”Kapopo” dan Kepingan Sejarah yang Sirna di Sultra
Pencurian besar-besaran benda tinggalan sejarah terjadi lagi di Indonesia. Perampokan, lebih tepatnya, menimpa museum milik Pemprov Sulawesi Tenggara dan berpotensi menghilangkan identitas akar budaya setempat.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Dalam satu malam, ratusan benda bersejarah yang dikumpulkan selama banyak dekade hilang dari museum di Sulawesi Tenggara. Beberapa di antaranya sangat sulit atau bahkan tidak bisa ditemukan lagi. Kapopo adalah salah satunya. Kehilangan besar bagi masyarakat di Bumi Anoa, bahkan Nusantara, hingga generasi masa depan.
Sesaat setelah pintu kayu dan sebuah pintu besi terbuka, bau lembab dan debu menyergap. Tiga lemari kayu berjejer tepat di depan pintu masuk. Dua di antaranya kosong melompong. Satu lemari yang tertutup plastik masih lengkap. Di sisi kanan, beragam benda, dari tombak, ratusan guci, hingga perahu, berjejer.
Sebuah ruangan lain berada di sisi kiri. Lemari kaca menempel di dinding penuh pakaian dari suku Tolaki, Muna, Buton, hingga Moronene. Di tengah ruangan, dua lemari kaca yang lebih kecil hampir tidak ada isi.
Pas saya dengar kemarin kecurian, saya menangis betul. Karena barang-barang itu akar budaya dan sejarah kita, masyarakat di Sulawesi Tenggara.
Sebuah gelang bermotif bunga menjadi pengisi satu-satunya lemari kaca sepanjang 3 meter, dengan tinggi 1,2 meter. Gelang tembaga ini satu-satunya yang tersisa dari sekitar 10 gelang yang sama koleksi museum. Di lemari sebelahnya hanya tersisa tiga buah pernak-pernik purbakala.
”Cuma ada gelang, kalung, dan buah perhiasan lainnya yang tidak sempat diambil pencuri. Kalau gelang itu berasal dari suku Tolaki, awalnya ada 10, dan sekarang tinggal gelang itu yang tersisa,” kata Agung Kurniawan (37), kurator museum.
Tidak hanya gelang, atau kalung, ratusan benda pernak-pernik yang sebagian berusia ratusan tahun hilang tak bersisa. Tiga buah katana, keris, hingga peang tak berjejak. lebih dari itu, dua buah kapopo, perhiasan anak perempuan suku Tolaki yang ikut dibawa oleh pencuri. Museum ini hanya memiliki dua benda tersebut dan kini tidak ada lagi.
”Tidak ada lagi yang seperti itu dan sudah sangat susah dicari. Kehilangan besar bagi kita semua,” kata Agung.
Kapopo adalah alat penutup kemaluan anak perempuan yang terbuat dari perak. Berbentuk serupa hati dengan berbagai ukuran, alat ini merupakan cikal bakal sebelum celana, utamanya celana dalam, masuk dan menjadi pakaian masyarakat di daratan Sultra. Kapopo memiliki tali yang mengikat ke pinggang dan menutupi kemaluan anak agar melindungi saat bermain.
Bersama gelang dan dua kapopo ini, total ada sebanyak 668 barang yang hilang digasak maling. Bejana tempat tetua adat melakukan upacara, menyimpan persembahan, dan beragam perkakas lain yang terbuat dari perunggu, tembaga, atau perak, dijarah pada Selasa (26/1/2021) lalu.
Dari ratusan benda yang hilang, sebanyak 30 persen adalah peninggalan suku Muna, 40 persen dari suku Buton, 25 persen dari suku Tolaki, dan 5 persen dari suku Moronene. Barang-barang ini telah dikumpulkan sejak museum berdiri hingga sebelum pencurian terjadi.
Pelaku, yang diduga lebih dari dua orang, merusak pintu kayu, menggergaji gembok, lalu masuk ke dalam gudang. Tidak ada petugas pengamanan membuat mereka leluasa mengambil barang. Terlebih lagi, kamera pengawas yang ada tidak berfungsi karena telah rusak sejak lama.
Daud Topaa, Kepala Seksi Museum, menceritakan, dirinya mengetahui adanya barang yang hilang pada Selasa pagi, beberapa saat setelah tiba di kantor. Membawa bohlam untuk mengganti penerangan kamar mandi yang rusak, ia menyuruh seorang petugas kebersihan untuk mengerjakan.
”Tiba-tiba dia teriak panggil saya untuk lihat gudang. Saya sampai, pintu sudah terbuka dan rusak. Saya larang masuk dahulu dan segera panggil polisi,” urainya.
Bersama beberapa pegawai museum lainnya, Daud memberanikan diri masuk ke dalam mengecek kondisi gudang. Tanpa menyentuh barang apa pun, mereka memastikan kondisi gudang. Benar saja, ratusan barang hilang.
