Ancaman tanah longsor yang menimbun 21 orang di Selopuro, Ngetos, Nganjuk, Jawa Timur, Minggu (14/2/2021) malam, sudah diketahui beberapa tahun sebelumnya tetapi terlambat diantisipasi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
NGANJUK, KOMPAS – Ancaman tanah longsor yang menimbun 21 orang di Selopuro, Ngetos, Nganjuk, Jawa Timur, Minggu (14/2/2021) malam, sudah diketahui beberapa tahun sebelumnya tetapi terlambat diantisipasi. Bencana menimbun 21 orang yang 11 orang di antaranya telah ditemukan dimana mayoritas korban telah meninggal dunia.
Sampai dengan Senin (15/2/2021) pukul 20.00 WIB, Tim SAR Terpadu masih berusaha mencari 10 korban lainnya yang masih tertimbun. Tim SAR Terpadu mengerahkan tiga alat berat jenis backhoe loader dan ekskavator untuk mempercepat pencarian dan pertolongan.
Tanah longsor terjadi pada Minggu sekitar pukul 19.00 WIB. Sebelum bencana terjadi, Nganjuk diguyur hujan dengan intensitas tinggi dan lama sejak pukul 13.00 WIB. Hari-hari sebelumnya, hujan juga mengguyur sehingga dianggap memicu tebing runtuh dan menimpa 13 rumah di RT 1 RW 6 Dusun Selopuro.
Lokasi tanah longsor berjarak 1-2 kilometer (Km) dari Kantor Kecamatan Ngetos dan di bawah tebing perbukitan pada kaki Gunung Wilis. Lokasi bencana berada di tepi Jalan Selopuro-Kepel.
Menurut catatan Kantor SAR Surabaya, saat tanah longsor terjadi, sebanyak 15 orang warga berhasil menyelamatkan diri. Bencana menimbun 21 orang. Upaya pencarian dan pertolongan atau SAR (search and rescue) sempat dilakukan meski secara terbatas oleh unsur SAR setempat dari warga, aparatur dan petugas Polri serta TNI tingkat desa dan kecamatan.
Sampai dengan Minggu tengah malam, tim berhasil mengevakuasi lima warga dengan kondisi dua meninggal dunia yakni Khasanah dan Sri Utami. Tiga lainnya selamat yakni Juni, Yuli, dan Khatim.
Tawaran untuk relokasi ditolak padahal kami mengacu pada peristiwa naas empat tahun lalu (Novi Rahman)
Namun, Khatim meninggal di RSUD Nganjuk pada Senin selepas pukul 08.00 WIB. Masih ada 16 warga lain yang sampai Senin siang masih tertimbun yakni Muryanto, Parmiati, Friska Amelia Sita, Putra, Yono, Yatimi, Umi, Dimas, Arsya Narendra, Mbah Darimun, Muryam, Sunarsih, Prasetiyo, Rama, Reihan, dan Yatemo.
Kurun pukul 13.00-20.00 WIB, Tim SAR Terpadu melaporkan telah menemukan jenazah korban yang setelah diidentifikasi bernama Umi (29) dan Arsya Narendra (4). Kemudian, tim menemukan jenazah korban atas nama Yatemo (65), Parmiati (36), Friska Amelia Putra (16), dan Putra (3). Dengan demikian, masih ada 10 korban tertimbun yang belum ditemukan sampai Senin malam.
“Pencarian dan pertolongan masih dilanjutkan dengan harapan seluruh korban bisa kami temukan,” kata Kepala Kantor SAR Surabaya Hari Adi Purnomo saat operasi pencarian dan pertolongan di lokasi.
Menurut Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat di Kantor Kecamatan Ngetos, sejak 2014, di perbukitan termasuk lokasi tanah longsor diketahui muncul retakan. Situasi ini mendorong aparatur terus mengingatkan warga yang memanfaatkan lahan Perum Perhutani untuk tempat tinggal karena rawan.
Pada 2018, aparatur sempat mendorong warga untuk pindah agar retakan bisa ditangani terlebih dahulu. Namun, masyarakat enggan pindah sehingga yang bisa dilakukan ialah menutupi retakan. “Tawaran untuk relokasi ditolak padahal kami mengacu pada peristiwa naas empat tahun lalu,” kata Novi.
