Bakpia, Aroma Harmoni Persembahan Kawula Yogyakarta
Selama bertahun-tahun, bakpia telah menjadi oleh-oleh khas Yogyakarta yang sangat populer. Namun, selain menjadi ikon kuliner, keberadaan bakpia sebenarnya juga menandakan harmoni dan akulturasi di Yogyakarta.
Bertahun-tahun, bakpia telah menjadi oleh-oleh khas Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat populer. Bahkan, kue bulat pipih itu bisa disebut salah satu ikon Yogyakarta. Di balik itu, bakpia menjadi perwujudan harmoni dan akulturasi antarwarga di Yogyakarta.
Sri Widayadi (69) masih mengingat kesibukan pembuatan bakpia di rumahnya semasa kecil. Saat itu, ada sekitar 10 orang yang dipekerjakan ayahnya untuk membuat bakpia di rumah. Proses pembuatan bakpia berlangsung dari pagi hingga dini hari karena jumlah bakpia yang diproduksi cukup banyak.
“Dari kecil, saya sudah sering lihat pembuatan bakpia. Dulu, kalau buat bakpia itu mulai pukul 7 pagi sampai sekitar pukul 1 dini hari,” ujar Sri Widayadi saat ditemui Kompas di rumahnya di Jalan Suryowijayan, Kota Yogyakarta, Sabtu (6/2/2021).
Sri merupakan putri Niti Gurnito yang disebut sebagai orang Jawa pertama pemilik usaha penjualan bakpia di Yogyakarta. Menurut Sri, Niti memulai usaha penjualan bakpia sekitar tahun 1940-an atau sebelum terjadi Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 1948.
“Sebelum clash (Agresi Militer Belanda II), bapak sudah buat bakpia. Jadi bapak saya itu orang Jawa yang pertama kali buat bakpia,” tutur Sri yang merupakan anak tunggal Niti Gurnito.
Baca juga: Kue Tradisional yang Tetap Eksis
Pada 1940-an, Niti berjualan bakpia di tepi Jalan Suryowijayan yang sekarang masuk wilayah Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Selain dijual di tempat, bakpia buatan ayahnya juga dijajakan para pedagang keliling.Para pedagang itu membawa makanan jualannya dengan alat pikulan, lalu berkeliling ke sejumlah wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya hingga ke daerah Prambanan di Kabupaten Sleman dan beberapa daerah di Kabupaten Bantul.
Para pedagang itu membawa bakpia dengan alat pikulan, lalu berkeliling ke sejumlah wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sri menyebut, jumlah pedagang pikulan yang menjual bakpia buatan ayahnya sekitar 10 orang. Setiap hari, seorang pedagang bisa membawa bakpia hingga ratusan butir hingga usaha bakpia Niti Gurnito waktu itu bisa dibilang cukup maju.
Menurut Sri, kebanyakan pedagang itu berasal dari Kabupaten Gunungkidul, DIY. Karena rumah mereka jauh, para pedagang itu biasa menumpang tidur di rumah Niti Gurnito. “Kalau malam, para pedagang itu tidur di rumah kami dan makan malam di sini juga. Nanti kalau pagi, mereka berangkat jualan lagi,” katanya.
Sri menambahkan, selain mengelola usaha bakpia, Niti Gurnito juga merupakan abdi dalem Keraton Yogyakarta. Sebagai abdi dalem, Niti mendapat nama Mas Lurah Niti Pawoko. Di Keraton Yogyakarta, Niti masuk dalam kelompok abdi dalem yang bertugas memainkan alat musik modern, misalnya terompet, tambur, dan sebagainya.
“Bapak menjadi sesepuh di bagian abdi dalem yang main alat musik kayak drum band. Beliau memang bisa main alat-alat musik itu. Kalau ada alat musik seperti terompet dan tambur yang rusak, ya direparasi di rumah,” ungkap Sri.
Baca juga: Harta Karun dari Keraton
Selain mahir memainkan alat musik modern, Sri menuturkan, Niti juga aktif terlibat dalam kegiatan seni tradisional, misalnya wayang orang dan ketoprak. Dalam pementasan wayang orang, Niti biasanya berperan sebagai tokoh Semar. Sampai sekarang, pihak keluarga masih menyimpan beberapa foto Niti Gurnito saat berperan sebagai tokoh Semar dalam pentas wayang orang.
