Sinyo Harry Sarundajang, Birokrat dan Guru Politik Itu Telah Berpulang
Mantan Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang telah berpulang. Ia dikenal sebagai sosok yang turut berperan dalam upaya mendamaikan konflik horizontal di Maluku dan Maluku Utara. Selamat jalan Pak...
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina, Sinyo Harry Sarundajang (76), tutup usia pada Sabtu dini hari (13/2/2021), di Rumah Sakit Siloam, Jakarta. Pria yang akrab disapa SHS ini tak hanya dikenal sebagai birokrat sejati yang sempat terlibat dalam upaya mendamaikan konflik di Maluku Utara, tetapi juga guru politik di dalam keluarga.
Anak kedua SHS, Vanda Sarundajang, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu siang ini, mengatakan, SHS meninggal dunia akibat penyakit kanker yang diidapnya sejak beberapa waktu terakhir. SHS sempat menjalani perawatan di Manila, Filipina, dan Jakarta. Namun, kondisi kesehatannya menurun sejak tiga bulan terakhir.
"Kami sekeluarga sempat merayakan Natal dan Tahun Baru 2021 di Manado. Tetapi, sekembalinya dari Manado, memang kondisinya menurun sampai hari ini," ujar Vanda, yang juga anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Utara.
Jenazah SHS akan disemayamkan terlebih dahulu di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta. Pada Senin (15/2), jenazah baru diterbangkan ke Manado, Sulawesi Utara. Untuk kemudian, dimakamkan di kampung halamannya, di Desa Kawangkoan, Kabupaten Minahasa.
Kepergian SHS meninggalkan dukacita mendalam bagi istri, Deetje Adelin Sarundajang Laoh Tambuwun, dan kelima anaknya. Kelima anak itu adalah Steven Sarundajang, Vanda Sarundajang, Fabian Sarundajang, Shinta Sarundajang, dan Eva Sarundajang.
Menurut Vanda, di keluarga, SHS merupakan seorang ayah sekaligus Opa yang sangat perhatian terhadap anak-anak dan cucu-cucunya. SHS juga selalu mendukung langkah anak-anaknya, termasuk terjun dalam dunia politik.
"Beliau bukan saja sebagai seorang ayah buat kami, tetapi panutan. Beliau juga menjadi guru kami di politik," tutur Vanda.
Tak heran, di hari-hari terakhirnya, SHS pun masih suka berbincang-bincang soal kondisi perpolitikan bersama dengan anak-anaknya. Bak penceramah, ia menasehati anak-anaknya agar senantiasa berpolitik dengan benar dan santun.
"Yang terpenting dan yang selalu diingatkan kepada saya, \'Anda kerja saja, tegas, sambil kerja saja dengan baik. Enggak usah macam-macam.\' Mungkin, maksudnya, jangan sampai saya terjebak dalam hal-hal tidak benar," kata Vanda.
Konflik horizontal Maluku
Karier birokrasi SHS sangat panjang. Ia memulai langkah di birokrasi sebagai Kepala Biro Pemerintahan di Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada 1977. Lalu, pada 1978, ia dipromosikan menjadi Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat II/Kabupaten Minahasa.
Di birokrasi tingkat nasional, mula-mula SHS menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri dalam Bidang Strategis (2000-2001), kemudian menjadi Inspektur Jenderal Kemendagri (2001-2005). Dalam kapasitas sebagai Irjen itulah, SHS mendapat tugas sebagai Pejabat Gubernur Provinsi Maluku Utara (2002), dan Pejabat Gubernur Maluku (2003).
Sarundajang menjadi pejabat gubernur sekaligus penguasa darurat sipil saat konflik horizontal menerpa Maluku dan Maluku Utara. Ia menjalani tugas itu dan berusaha membangun kepercayaan dari dua pihak yang tertikai. Dalam wawancara yang dimuat di harian Kompas (30/10/2004), Sarundajang mengenang malam pertama ia bertugas di Ternate, Maluku Utara tahun 2001. Ia disambut ledakan bom di pintu masuk penginapan. Jarak pusat ledakan dengan kamar tidur hanya sekitar 25 meter.