Menurut Daud, pencuri mengambil koper tempat menaruh pakaian adat, mengeluarkan isinya, lalu memindahkan barang curian. Mereka leluasa mengambil barang dan kabur setelahnya.
Kasus ini masih dalam penyidikan kepolisian meski belum juga membuahkan hasil. Sejumlah orang telah diperiksa sebagai saksi, temrasuk pengurus museum. Aparat juga masih melakukan pendalaman apakah kejadian ini melibatkan orang dalam sendiri.
”Yang pasti, dari olah TKP, sidik jari yang ditemukan itu sudah kabur. Kami terus lakukan penelusuran dan semoga barang-barang ini belum dibawa keluar Sulawesi,” kata Kepala Polsek Baruga Ajun Komisaris I Gusti Komang Sulastra.
Sejak berdiri pada akhir tahun 70-an, Museum Sultra yang kini di bawah UPTD Museum dan Taman Budaya di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra telah mengoleksi 5.334 barang. Benda bersejarah ini dikumpulkan dari masyarakat, temuan, dan pemberian dari donatur.
Yustinu, mantan Kepala Seksi Museum Sultra, menceritakan, sejak masuk di museum sebagai tenaga magang pada 1987 mulai lakukan perawatan dan pembersihan barang koleksi. Pakaian, barang upacara adat, guci, mata uang, dan lainnya ditata dan dibersihkan.
”Pas saya dengar kemarin kecurian, saya menangis betul. Karena barang-barang itu akar budaya dan sejarah kita, masyarakat di Sulawesi Tenggara,” katanya. Meski demikian, ia melanjutkan, ribuan benda bersejarah koleksi museum ini memang belum sempat didaftarkan sebagai benda cagar budaya.
Kepala UPTD Museum dan Taman Budaya Sultra Dodhy Syahrulsah menyampaikan, pihaknya mengalami kesulitan untuk pemeliharaan, terlebih untuk registrasi benda yang ada di museum. Sebab, selain butuh proses panjang, anggaran yang ada sangat terbatas.
”Kami sulit untuk lakukan pengadaan karena anggaran dari Pemprov Sultra itu hanya Rp 200 juta per tahun. Untuk perawatan taman saja hanya Rp 2 juta per tahun,” kata Dodhy.
Dari pemerintah pusat, tutur Dodhy, pihaknya mendapat alokasi sebesar Rp 1,4 miliar. Anggaran ini digunakan untuk kegiatan dan program selama satu tahun, termasuk reinventarisasi, pembersihan, dan konservasi. Sebab, anggaran ini tidak bisa digunakan untuk belanja barang sesuai dengan aturan.
”Kalau tidak ada anggaran pusat ini, kami sudah setengah hidup. Karena, mau bikin apa kalau tidak ada anggarannya. Kami sudah ajukan ke Pemprov, tapi selalu dibilang tidak ada anggaran,” ujarnya.
Setelah kejadian, empat kamera pengawas telah dipasang di sekitar museum dan gudang penyimpanan. Sebanyak 10 kamera pengawas yang ada telah rusak dan tidak dapat digunakan karena telah dipakai selama 15 tahun Lamanya. Beberapa kasus pencurian, meski tidak mengambil barang koleksi, sempat terjadi selama tiga tahun terakhir.
La Niampe, ahli naskah kuno, juga Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo (UHO) menjabarkan, kehilangan barang koleksi museum tidak hanya berarti kerugian dengan nilai materi semata. Namun, sebuah kehilangan sejarah, yang menimbulkan efek luar biasa bagi generasi saat ini maupun yang akan datang.
Hal itu terjadi, ia melanjutkan, sebab barang-barang koleksi ini merupakan akar sejarah dan budaya yang tidak ternilai harganya. Ratusan barang peninggalan yang menunjukkan kekayaan khazanah dan budaya masyarakat dari masa lampau.
Menurut Niampe, kehilangan ini membuat masyarakat akan mengalami krisis identitas karena jejak sejarah yang hilang. Generasi masa depan tidak akan tahu lagi berbagai peninggalan sejarah yang pernah ada di wilayah ini.
”Karena itu, identifikasi, dan registrasi benda harus segera dilakukan. Paling tidak jika masih ada di masyarakat bisa diketahui, diregistrasi, dan didaftarkan segera sebagai benda cagar budaya. Kita tidak bisa lagi tinggal diam, dan pemerintah sudah harus memberikan perhatian lebih. Tidak menganggap museum hanya benda pajangan,” katanya.
Ratusan benda bersejarah telah hilang dari museum. ribuan benda lainnya masih tersimpan dalam tempat yang sudah tidak layak. Bukan tidak mungkin, jika tidak diperhatikan, benda-benda ini hanya akan menjadi kenangan dan tidak akan dilihat lagi oleh generasi mendatang.