Sri menyebut, Niti juga pernah ikut memainkan Tari Edan-edanan saat Raja Keraton Yogyakarta saat itu, Sultan Hamengku Buwono IX, menikahkan salah seorang anak perempuannya. Tari Edan-edanan merupakan tarian penolak bala yang biasanya dimainkan saat pernikahan agung di Keraton Yogyakarta.
Sesudah bertahun-tahun menjalankan usaha penjualan bakpia, Niti Gurnito meninggal dunia pada 1981 dalam usia 73 tahun. Usaha penjualan bakpia itu pun diteruskan Sri Widayadi dan keluarganya. Hingga kini, Sri masih rutin membuat dan menjual bakpia dengan merek Bakpia Niti Gurnito. Namun, jumlah bakpia yang diproduksi tak lagi sebanyak dulu.
Bahkan, saat ini, mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa keluarga Niti Gurnito masih melanjutkan usaha penjualan yang dirintis sejak 1940-an. Pada era sekarang, Bakpia Niti Gurnito memang kalah populer dengan pelbagai merek bakpia lain. Apalagi, Bakpia Niti Gurnito juga tak dititipkan ke toko oleh-oleh dan hanya dijual di rumah Sri Widayadi di Jalan Suryowijayan.
Menurut Sri, kebanyakan pembeli Bakpia Niti Gurnito adalah anak atau cucu dari orang-orang yang dulu menjadi pembeli bakpia buatan Niti. “Ada pembeli yang bilang disuruh eyangnya beli di sini, lalu ada yang bilang ibunya enggak mau bakpia kalau enggak beli di sini. Jadi, para pembeli dari generasi dulu itu masih ingat, lalu minta anak dan cucunya beli di sini,” tutur dia.
Persahabatan
Meskipun disebut sebagai orang Jawa pertama yang menjual bakpia, Niti Gurnito bukan orang pertama yang membuat dan menjual bakpia di Yogyakarta. Sri Widayadi menyebut, sebelum ayahnya berjualan bakpia, sudah ada satu orang yang lebih dulu memproduksi dan menjual bakpia, yakni seorang Tionghoa bernama Kwik Sun Kok.
Dalam sejumlah referensi, Kwik Sun Kok inilah yang disebut-sebut menjadi pelopor pembuatan bakpia di Yogyakarta. Secara historis, bakpia memang bukan berasal dari Yogyakarta. Kudapan berbentuk bulat pipih itu disebut berasal dari Tiongkok.
Sri menuturkan, pada mulanya, Kwik Sun Kok berjualan bakpia dengan menyewa lahan milik Niti Gurnito di pinggir Jalan Suryowijayan. Tidak ada informasi pasti tentang sejak kapan Kwik Sun Kok mulai memproduksi dan menjual bakpia. Namun, setelah beberapa waktu berjualan di lahan milik Niti Gurnito, Kwik Sun Kok membeli lahan sendiri di kawasan Suryowijayan dan memilih berjualan bakpia di lahannya sendiri.
Sesudah itu, Niti Gurnito kemudian membuka usaha bakpia di lahan miliknya yang dulu disewa Kwik Sun Kok. Untuk menjalankan usaha bakpia tersebut, Niti mempekerjakan orang-orang yang sebelumnya membantu Kwik Sun Kok membuat bakpia.
Pada mulanya, Kwik Sun Kok berjualan bakpia dengan menyewa lahan milik Niti Gurnito di pinggir Jalan Suryowijayan.
Sri menuturkan, Niti mempekerjakan orang-orang itu atas izin Kwik Sun Kok. Bahkan, menurut Sri, keputusan Niti menjalankan usaha bakpia juga berdasar usul dari karyawan Kwik Sun Kok. Alasannya, lokasi yang dulu dipakai Kwik Sun Kok berjualan bakpia itu sudah dikenal banyak pelanggan sehingga sayang jika tidak dipakai untuk berjualan bakpia lagi.
