Perayaan Imlek Sederhana di Tengah Pandemi di Kota Medan
Perayaan Imlek di tengah pandemi Covid-19 dilaksanakan dengan sederhana di Medan. Tidak ada dekorasi dan kemeriahan seperti tahun sebelumnya. Tahun ini diharapkan menjadi pemulihan dampak pandemi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Imlek di tengah pandemi Covid-19 dirayakan dengan sederhana di Medan, Sumatera Utara, Jumat (12/2/2021). Tidak ada dekorasi dan kemeriahan seperti tahun sebelumnya. Tahun ini diharapkan menjadi pemulihan dampak kesehatan dan ekonomi akibat Covid-19.
”Kami mendoakan supaya negara kita tahun ini bisa membaik dan pulih dari dampak pandemi. Pandemi sangat memukul kehidupan kita selama setahun belakangan,” kata pengurus Maha Vihara Maitreya, Dicky Paskarianto, di kompleks Cemara Asri.
Imlek 2572 dirayakan dengan sangat sederhana. Tidak ada dekorasi yang sangat meriah seperti tahun-tahun sebelumnya di kawasan wihara seluas 4,5 hektar itu. Lampion yang biasanya memenuhi seluruh kompleks wihara kini dipasang hanya secukupnya saja. Rangkaian perayaan Imlek, seperti acara bazar dan Cap Go Meh, pun tidak dilaksanakan tahun ini.
Semua itu kami lakukan untuk mengurangi potensi kontak melalui benda dan mencegah kerumunan. (Dicky Paskarianto)
Perayaan Imlek pun dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Umat yang kebaktian dibatasi agar tidak sampai menimbulkan kerumunan. Tempat sembahyang dikelilingi pagar agar umat yang masuk dan keluar bisa dikontrol. ”Semua umat yang kebaktian harus cuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, tidak sedang sakit, dan tidak demam,” kata Dicky.
Umat Buddha di Maha Vihara Maitreya pun mulai sembahyang secara bergantian sejak pagi. Umat yang datang pun tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang biasanya sangat ramai. ”Kami sudah mengimbau agar umat mengutamakan kebaktian di rumah,” kata Dicky.
Penyesuaian pun dilakukan dalam acara Imlek. Saat ini, misalnya, umat diminta untuk tidak mengelus perut rupang Buddha Maitreya, yang biasanya dilakukan sebagai doa untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan sukacita. Kini juga tidak ada lagi acara menggantungkan doa yang ditulis dalam kertas dan digantungkan ke ranting pohon harapan atau pohon meihua.
Mencegah kerumunan
Kampung Tionghoa dan tempat berfoto juga tidak ada. ”Semua itu kami lakukan untuk mengurangi potensi kontak melalui benda dan mencegah kerumunan,” kata Dicky.
Selain sembahyang, beberapa acara masih tetap dilaksanakan, seperti mengambil kartu nasihat Buddha Maitreya dari dalam kotak. Namun, umat diberikan sarung tangan plastik dulu baru bisa mengambilnya. Kartu nasihat itu menjadi pedoman hidup yang biasanya disimpan dalam dompet, meja kerja, atau di tempat yang mudah dilihat setiap waktu.
Alwi Awai (45), umat Buddha di Medan, mengatakan, Imlek kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. ”Suasananya berbeda bukan hanya karena protokol kesehatan, tetapi juga karena setahun belakangan ini kondisinya sangat berat bagi kita semua,” katanya.
Alwi, pemilik toko panglong, mengatakan, kondisi ekonomi di tengah pandemi sangat berat. Belum pernah ia mengalami penurunan omzet sepanjang tahun seperti sekarang. Alwi yang datang bersama istri dan anaknya pun mendoakan agar tahun ini ekonomi Indonesia bisa pulih kembali.
Stevie Agustin (35) pun merasakan nuansa Imlek yang berbeda. Ia bersama suami dan anaknya merayakan Imlek dengan sembahyang di Maha Vihara Maitreya. ”Biasanya kami berkunjung ke sejumlah rumah keluarga. Saat ini hanya mengunjungi orangtua saja,” katanya.
Meskipun di tengah pandemi, kata Stevie, makna Imlek tetap tidak berkurang baginya. ”Tujuan Imlek adalah berterima kasih kepada Tuhan karena diberikan napas kehidupan, kesehatan, dan rezeki,” katanya.