Hutan Lindung Dibeli untuk Pemakaman, Dua Pejabat di Kolaka Utara Jadi Tersangka
Dua pejabat di Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembelian lahan untuk pemakaman. Lahan itu berstatus hutan lindung.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Dua pejabat di Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembelian lahan untuk pemakaman. Tersangka membeli lahan yang merupakan hutan lindung dengan dugaan modus pemalsuan dokumen.
”Berdasarkan hasil penyidikan yang kami lakukan, ada dugaan tindak korupsi dari pengadaan lahan untuk pemakaman, di mana lahan tersebut tidak bisa diperjualbelikan karena merupakan kawasan hutan. Dengan itu, kami tetapkan dua tersangka, yaitu FI selaku penanggung jawab kuasa anggaran dan F sebagai pelaksana kegiatan,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Kolaka Utara Teguh Imanto saat dihubungi dari Kendari, Senin (15/2/2021).
Menurut Teguh, sejak ditingkatkan menjadi penyidikan, penelusuran kasus dugaan penyalahgunaan anggaran dalam pembelian tanah ini terus dikembangkan. Pada 2018, Pemkab Kolaka Utara melalui Dinas Perumahan dan Permukiman melakukan pengadaan tanah untuk pemakaman dengan anggaran Rp 350 juta.
Lahan yang dibeli seluas 1 hektar di Desa Pitulua, Kecamatan Lasusua. Tersangka FI diketahui adalah Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Kolaka Utara, sementara tersangka F adalah mantan kepala bidang di dinas yang sama.
Setelah ditelusuri, lokasi yang tercantum dalam pembelian sulit ditemukan. Setelah berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Negara, Dinas Tata Ruang, dan sejumlah instansi lainnya, koordinat lokasi ditemukan. Namun, setelah dicek, lahan yang dibeli tersebut merupakan kawasan hutan lindung.
”Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup pada 2017, daerah yang dibeli tersebut masuk dalam kawasan hutan (lindung). Dengan adanya kejadian ini, berarti negara telah mengalami kerugian dengan nilai total Rp 350 juta,” ujar Teguh.
Dari penyidikan yang berlangsung, ia menerangkan, tersangka tidak meminta izin khusus kepala daerah dalam pembelian lahan tersebut. Dalam aturan, untuk pengadaan lahan pemakaman, diperlukan izin khusus tertulis dari bupati.
Selain itu, dalam proses pembelian juga diduga kuat ada pemalsuan dokumen sebab wilayah hutan tidak bisa diperjualbelikan. Keduanya pun dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. ”Kami masih kembangkan kasus ini dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lain ke depan,” kata Teguh.
Kasus pembelian lahan untuk pemakaman ini berlangsung pada 2018. Berdasarkan informasi yang dihimpun, pengadaan lahan untuk pemakaman diadakan dua kali, yaitu pada 2018 dan 2019. Nilai pengadaan tanah sebesar Rp 350 juta untuk 1 hektar lahan. Pembelian lahan ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk Kepala Desa Pitulua.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kolaka Utara Rahim, yang dikonfirmasi terkait penetapan tersangka dua pejabat pemkab itu, belum mau berkomentar banyak. ”Saya belum tahu infonya. Sebentar ya, saya ada tamu,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pitulua Ahmad Yarib menjabarkan, lokasi lahan yang saat ini menjadi permasalahan memang merupakan kawasan hutan lindung. Meski demikian, seorang warga yang mengelola lahan diketahui menjual lahan seluas 1 hektar pada 2018.
”Sepengetahuan saya, ia menjual ke seorang warga dari desa lain. Oleh pemerintah desa diterbitkan surat pengalihan hak atas tanah. Dari situ, lalu dimasukkan ke Pemkab Kolaka Utara untuk menjadi lokasi pemakaman,” tutur Yarib yang baru beberapa tahun terakhir menjabat di BPD Pitulua.
Pada tahun 2019, ia melanjutkan, lahan seluas 1 hektar yang berimpitan dengan lokasi pertama kembali diperjualbelikan. Pembeli dan penjual merupakan orang yang sama, serta pihak desa kembali menerbitkan pengalihan hak. Setelah menjadi temuan, tambah Yarib, beberapa kali ia mengantar warga penjual lahan untuk diperiksa ke Kejari Kolaka Utara. Sebab, warga tersebut tidak ada yang menemani.
Dengan kejadian ini, ia menyampaikan, ada proses yang tidak dilalui oleh Pemkab Kolut sendiri dalam proses pengadaan lahan. Sebab, lokasi, alas hak, dan status tanah harus dipastikan sebelum proses jual-beli berlangsung. Terlebih lagi, wilayah tersebut merupakan hutan lindung yang tidak boleh diganggu, apalagi diperjualbelikan.
”Selain itu, sebagai warga Kolaka Utara, kita tidak akan mendapatkan lokasi pemakaman baru karena adanya kejadian ini. Tentu merupakan kerugian bagi semua warga,” kata Yarib.
Sampai diperjualbelikan, apalagi oleh oknum aparat daerah untuk kepentingan pribadi maupun golongan, merupakan hal yang tidak bisa ditoleransi.
Secara terpisah, Wakil Dekan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Lies Indriyani, menuturkan, mudahnya kawasan hutan diperjualbelikan, terlebih hutan lindung, menunjukkan begitu rendahnya perhatian pemerintah daerah terhadap lingkungan. Kawasan hutan ditetapkan untuk menjaga daerah agar tetap memiliki daya dukung dan meminimalkan terjadinya bencana.
Sebuah kawasan hutan, ia melanjutkan, merupakan kawasan yang harus dijaga dan dipertahankan bersama. Pemakaian kawasan hutan perlu melewati izin bertingkat, terutama di pemerintah pusat.
”Sampai diperjualbelikan, apalagi oleh oknum aparat daerah untuk kepentingan pribadi maupun golongan, merupakan hal yang tidak bisa ditoleransi. Penegak hukum mesti mengusut kasus ini secara tuntas. Selama ini kasus kerusakan lingkungan masih minim yang diselesaikan,” tambahnya.
Menjaga kawasan hutan, Lies menyampaikan, harus dikerjakan bersama oleh berbagai pihak. Sosialisasi kawasan hutan, pemeliharaan, dan lain sebagainya merupakan kerja kolektif yang harus terus didengungkan.
Nur Arafah, pakar lingkungan dari Universitas Halu Oleo, sebelumnya menjelaskan, sebagian daerah di wilayah Kolaka Utara telah rusak akibat pembukaan kawasan, baik untuk perkebunan maupun pertambangan. Lima tahun lalu, ia masuk ke wilayah pegunungan di Kolaka Utara. Saat itu, kondisi di daerah hulu tersebut sudah sangat terbuka, khususnya akibat perkebunan berbagai jenis.
Oleh karena itu, tambah Arafah, penanganan jangka pendek harus dilakukan sesegera mungkin, terutama penanaman kembali daerah hulu dan menjaga agar hutan tidak semakin terbuka. Pekerjaan ini harus dilakukan lintas sektor karena mencakup banyak kepentingan dan kompleksitas permasalahan.
”Jika tidak segera tertangani, bencana akan terus datang dan masyarakat akan paling terdampak. Tinggal kemauan pemerintah mengambil langkah sesegera mungkin,” ucapnya.