“Waktu itu, karyawan Bah Sun (panggilan Kwik Sun Kok) bilang ke ayah saya, bagaimana kalau mereka (para karyawan) siang hari bantu Bah Sung, lalu malam hari bantu ayah saya. Ayah saya lalu minta izin ke Bah Sun dan Bah Sun bilang, ora popo (tidak apa-apa) Pak Niti,” ungkap Sri.
Sri menyebut, setelah menjalankan usaha bakpia, Niti tetap bersahabat baik dengan Kwik Sun Kok. Bahkan, Sri mengenang, Kwik Sun Kok kerap membantu memperbaiki radio milik ayahnya yang rusak. “Jadi, ayah saya dengan Bah Sung itu tetap memiliki hubungan persahabatan yang baik,” tutur dia.
Hubungan persahabatan yang baik itu juga dibenarkan menantu Kwik Sun Kok, Jumikem (63). Menurut Jumikem, meskipun sama-sama berjualan bakpia di lokasi yang berdekatan, hubungan Kwik Sun Kok dan Niti Gunirto tetap baik. “Enggak ada persaingan. Jadi tetap bersahabat,” tuturnya.
Persahabatan Kwik Sun Kok dan Niti Gurnito menjadi bukti harmoni antara warga Tionghoa dan Jawa di Yogyakarta pada masa lalu. Selain harmoni, keberadaan bakpia juga menjadi bukti akulturasi atau pertemuan antara dua budaya.
Baca juga: Sekaten, Tradisi Syiar, dan Mimbar Rakyat Penembus Sekat
Jumikem menuturkan, berdasarkan penuturan sang mertua, bakpia dulu dibuat dengan minyak babi. Namun, untuk menyesuaikan dengan kondisi warga Yogyakarta yang mayoritas beragama Islam, minyak babi tak lagi dipakai dalam proses pembuatan bakpia.
“Aslinya dulu bakpia itu kan pakai minyak babi. Tapi, karena di sini banyak yang muslim, minyaknya lalu diganti,” ujar Jumikem yang hingga kini meneruskan usaha bakpia yang dirintis Kwik Sun Kok dengan nama Bakpia Lestari.
Menurut Jumikem, Kwik Sun Kok merupakan warga Tionghoa kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah. Dia kemudian menikah dengan perempuan asal Bantul. Sebelum menjadi penjual bakpia di Yogyakarta, Kwik Sun Kok disebut pernah pergi ke Tiongkok. Di Tiongkok itulah Kwik Sun Kok belajar membuat bakpia.
“Bah Sun itu aslinya Wonogiri. Tapi dia dulu pernah ke Tiongkok dan di sana lihat ada bakpia. Lalu, dia lihat cara membuat bakpia di sana,” kata Jumikem.
Menurut Jumikem, berdasarkan penuturan sang mertua, usaha bakpia yang dikelola Kwik Sun Kok merupakan yang pertama di Yogyakarta. Bersama dengan Bakpia Niti Gurnito, bakpia buatan Kwik Sun Kok itu kemudian dikenal dengan julukan Bakpia Tamansari. Hal ini karena wilayah sekitar Jalan Suryowijayan—tempat Niti Gurnito dan Kwik Sun Kok berjualan—dulu sering disebut sebagai kawasan Tamansari.
Dalam buku Bakpia Si Bulat Manis yang Selalu Dicari (2016) karya Murdijati Gardjito dan Katharina Ardanareswari disebutkan, istilah Bakpia Tamansari pernah sangat terkenal pada era 1940-an. Namun, lama-kelamaan, pamor Bakpia Tamansari mulai meredup. Kini, meski usaha bakpia peninggalan Kwik Sun Kok dan Niti Gurnito masih terus beroperasi, banyak orang yang tak lagi mengenal istilah Bakpia Tamansari.
Bakpia Pathuk
Setidaknya sejak akhir 1980-an, bakpia justru lebih identik dengan kawasan Pathuk di Kelurahan Ngampilan, Kota Yogyakarta. Di wilayah itu, memang banyak bermunculan usaha produksi bakpia dan toko oleh-oleh yang menjual bakpia sebagai produk utama. Istilah Bakpia Pathuk dengan beragam variasi, seperti Bakpia Pathok dan Bakpia Patuk, pun menjadi populer hingga sekarang.
