Tidak Diakui, Ruang Hidup Masyarakat Sunda Wiwitan Terancam
Keputusan Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang tidak mengakui masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat dapat mengancam ruang hidup komunitas tersebut.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Keputusan Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang tidak mengakui masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat rentan mengancam ruang hidup komunitas tersebut. Selain diskriminasi, masyarakat juga berpotensi kehilangan tanah adat.
”Tanpa (status masyarakat hukum adat) itu, ruang hidup kami terancam. Peluang memberanguskan kami lebih mudah,” kata Djuwita Djatikusumah Putri, Girang Pangaping Adat Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, saat ditemui di Cigugur, Kuningan, Senin (15/2/2021).
Ruang hidup yang terancam itu, antara lain, sengketa tanah adat. Padahal, menurut Djuwita, tanah itu merupakan sumber pangan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan, seperti mata air. Pihaknya sudah berupaya mempertahankan tanah adat, tapi mereka tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum).
Oleh karena itu, pada 11 April 2020, pihaknya mengajukan penetapan Masyarakat Akur Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat (MHA) kepada pemerintah daerah. Pemkab lalu membentuk Panitia MHA Kuningan. Hasilnya, Bupati Kuningan, melalui surat Nomor 189/3436/DPMD pada 29 Desember 2020, menolak permohonan itu.
Alasannya, Sunda Wiwitan tidak memenuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA. Permendagri mensyaratkan lima kriteria sebagai MHA, yakni sejarah MHA, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, serta kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Djuwita menyesalkan keputusan Pemkab Kuningan. Sebab, pihaknya beranggapan sudah memenuhi kelima kriteria itu. Cikal bakal Sunda Wiwitan adalah Agama Djawa Sunda (ADS) pada 1800-an yang didirikan Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939). Pangeran Djatikusumah, cucu Pangeran Madrais, kini memimpin Sunda Wiwitan.
Pihaknya telah menyerahkan dokumen manuskrip masyarakat Akur Sunda Wiwitan yang berisi sejarah adat. Begitu pun dengan hukum dan kelembagaan adat. Adapun benda-benda adat dapat ditemukan dari wayang Ciguguran hingga Paseban Tri Panca Tunggal, pusat upacara adat.
Terkait wilayah adat, lanjutnya, tersebar ke sejumlah daerah sesuai dengan keberadaan penghayat Sunda Wiwitan. Misalnya, di Tasikmalaya, Ciamis, hingga Garut. ”Kalau saya di Jakarta, apakah saya bukan masyarakat adat lagi? Kami memegang ajaran adat tanpa terbatas wilayah,” ujarnya.
Djuwita menilai, penolakan Pemkab Kuningan juga rentan berdampak diskriminasi. Saat pembangunan bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan, misalnya, mendapat penolakan dari sejumlah organisasi masyarakat. Pemda juga menyegel bakal makam itu dengan alasan tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Jauh sebelum itu, pada masa Orde Baru, pemerintah melarang upacara adat seren taun karena dicurigai sebagai aktivitas keagamaan yang tidak termasuk dalam lima agama yang diakui negara. Ritual tahunan masyarakat agraris itu pun tidak boleh digelar selama 17 tahun. ”Gairah bercocok tanam masyarakat berkurang. Sawah dijual. Ruang hidup kami menyempit,” katanya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan yang juga Ketua Panitia MHA Kuningan Dian Rachmat Yanuar mengatakan, pihaknya telah mengkaji 18 dokumen sebagai bahan identifikasi, verifikasi, dan validasi Sunda Wiwitan. Konsultasi dan koordinasi juga dilakukan dengan pihak terkait, seperti keluarga Sunda Wiwitan, akademisi, hingga pemerintah pusat.
Menurut dia, masyarakat Akur Sunda Wiwitan belum memenuhi lima kriteria MHA dalam Permendagri No 52/2014. ”Wilayah adatnya, misalnya, tersebar dan tidak homogen. Bahkan, 67,5 persen dari 1.273 jiwa berada di luar Kuningan. Ini tidak komunal. Sejarahnya juga ada banyak versi,” ungkapnya.
Dian memastikan pihaknya bekerja sesuai ketentuan dan tidak mendiskriminasi masyarakat adat. Menurut dia, Permendagri No 52/2014 mengharuskan lima kriteria terpenuhi seluruhnya untuk ditetapkan sebagai MHA. ”Apabila ada data atau fakta yang valid terkait keberadaan Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, kami akan tindak lanjuti sesuai peraturan. Ini waktunya tidak terbatas,” katanya.
Pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, menilai, kelima kriteria MHA dalam Permendagri No 52/2014 tidak relevan. Hal ini disampaikan dalam diskusi daring ”Diseminasi Publik Hasil Verifikasi dan Validasi Masyarakat Akur Sunda Wiwitan” yang digelar Universitas Katolik Parahyangan, Kamis (11/2/2021).
”Lima kriteria ini sedikit banyak sudah dirusak oleh berbagai kebijakan negara. Misalnya, masyarakat adat yang dulunya meramu dan berburu dipaksa oleh negara untuk bermukim,” ungkapnya.