Kuliner membawa pembauran dalam hal masakan dan juga pergaulan.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Kuliner tak hanya memanjakan lidah. Di kota-kota di Kalimantan Barat, daerah di Nusantara yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya Tionghoa, kuliner menjadi bagian dari integrasi sosial. Ada pertukaran karya dan rasa yang menembus sekat-sekat perbedaan antaretnis di dalamnya.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Choi pan, salah satu makanan khas Tionghoa di Kalimantan Barat, Senin (8/2/2021).
Amie Adelina (46), warga Kota Pontianak, sedang menata choi pan atau chai kue ke dalam piring, Senin (8/2/2021). Di samping choi pan diberi hiasan sawi dan irisan tomat. Ia menyajikan Choi pan itu untuk para tamunya yang berasal dari berbagai etnis.
Choi pan, salah satu makanan khas Tionghoa yang bentuknya mirip pastel di Jawa, korket di Kalimantan, atau empanada di kultur budaya Amerika Selatan. Jika pastel dan empanada berukuran besar, choi pan lebih kecil. Bagian luarnya berwarna putih campuran tepung beras dengan tepung kanji sehingga sensasinya sedikit kenyal dan licin.
Isian dalamnya bisa tumis rebung, kucai, keladi/talas, dan juga kacang. Choi pan dimasak dengan cara dikukus. Choi pan makin enak jika disantap dengan cocolan sambel.
Amie juga menyiapkan hekeng. Hekeng terbuat dari daging udang yang telah dihaluskan, dan dipadatkan seperti halnya membuat rolade. Hekeng biasanya dipotong kecil-kecil lalu digoreng. Cita rasanya renyah dan gurih.
Choi pan dan hekeng mudah sekali dijumpai di sejumlah tempat di Pontianak maupun di Singkawang. Dulu dua makanan yang berasal dari daratan Tiongkok itu diproduksi oleh para warga keturunan Tiongkok, yang banyak bermukim di Kalbar. Namun, kini banyak warga melayu atau Dayak yang mahir membuatnya.
Amie sendiri merupakan warga campuran Jawa dan Dayak. Ia belajar membuat choi pan dari kakak sepupunya yang menikah dengan orang Tionghoa.
”Kakak sepupu saya belajar membuat hekeng udang dan kue lapis legit dari keluarga suaminya. Kakak sepupu saya kemudian mengajari saya membuat masakan-masakan itu,” kata Adelina.
Bumbu juga disesuaikan agar bisa dinikmati masyarakat umum. Minyaknya menggunakan minyak goreng biasa dan minyak wijen. Toping untuk choi pan berupa bawang putih di atasnya yang menjadi ciri khas masakan Tionghoa tetap ada.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Hekeng udang, salah satu masakan khas Tionghoa di Kalimantan Barat, Senin (8/2/2021).
Ina (45), warga Singkawang keturunan Melayu, juga mahir membuat Choi pan. Ia berjualan Choi pan di warung miliknya. Harganya berkisar Rp 8.000-Rp 10.000 per porsi.
Awal mula ia tertarik dengan choi pan saat ia memakannya. ”Saya bertanya-tanya, bagaimana orang Tionghoa bisa membuatnya. Dari situlah saya terus mencoba secara otodidak,” ujar Ina.
Choi pan buatan Ina menyesuaikan selera lokal melayu. Ia memilih memakai minyak goreng atau minyak biasa agar semua kalangan bisa menikmati. Dalam sebulan ia bisa menjual 1.000 biji. Kalau ada pesanan dari pemda, ia bisa sampai 3.000 biji. Choi pan ina pun menjadi makanan takjil saat bulan Puasa.
Selain choi pan dan hekeng, ada pula kuliner lainnya yang beradaptasi dengan selera lokal. Salah satunya bakmi kering Haji Aman. Haji Aman (58) adalah seorang Tionghoa Muslim. Ia mengadopsi mi kering dari resep tiongkok menjadi mi dengan cita rasa lokal melayu.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Mi kering Haji Aman di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Selasa (9/2/2021).
Agar bisa dinikmati semua kalangan, dia memakai daging ayam dan minyak sayur agar halal. Bawang putih yang lebih menonjol dalam ciri khas masakan Tionghoa tetap kuat citarasanya daripada bumbu lain.
Bahan pelengkap berupa bakso berasal dari daging sapi. Kemudian, ada taburan daging ayam di atas mi. Pangsitnya, perpaduan isian daging ayam dengan bumbu-bumbunya. Ada pula irisan hekeng udang dan tepung. Semuanya diramu dalam mangkok. Dengan harga Rp 15.000-Rp 30.000, warga sudah bisa menikmati mi buatannya yang ternama.
Haji Aman bisa menjual 700 porsi setiap hari. Saat hari besar, ia bisa membuat sampai 1.500 porsi. Saat Imlek, banyak pengunjung dari luar kota yang datang ke warungnya, tetapi saat pandemi Covid-19 tamunya berkurang.
Suberanto Tjitra, Wakil Ketua DPRD Kota Singkawang, menuturkan, meski menyesuaikan rasa melayu, ia sebagai keturunan Tionghoa tetap menyukai masakan-masakan Tiongkok rasa lokal. Cap cay dan kwetiau yang dimasak orang Melayu dan Madura menurutnya memiliki ciri khas tertentu yang menarik untuk dinikmati.
”Komposisi bumbu yang berbeda. Masakan Tionghoa banyak bawang putih. Kalau orang di luar Tionghoa yang memasak, bawang putih lebih sedikit dan lebih banyak daun sop,” ujar Suberanto.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Salah satu warga sedang membuat mi asin atau mi panjang umur di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Rabu (10/2/2021).
Pengajar antropologi di Universitas Tanjungpura Pontianak, Donatianus, menuturkan, perubahan bahan dan bumbu dari kuliner yang menyesuaikan selera lokal menjadi bagian dari akulturasi kuliner. Dalam interaksi ada proses inkulturasi dan enkulturasi. Ada pengetahuan yang masuk ke dalam salah satu kelompok. Di sisi lain, ada pengetahuan yang diberikan kepada yang lain. ”Orang Tionghoa juga bisa memasak rendang yang enak,” ujarnya.
Melalui kuliner, antarkelompok berinteraksi. Amie, misalnya, berinteraksi dengan warga Tionghoa di sekitarnya untuk berbagi ilmu membuat choi pan. Ia juga sering bertukar ide dengan para koki (chef) dari Tionghoa dan dari berbagai kelompok.
Perubahan bahan dan bumbu dari kuliner yang menyesuaikan selera lokal menjadi bagian dari akulturasi kuliner.
Interaksi dengan koki-koki Tionghoa memberikan wawasan baru bagi warga melayu seperti Amie. Sebagai contoh, pengolahan kulit choi pan harus dengan trik tertentu. Jika tidak, kulitnya tidak bisa tipis atau agak keras. Kemampuannya memasak itu akhirnya membawanya sebagai pengusaha kuliner. Begitu pula sebaliknya, koki-koki Tionghoa bisa belajar banyak tentang kuliner Melayu ataupun Dayak.
Apa yang dilakukan Amie menggambarkan bahwa kuliner bisa menjadi instrumen proses integrasi sosial dan memupuk modal sosial masyarakat. Perlahan namun pasti, integrasi sosial berkontribusi kesatuan. Kuliner bisa menjadi instrumen pertemuan orang-orang berbagai latar belakang sehingga bisa saling memahami.