Usaha bakpia di kawasan Pathuk dirintis seorang warga Tionghoa bernama Liem Bok Sing. Menurut buku Bakpia Si Bulat Manis yang Selalu Dicari, Liem Bok Sing memulai usaha produksi bakpia sejak tahun 1948. Namun, saat itu, Liem belum tinggal di kawasan Pathuk, melainkan di wilayah Dagen yang berlokasi tak jauh dari kawasan wisata Malioboro.
Sebelum membuat bakpia, Liem awalnya berjualan arang. Salah satu orang yang rutin membeli arang dari Liem waktu itu adalah Kwik Sun Kok. Arang itulah yang dipakai Kwik Sun Kok sebagai bahan bakar untuk memanggang bakpia buatannya.
Pada tahun 1955, Liem dan keluarganya pindah ke kawasan Pathuk. Dia kemudian meneruskan usaha pembuatan bakpia di sana. Usaha pembuatan bakpia itu kemudian berkembang menjadi besar. Kelak, usaha bakpia yang dirintis Liem itu dikenal dengan merek Bakpia Patuk 75. Nomor 75 itu sesuai dengan nomor rumah yang ditempati Liem di Pathuk. Pemakaian nomor rumah untuk merek bakpia itu memang kerap dipakai di kawasan Pathuk hingga kini.
Baca juga: Mbah Lindu dan Gudeg Yogya Berbumbu Rindu
Salah satu orang yang rutin membeli arang dari Liem waktu itu adalah Kwik Sun Kok. Arang itulah yang dipakai Kwik Sun Kok sebagai bahan bakar untuk memanggang bakpia buatannya.
Selain Bakpia Patuk 75, usaha bakpia lain di Pathuk yang juga berkembang besar adalah Bakpia Pathok 25. Pemilik Bakpia Pathok 25, Angling Saputra Sanjaya (51), menuturkan, usaha bakpia tersebut memiliki izin resmi sejak tahun 1980-an. “Usaha ini dirintis oleh mama saya, Tan Aris Nio,” tuturnya.
Menurut Angling, pada awalnya, usaha bakpia di Pathuk belum memiliki merek dan belum dikenal dengan sebutan Bakpia Pathuk. Dia menyebut, penggunaan merek bakpia dengan nomor rumah dan pemakaian istilah Bakpia Pathuk dilakukan pertama kali oleh keluarga Tan Aris Nio. “Kami yang memulai menamai Bakpia Pathuk dan kami bikin slogan oleh-oleh khas Jogja,” katanya.
Angling menuturkan, pada mulanya, bakpia buatan keluarga Tan Aris Nio diberi merek Bakpia Pathok 38. Sebab, waktu itu, keluarga Tan Aris Nio menyewa bangunan toko nomor 38 di kawasan Pathuk. Sesudah itu, keluarga Tan Aris Nio memutuskan membuat bakpia merek baru untuk memperluas pasar. Dari keputusan itulah lahir merek Bakpia Pathok 25.
Merek Bakpia Pathok 25 dipilih bukan berdasar nomor rumah atau toko milik keluarga Tan Aris Nio. Merek itu dipilih karena nomor 25 dinilai sebagai nomor yang spesial bagi orang Jawa. Sebab, dalam bahasa Jawa, nomor 25 disebut dengan kata berbeda dengan nomor-nomor sebelum dan sesudahnya.
Dalam bahasa Jawa, nomor 21-24 dan nomor 26-29 selalu disebut dengan akhiran likur. Sementara itu, nomor 25 disebut dengan kata selawe. “Nomor 25 itu ada falsafahnya. Kalau dalam bahasa Jawa, nomor habis 20 itu kan ada selikur, rolikur, telu likur, patlikur, tapi tidak ada lima likur. Jadi, selawe ini angka yang beda. Mama saya itu Tionghoa tapi lahir di sini sehingga kejawennya kuat,” ungkap Angling.
