsor di lereng Wilis, lanjut Amin, seharusnya mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan. Keseriusan itu setidaknya bisa ditunjukkan dengan pembangunan sistem mitigasi bencana secara komprehensif dan terpadu dari hulu hingga hilir dengan melibatkan masyarakat setempat.
”Mitigasi harus jadi prioritas agar korban tak terus berjatuhan dalam jumlah besar. Tragedi kemanusiaan tak seharusnya terulang karena instrumen penanggulangan bencana sudah banyak kemajuan,” ujar Amin.
Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengakui, bencana yang melanda sejumlah daerah, termasuk di Nganjuk, disebabkan lemahnya perhatian terhadap lingkungan. Oleh karena itu, masyarakat didorong lebih peduli pada lingkungan sekitar.
”Adanya retakan tanah yang berpotensi menyebabkan longsor seharusnya diberi penanda atau menjadi peringatan sehingga masyarakat bisa menyiapkan langkah-langkah evakuasi,” ucap Khofifah.