Peristiwa dimaksud ialah tanah longsor yang menimbun dan menewaskan lima orang di Dusun Dalopo, Desa Kepel, Ngetos, 9 April 2017. Perbukitan yang longsor di Dalopo dan Selopuro berada pada gugus yang sama dalam perbukitan di kaki Wilis. Lokasi longsor di Dalopo dan Selopuro berjarak 2-3 kilometer. Peristiwa ini menjadi salah satu dasar bagi aparatur menawarkan relokasi kepada warga yang tinggal di bawah tebing yang amat berisiko terkena bencana.
Komandan Komando Distrik Militer 0810/Nganjuk Letnan Kolonel (Inf) Georgius Luky Ariesta menambahkan, setahun terakhir, bintara pembina desa dan petugas Polri juga telah mengingatkan warga akan potensi bencana karena tinggal di bawah tebing. Aparatur terus mencoba upaya persuasif yang ternyata masih gagal dan bencana terlebih dahulu datang.
Pendekatan terhadap masyarakat juga ditempuh oleh Taruna Siaga Bencana (Tagana) setempat. Retakan pada tebing melebar dan sesungguhnya telah diketahui dan disadari oleh warga. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kondisi itu diabaikan. Tagana bahkan memasang tanda rawan bencana dengan harapan risiko dipahami sehingga pemukim bersedia pindah demi keselamatan diri.
Kelemahan
Amien Widodo, peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, berpendapat tanah longsor di Nganjuk memperlihatkan kelemahan dalam pencegahan secara terpadu oleh aparatur dan masyarakat.
Program mitigasi juga tidak bisa singkat karena mencakup sosialisasi, edukasi, aksi penanganan, reboisasi, rehabilitasi, penataan, dan atau relokasi. Upaya ini akan terkendala secara sosial apabila sasaran atau masyarakat kurang peka bahkan abai.
“Mitigasi jelas program yang perlu waktu dan biaya tetapi jika bencana sudah terjadi penanganannya dengan mobilisasi sumber daya ternyata lebih mahal apalagi nyawa tidak terhingga nilainya,” kata Amien.
Amien mengingatkan, lingkar Pegunungan Wilis yang mencakup wilayah Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Trenggalek, Kediri, dan Tulungagung sudah dinyatakan berkali-kali sebagai kawasan berisiko tanah longsor, tanah gerak, dan banjir bandang. Bencana besar bahkan terus terjadi sejak 1999.
Bencana dengan korban banyak terjadi pada 1 April 2017 di Banaran, Pulung, Ponorogo yang menewaskan 28 jiwa. Sepekan kemudian bencana serupa terjadi di Kepel, Ngetos, Nganjuk dengan korban lima orang dan berulang hampir empat tahun kemudian dengan korban sementara ini 2 orang selamat, 9 orang tewas, dan 10 orang belum ditemukan karena masih tertimbun.
Di awal 2020, Pemerintah Kabupaten Nganjuk mendata ada hampir 9.000 hektare lahan kritis dan 4.200 hektare potensi menjadi lahan kritis. Aparatur mencoba memulihkan antara lain dengan pembuatan terasering, dam penahan, gully plug, embung, penanaman pohon, dan wanatani atau agroforestry.
Mitigasi jelas program yang perlu waktu dan biaya tetapi jika bencana sudah terjadi penanganannya dengan mobilisasi sumber daya ternyata lebih mahal apalagi nyawa tidak terhingga nilainya (Amien Widodo)
Amien mengingatkan, kesadaran diikuti oleh pelaksanaan program baru berjalan setahun sehingga belum teruji efektivitasnya. Misalnya, penanaman pohon lebih banyak untuk kepentingan seremonial. Setelah penanaman, apakah pohon-pohon diawasi dan dipastikan terus tumbuh. Jika diawasi pun, dalam setahun, pertumbuhan pohon belum signifikan untuk membantu meredam potensi bencana terutama tanah longsor di suatu lokasi.
“Setidaknya perlu empat tahun dan harus terus dipantau sampai pepohonan menjadi kokoh dan melindungi tanah,” kata Amien. Keberadaan lahan kritis di Nganjuk dan relatif belum lama ditangani turut menjadi salah satu faktor kerentanan wilayah terhadap bencana di musim hujan.
Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan ada potensi guyuran hujan dengan intensitas tinggi dan durasi lama di Jatim termasuk di Nganjuk sampai sepekan mendatang. Untuk saat ini, ancaman bencana susulan termasuk di daerah lain cuma bisa ditanggapi dengan kesiagaan dan kesigapan penanganan.