Tinjau Ulang Penolakan Sunda Wiwitan sebagai Masyarakat Hukum Adat
Penolakan Pemkab Kuningan, Jawa Barat, terkait permohonan masyarakat Akur Sunda Wiwitan menjadi masyarakat hukum adat menunjukkan Sunda Wiwitan belum sepenuhnya terlindungi. Penolakan ini juga dinilai merugikan pemda.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, perlu meninjau ulang keputusannya yang tidak mengakui masyarakat Adat Urang Karuhun (Akur) Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat. Selain merugikan pemerintah kabupaten, penolakan itu juga dinilai belum melindungi masyarakat adat sepenuhnya.
Berdasarkan surat Bupati Kuningan Nomor 189/3436/DPMD pada 29 Desember 2020, Masyarakat Akur Sunda Wiwitan Cigugur tidak dapat ditetapkan sebagai masyarakat hukum adat (MHA) di Kuningan. Alasannya, Sunda Wiwitan tidak memenuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA.
Permendagri tersebut menyebutkan, MHA harus mensyaratkan lima kriteria, yakni sejarah MHA, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, serta kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Namun, dalam regulasi itu, tidak ada penjelasan terkait sejarah, kelembagaan, dan harta kekayaan adat.
”Lima kriteria ini sedikit banyak sudah dirusak oleh berbagai kebijakan negara, baik kolonial maupun setelahnya. Kalau semua harus terpenuhi, ini kejam,” kata pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, dalam diskusi daring, Kamis (11/2/2021).
Diskusi yang digelar Universitas Katolik Parahyangan tersebut bertema ”Diseminasi Publik Hasil Verifikasi dan Validasi Masyarakat Akur Sunda Wiwitan”. Turut hadir sebagai pembicara Guru Besar Fakultas Hukum Unpar Catharina Dewi Wulansari; mantan hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna; dan Sekretaris Kabupaten Kuningan Dian Rachmat.
Lima kriteria ini sedikit banyak sudah dirusak oleh berbagai kebijakan negara, baik kolonial maupun setelahnya. Kalau semua harus terpenuhi, ini kejam. (Yando Zakaria)
Yando mencontohkan, masyarakat adat yang dulunya meramu dan berburu dipaksa oleh negara untuk bermukim. Begitu pun dengan masyarakat adat yang diharuskan memiliki tanah komunal. Padahal, lanjutnya, di sejumlah daerah adat, banyak tanah sudah dimiliki secara individu.
Ia juga menilai, syarat penetapan MHA dalam Permendagri No 52/2014 lebih berat dibandingkan dengan Undang-Undang No 6/2014 tentang Desa yang mengatur desa adat, termasuk masyarakat adat di dalamnya. ”UU Desa cukup dua kriteria saja. Standar permendagri lebih tinggi dibandingkan dengan UU,” katanya.
Itu sebabnya, menurut Yando, penolakan Pemkab Kuningan terkait status MHA Sunda Wiwitan menunjukkan masyarakat adat kembali jadi korban politik hukum dengan hak-hak tradisionalnya. ”Apakah pengakuan terhadap masyarakat adat harus ada pernyataan tertulis, seperti permendagri? Pengakuan itu sudah selesai dalam konstitusi,” ujarnya.
Dalam Pasal 18B UUD 1945, konstitusi mengakui keberadaan kesatuan MHA sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI dalam konstitusi. ”Andaipun syarat kesatuan MHA tidak terpenuhi, masyarakat Akur Sunda Wiwitan tidak kehilangan hak konstitusionalnya sesuai dengan Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945. Negara wajib melindunginya,” kata I Dewa Gede Palguna.
Pemda rugi
Catharina mendorong Pemkab Kuningan meninjau ulang keputusannya terkait status Sunda Wiwitan. ”Kalau ini ditolak, berarti yang rugi pemerintah daerah sendiri. Budaya khas Sunda Wiwitan ini bisa mendatangkan kesejahteraan. Kalau bersaing di sektor industri, jelas kita kalah. Tapi, budaya khas ini jadi comparative advantage,” katanya.
Selama ini, kebudayaan Sunda Wiwitan, seperti Seren Taun di Cigugur, kerap menarik wisatawan domestik hingga luar negeri. Sunda Wiwitan yang muncul sejak 1800 dari komunitas Agama Djawa Sunda (ADS) juga acap kali menjadi kajian para peneliti.
Pupuhu Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, P Gumirat Barna Alam, mengatakan, pengakuan MHA dapat melindungi Sunda Wiwitan. Misalnya, pengakuan itu bisa menjadi legal standing (kedudukan hukum) dalam kasus sengketa tanah adat. Pihaknya juga merasa beberapa kali menjadi korban diskriminasi.
Pembangunan bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan, misalnya, ditolak sejumlah organisasi masyarakat. Pemkab juga menyegel bakal makam itu dengan alasan tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Padahal, eksistensi adat adalah eksistensi kebangsaan. (Gumirat Barna Alam)
Pengakuan MHA, lanjutnya, dapat mencegah kejadian tersebut. Itu sebabnya, pada 11 April 2020, pihaknya mengajukan penetapan MHA kepada Pemkab Kuningan. Sekitar 25 dokumen sejarah, wilayah adat, hingga aneka penghargaan dari pemerintah pusat juga telah diserahkan. Namun, pemkab menolak. ”Padahal, eksistensi adat adalah eksistensi kebangsaan,” katanya.
Sekretaris Kabupaten Kuningan yang juga Ketua Panitia MHA Kuningan Dian Rachmat Yanuar sudah menerima 18 dokumen untuk menjadi bahan identifikasi, verifikasi, dan validasi Sunda Wiwitan sebagai MHA. Konsultasi dan koordinasi juga dilakukan dengan pihak terkait, seperti keluarga masyarakat Akur Sunda Wiwitan, akademisi, hingga pemerintah pusat.
Menurut dia, syarat MHA belum dipenuhi Masyarakat Akur Sunda Wiwitan. ”Saya pastikan, tim verifikasi tidak ada hidden agenda (agenda terselubung). Kami bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada. Apabila ada data atau fakta yang valid terkait keberadaan Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan, kami akan tindak lanjuti sesuai peraturan,” katanya.
Kepala Seksi Penataan Desa di Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Wirahman Dwi Bahri mengatakan, Permendagri No 52/2014 tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan tokoh adat dalam validasi MHA. ”Kami tidak melarang. Permendagri ini juga sangat terbuka untuk dikritisi,” ujarnya.