Bupati Muara Enim Ditahan KPK, Pimpinan Daerah Kosong
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Muara Enim Juarsah sebagai tersangka atas kasus korupsi proyek PUPR Kabupaten Muara Enim, mengikuti pendahulunya, bekas Bupati Muara Enim Ahmad Yani.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
MUARA ENIM, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Bupati Muara Enim Juarsah setelah ditetapkan sebagai tersangka atas korupsi proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Muara Enim tahun anggaran 2019. Dia diduga turut menikmati dana komitmen sebesar Rp 13,4 miliar yang diberikan oleh pengusaha Robi Okta Fahlevi kepada sejumlah pejabat terkait. Akibat penahanan itu, kepemimpinan di Muara Enim kosong.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, Senin (15/2/2021), menjelaskan, penetapan Juarsah sebagai tersangka merupakan hasil gelar perkara. KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji terkait proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Muara Enim tahun anggaran 2019 senilai Rp 129,4 miliar.
”Dari gelar perkara tersebut, KPK pun menetapkan JR sebagai tersangka,” ucapnya. JR diduga melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Juarsah diduga terlibat aktif dalam pembagian proyek pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim. ”Saat korupsi itu terjadi, JR menjabat Wakil Bupati Muara Enim,” kata Ali. Dia baru dilantik menjadi Bupati Muara Enim pada 11 Desember 2020 untuk menjalani sisa jabatan yang ditinggalkan Bupati Ahmad Yani yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan kasus yang sama. Ahmad Yani dan Juarsah seharusnya menjabat untuk periode 2018-2023.
Untuk kepentingan penyidikan, ujar Ali, JR ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK selama 20 hari mulai 15 Februari sampai 6 Maret 2021. ”Proses penahanan dilakukan dengan protokol kesehatan dan JR melakukan isolasi mandiri selama 14 hari,” ucap Ali.
Korupsi secara bersama-sama ini terkuak setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ahmad Yani dan sejumlah orang pada 3 September 2018. Dari hasil penelusuran, korupsi itu melibatkan Ahmad Yani dan sejumlah pejabat utama di Muara Enim. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang juga telah memvonis bersalah Ahmad Yani dan empat terpidana lain.
Mereka adalah Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Pejabat Pembuat Komitmen di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Elfin MZ Muchtar, pengusaha konstruksi yang melakukan suap, yakni Robi Okta Fahlevi, Ketua DPRD Muara Enim Aries HB, dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Muara Enim Ramlan Suryadi.
Untuk mendapatkan proyek senilai Rp 129,4 miliar, Robi menggelontorkan uang komitmen Rp 13,4 miliar yang dibagikan kepada sejumlah pejabat di Muara Enim. Selain itu, anggota DPRD Muara Enim pun diduga turut mendapatkan bagian.
Adapun Juarsah menerima dana komitmen (commitment fee) sebesar Rp 4 miliar atau sekitar 5 persen dari total dana komitmen. ”Uang itu diterima oleh JR secara bertahap melalui perantara Elfin MZ Muhtar,” kata Ali.
Dugaan itu pernah disampaikan Elfin kala bersaksi dalan sidang dengan terdakwa Robi. Dia menuturkan, Juarsah sudah menerima Rp 4 miliar. Sebanyak Rp 3 miliar di antaranya berasal dari Robi. Juarsah mendapat jatah karena saat itu dia menjabat Wakil Bupati Muara Enim.
”Uang akan diberikan jika Juarsah mengajukan permintaan dan disetujui oleh Ahmad Yani,” ungkap Elfin kala itu. Namun, ketika hakim meminta tanggapan atas keterangan Elfin tersebut, Juarsah menjawab, ”Tidak pernah.”
Di Palembang, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menggelar rapat secara mendadak pada Senin malam terkait penahanan Bupati Muara Enim. Rapat digelar untuk membahas kekosongan pemimpin Muara Enim yang terjadi saat ini.
Setelah ditinggalkan Ahmad Yani karena korupsi, kepemimpinan di Muara Enim digantikan Juarsah. Juarsah pun akhirnya ditahan dalam kasus yang sama. Adapun Sekretaris Daerah Muara Enim Hassanudin meninggal pada 8 November 2020. Hingga saat ini jabatan Sekretaris Daerah Muara Enim masih kosong.
Pantauan Kompas, Senin hingga pukul 22.30 WIB, Gubernur Sumsel masih melakukan pertemuan dengan pejabat Muara Enim di Rumah Dinas Gubernur Sumsel Istana Griya Agung.
Ali menyampaikan, dengan penahanan itu, KPK kembali mengingatkan kepada para penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi dan menolak segala bentuk pemberian yang berhubungan dengan jabatan. ”Selain itu, KPK juga mengingatkan kepada pihak swasta agar selalu melaksanakan prinsip bisnis secara bersih dan jujur,” ucap Ali.
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumsel Nunik Handayani mengapresiasi langkah KPK yang telah menelusuri kasus ini hingga menyeret semua pejabat yang terlibat. ”Ini adalah kasus korupsi pertama di Sumsel yang menyeret Bupati, Wakil Bupati, dan Ketua DPRD secara langsung,” katanya.
Menurut dia, sebuah kejahatan korupsi pasti melibatkan semua pejabat di segala lini. Sebab, dalam menetapkan anggaran pasti butuhk persetujuan dari berbagai pihak, dalam hal ini eksekutif dan legislatif. ”Pasti sudah ada kesepakatan di awal agar proyek ini lolos,” ungkapnya.
Proyek infrastruktur menjadi incaran karena menggelontorkan banyak dana APBD. Inilah yang dimanfaatkan oknum penyelenggara negara untuk mendapatkan keuntungan. ”Pengungkapan ini diharapkan dapat memberikan pelajaran bagi para penyelenggara negara yang lain agar tidak main-main dalam mengelola anggaran yang merupakan amanat rakyat,” ucap Nunik.