"Ledakan bom itu justru menyadarkan saya bahwa betapa tugas mendamaikan konflik di sana amat berat," kata Sarundajang dalam petikan wawancara itu.
Seperti diberitakan Kompas, konflik horizontal yang sempat menghancurkan seluruh sendi sosial, ekonomi, kebudayaan, serta peradaban di Maluku Utara itu mulai merebak tahun 1999. Konflik yang berawal dari perbedaan cara pandang terhadap batas administratif kecamatan di provinsi baru Maluku Utara itu ternyata sempat menelan korban tewas lebih dari 2.000 orang (sementara korban tewas di Maluku lebih dari 5.000 orang).
Salah satu strategi yang diambil Sarundajang untuk mendekati para pihak ialah dengan pendekatan hati. "Hati nurani inilah yang saya dekati, saya sentuh dalam rangka menjalankan tugas yang sangat berat di Maluku Utara dan Maluku," ujarnya.
Sarundajang yang sempat ditolak oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat, mendatangi para tokoh-tokoh agama, kemudian menanyakan unek-unek yang mereka miliki. Beberapa kali saat bertandang ke rumah tokoh agama, ia masuk tidak dari pintu depan, tetapi masuk ke dapur dari arah belakang rumah. Ia meminta segelas air minum dan meminumnya. "Ini untuk menunjukkan bahwa saya memercayai mereka," katanya seperti dikutip dari Kompas (30/10/2004).
Dunia politik
Sarundajang memulai langkah lebih serius dengan terjun di dunia politik dan terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Utara (2005-2015). Hingga akhirnya, ia dipercaya oleh Presiden Joko Widodo menjadi Duta Besar RI untuk Filipina sejak Februari 2018. Sejumlah tanda penghargaan pun pernah diperoleh SHS, antara lain Bintang Jasa Utama (2004) dan Bintang Mahaputera Utama (2009).
Duta Besar Republik Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, mengenang pengalaman terakhir bersama SHS di laman Facebook-nya. Todung mengenal SHS sejak menjadi Irjen Kemendagri, lalu menjadi Gubernur Sulawesi Utara. Saat itu, mereka mulai sering bertemu dan berbincang.
"Meski dia (SHS) selalu menahan diri sebagai pegawai negeri yang tak mau kritiknya muncul ke publik. Saya menghormati sikapnya. Tetapi, saya tahu bahwa dia punya banyak kritik dan memilih melakukannya dari dalam pemerintahan," ujar Todung.
Ketika Todung dan SHS sama-sama diangkat menjadi duta besar, SHS merupakan calon duta besar paling senior yang diangkat menjadi ketua angkatan. Todung sering duduk bersebelahan dengan SHS saat masa orientasi dan acara informal.
"Dia (SHS) sangat terbuka dan selalu mendorong saya untuk terus bicara kritis apa adanya. Dia tahu sifat saya yang memang selalu terbuka dan sering tanpa rem. Dalam banyak sesi, saya selalu bicara kritis dan dia tersenyum saja," kenang Todung.
Todung dan SHS terakhir bertemu saat rapat para duta besar, Januari 2020. Todung makan siang berdua bersama SHS di sebuah hotel di Jakarta. Saat itu, SHS masih terlihat sehat dan masih berbicara tentang rencananya untuk mengabdi pada tanah kelahirannya di Sulawesi Utara seusai menjabat sebagai duta besar.
Sekarang SHS telah pergi. Todung menyampaikan bahwa Indonesia telah kehilangan seorang patriot yang seluruh hidupnya diabdikan untuk negara, seorang yang setia, dan mencintai negerinya.
"Saya tahu Sarundajang adalah orang yang sangat disiplin, kerja keras dan menimakti pekerjaannya. Tetapi, dia juga seorang yang kritis walau dia tak menyuarakan kritiknya ke media," ucap Todung. Selamat jalan Pak SHS.