Entah kebetulan atau tidak, merek Bakpia Pathok 25 itulah yang kemudian menjadi lebih dikenal. Saat ini, Bakpia Pathok 25 memiliki delapan toko penjualan di sejumlah wilayah DIY. Selain membuat bakpia konvensional dengan isi kacang hijau, Bakpia Pathok 25 juga berinovasi membuat bakpia premium dengan isi cokelat, keju, nanas, durian, green tea, capucino, kumbu hitam, dan lainnya.
Angling memaparkan, booming bakpia sebagai oleh-oleh mulai terjadi sejak dekade 1990-an seiring meningkatnya aktivitas pariwisata ke Yogyakarta. Sejak saat itu, kawasan Pathuk mulai sering didatangi wisatawan yang ingin berburu bakpia sebagai oleh-oleh. “Waktu itu, setiap Sabtu Minggu pasti daerah Pathuk macet karena banyak didatangi wisatawan,” ujarnya.
Sejak dekade 1990-an itu pula, industri bakpia skala rumahan mulai menjamur di kawasan Pathuk. Mengacu ke buku Bakpia Si Bulat Manis yang Selalu Dicari, menjamurnya industri bakpia rumahan di Pathuk berawal dari seorang warga setempat bernama Sonder yang merupakan bekas karyawan Bakpia Patuk 75.
Berbekal pengetahuan membuat bakpia saat bekerja di Bakpia Patuk 75, Sonder kemudian mendirikan usaha produksi bakpia di Pathuk. Sonder lalu mengajari para tetangganya membuat bakpia sehingga usaha bakpia skala rumahan di Pathuk kemudian berkembang menjadi semakin banyak.
Sonder juga disebut kerap menjadi narasumber pelatihan pembuatan bakpia yang digelar pemerintah. Oleh karena itu, usaha produksi bakpia kemudian berkembang ke sejumlah wilayah di DIY. Bahkan, pada tahun 2016, pemerintah menetapkan bakpia sebagai warisan budaya tak benda yang dimiliki Indonesia.
Terpukul pandemi
Meskipun pamor bakpia sebagai oleh-oleh tak lagi diragukan, usaha bakpia di Yogyakarta juga ikut terpukul pandemi Covid-19. Hal ini karena pandemi Covid-19 membuat aktivitas pariwisata merosot drastis. Padahal, penjualan bakpia sangat bergantung pada kedatangan wisatawan ke Yogyakarta.
Angling menceritakan, awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020, produksi Bakpia Pathok 25 menurun hingga 80 persen. Pada Juni 2020, penjualan bakpia tersebut mulai meningkat seiring pulihnya aktivitas perekonomian. Namun, pada Desember 2020, penjualan bakpia itu kembali menurun karena jumlah kasus Covid-19 meningkat signifikan.
Hingga kini, volume produksi Bakpia Pathok 25 belum benar-benar normal. Menurut Angling, jika dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19, produksi bakpia tersebut pada awal Februari ini masih turun sekitar 60 persen. Karena penurunan itu, manajemen Bakpia Pathok 25 terpaksa merumahkan lebih dari 50 persen pekerjanya.
“Sebelum Covid-19, pekerja kami bisa sekitar 300 orang dan kalau pas ramai bisa tambah 100 orang. Sekarang kami merumahkan separuh lebih,” tutur Angling.
Penurunan penjualan dan produksi itu juga dialami usaha bakpia skala rumahan di kawasan Pathuk yang tergabung dalam Paguyuban Laris Manis. Ketua Paguyuban Laris Manis, Joni Purwantoro (49), mengatakan, ada 20 usaha bakpia skala rumahan yang tergabung dalam paguyuban tersebut.
Menurut Joni, sebelum pandemi Covid-19, satu usaha bakpia skala rumahan bisa memproduksi 500 sampai 1.000 dus bakpia per bulan dengan tiap dus berisi 20 bakpia. Namun, setelah pandemi, jumlah bakpia yang diproduksi menurun berkisar 80-90 persen. “Setelah pandemi, terjadi penurunan signifikan karena bakpia merupakan makanan oleh-oleh sehingga penjualannya berkaitan langsung dengan sektor pariwisata,” katanya.
Joni menuturkan, penurunan penjualan bakpia selama pandemi Covid-19 sangat berdampak para produsen anggota Paguyuban Laris Manis. Sebab, rata-rata anggota paguyuban itu merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan modal pas-pasan. Bahkan, sebagian besar produsen bakpia itu tidak mempekerjakan karyawan, tetapi hanya mengandalkan anggota keluarganya yang berjumlah dua sampai empat orang.
Selain Paguyuban Laris Manis, ada dua paguyuban lain yang juga menghimpun para produsen bakpia skala rumahan di kawasan Pathuk. Saat ini, usaha bakpia skala kecil di Pathuk dan sekitarnya itu berjumlah sekitar 85 usaha.
“Sayangnya, belum semua anggota kami mendapat bantuan dari pemerintah. Hanya sebagian saja yang dapat. Padahal, sudah sejak lama ada pendataan untuk pemberian bantuan bagi UMKM,” ungkap Joni.
Dampak pandemi Covid-19 juga dialami produsen bakpia di luar kawasan Pathuk, misalnya Bakpiapia. Pemilik usaha Bakpiapia, Tano Nazoeaggi (34), menuturkan, seluruh gerai penjualan Bakpiapia yang berjumlah lima unit sempat tutup pada Maret-Oktober 2020 karena penjualan yang merosot drastis.
Tano menambahkan, saat ini, jumlah gerai Bakpiapia yang tersisa tinggal dua unit, sedangkan jumlah bakpia yang diproduksi anjlok hingga 90 persen. Selain itu, jumlah karyawan Bakpiapia juga terpaksa dikurangi separuh. “Sebelum pandemi Covid-19, kami punya sekitar 40 orang karyawan. Tapi sekarang jumlah karyawan kami tidak sampai 20 orang,” tuturnya.
Bakpia memang identik sebagai makanan oleh-oleh untuk para wisatawan. Oleh karena itu, dia menilai, bakpia tidak menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Yogyakarta. (Tano Nazoeaggi)
Untuk mempertahankan usahanya, Tano kemudian membuat produk selain bakpia. Sejak Maret 2020, Tano memproduksi dan menjual pempek Palembang dengan merek Pempek Pakjo. “Sebelumnya kami memang sudah ingin menciptakan produk baru. Dengan adanya pandemi Covid-19, itu memicu kami untuk segera mengambil langkah menciptakan produk lain,” katanya.
Menurut Tano, selama ini, bakpia memang identik sebagai makanan oleh-oleh untuk para wisatawan. Oleh karena itu, dia menilai, bakpia tidak menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Yogyakarta. Kondisi itulah yang menyebabkan penjualan bakpia merosot drastis setelah aktivitas pariwisata di Yogyakarta anjlok akibat pandemi Covid-19.
Baca juga : Mudik ke Yogyakarta? Jangan Lupa Berburu Oleh-oleh Khasnya…
Tano juga menyebut, sejak tahun 2010, Bakpiapia sebenarnya berupaya mengubah citra bakpia tidak hanya sebagai makanan oleh-oleh, tetapi juga makanan sehari-hari. Namun, upaya tersebut tampaknya belum terlalu berhasil.
“Bakpia itu di benak banyak orang sudah dianggap sebagai makanan oleh-oleh. Sejak 2010, kami berjuang untuk membuat orang Yogyakarta mengonsumsi bakpia sebagai daily food (makanan sehari-hari). Tapi ternyata memang sulit,” ungkap Tano.
Saat ini, Bakpiapia sedang berupaya agar bakpia bisa menjadi makanan hantaran untuk berbagai keperluan, misalnya saat acara pernikahan, menjenguk orang sakit, atau buah tangan saat warga bertamu ke teman atau saudara di dalam kota. Dengan upaya ini, penjualan bakpia diharapkan tak lagi bergantung pada pariwisata.
Bakpia menjadi perwujudan harmoni yang telah lama mengakar dan semestinya menjadi pengingat betapa kerukunan adalah sokoguru masyarakat Yogyakarta sejak lama. Dalam lembut kacang hijau dan aroma panggang adonan terigu melebur produk budaya dua bangsa, persembahan Yogyakarta.