Muhammad Ikhsan (53) tekun menelusuri asal-usul ratusan jalan dan lorong di Palembang, mulai dari namanya. Sebab, di balik sebuah nama ada kisah menarik yang terkandung di dalamnya, utamanya dari perspektif sejarah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·6 menit baca
Didorong rasa penasaran yang terus bergelora membuat Muhammad Ikhsan (53) tekun menelusuri asal-usul ratusan jalan dan lorong di Palembang, mulai dari namanya. Sebab, dia meyakini, di balik sebuah nama pasti ada kisah menarik yang terkandung di dalamnya, utamanya dari perspektif sejarah.
Latar belakang pendidikan Ikhsan memang bukan ilmu sejarah. Dia adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya spesialisasi hukum pidana. Namun, menelisik asal-usul suatu tempat (toponimi) sudah menjadi hobinya sejak di bangku SMA sekitar 35 tahun lalu. ”Adalah sebuah ironi jika tahu banyak soal asal-usul sejumlah tempat di dunia, tetapi tidak tahu latar belakang tempat kelahirannya sendiri,” ujarnya ketika disambangi Kompas di kediamannya di Palembang, Sabtu (6/2/2021).
Ikhsan masih ingat lokasi pertama yang ia telusuri adalah Lorong Basah. Lokasi itu tidak jauh dari tempat tinggalnya semasa kecil di kawasan 16 Ilir, Palembang. Banyak orang mengira Lorong Basah merujuk pada kutipan dari nama jalan yang ada saat ini, yakni Jalan Sentot Ali Basya (Basya=Basah), padahal tidak seperti itu.
Hasil wawancara dengan warga sepuh di kawasan tersebut menguak bahwa dulunya tempat ini merupakan salah satu lokasi prostitusi di Kota Palembang sehingga dijuluki Lorong Basah. ”Pemberian nama jalan sekarang ini hanya untuk mengubah stigma negatif yang telah telanjur menempel di benak masyarakat,” ucap Ikhsan.
Namun, Ikhsan tak menampik adanya versi lain, termasuk dari penelusur sejarah Kota Palembang, Husein Natodirajo. Husein berpendapat, nama Lorong Basah muncul karena dulunya tempat itu adalah pelintasan warga Tionghoa untuk mengantarkan air dari Sungai Musi ke kawasan Masjid Lama.
Mereka mengangkut air dengan menggunakan ember sehingga banyak air yang tumpah. Itulah sebabnya mengapa lorong tersebut dinamai Lorong Basah. ”Dari satu tempat saja banyak versi yang muncul. Beragam pandangan inilah yang memperkaya wawasan kita,” ucap Ikhsan.
Penelusuran pun terus berlanjut ke beberapa nama jalan lain di Palembang. Dari hasil penjelajahannya, Ikhsan berpendapat, nama jalan di Palembang diambil dari nama tumbuhan, aktivitas masyarakat, karakteristik daerah, bahkan dari cerita rakyat.
Misalnya, Jalan Tanjung Siapi-api atau daerah Plaju. Keduanya diambil dari nama jenis pohon siapi-api dan plajau. Kemungkinan tumbuhan tersebut disematkan oleh penduduk mula-mula ketika membuka lahan. ”Dulu Palembang merupakan kawasan hutan dan rawa. Kemungkinan penduduk awal memberi nama daerah berdasarkan tanaman yang banyak mereka temui,” ujar Ikhsan.
Tidak hanya itu, di Palembang juga banyak nama jalan yang menggunakan kata ”Talang”, seperti Talang Betutu, Talang Buruk, Talang Keranggo, dan Talang Semut. Kata Talang sendiri merujuk pada sebuah daerah tanah keras yang menyembul di tengah rawa dan biasanya ditumbuhi sejumlah tanaman perkebunan khas rawa.
Namun, seiring perkembangan zaman, banyak nama jalan yang tidak lengkap, bahkan hilang. Misalnya, Jalan Talang Buruk. Berdasarkan naskah lama tahun 1919, awalnya jalan itu dinamakan Talang Jerambah (jembatan) Buruk. Ini karena di daerah itu ada sebuah jembatan yang kondisinya buruk, tetapi kini disingkat menjadi Talang Buruk.
Banyak juga jalan di Palembang yang menggunakan kata ”Tangga”, seperti Tangga Buntung dan Tangga Takat. Dalam naskah lama, kata tangga berarti ’dermaga’. Palembang yang dulunya dialiri banyak sungai dan anak sungai tentu memiliki banyak dermaga sebagai tempat bersandarnya perahu.
Selain itu, ada nama jalan yang muncul dari aktivitas masyarakat, misalnya Jalan Kepandaian dulunya diduga menjadi tempat berkumpulnya pandai besi, tak jauh dari sana ada Jalan Kuningan yang juga menjadi tempat para perajin kuningan, ataupun Jalan Sayangan yang diduga dulu menjadi tempat berkumpulnya para perajin tembaga. Ada juga kawasan Simpang Patal (Pabrik Pemintal) karena memang ada pabrik pemintal di sana, tetapi kini telah berganti rupa menjadi hotel bintang empat.
Nama tanaman juga ia temukan dalam naskah lama peninggalan masa kolonial Belanda. Kemampuan menganalisis naskah lama ia dapat dari ilmu hukum yang ia geluti saat ini. ”Dalam ilmu hukum, saya perlu mempelajari sejumlah kosakata Belanda. Tanpa saya sadari, kemampuan ini juga membantu saya dalam mempelajari naskah lama yang beberapa di antaranya menggunakan bahasa Belanda,” kata Ikhsan.
Kata Palembang pun, ujar Ikhsan, awalnya adalah Pelembang. Perubahan istilah ini terjadi di masa kolonial Belanda karena orang Belanda saat itu tidak terbiasa berbicara Pelembang, tetapi Palembang. Sama ketika mereka menyebut suatu daerah di Kabupaten Ogan Ilir, yakni Pemulutan menjadi Pamulutan.
”Lambat laun istilah Palembang-lah yang terus digunakan oleh masyarakat sampai saat ini,” ucapnya. Namun, ujar Ikhsan, dalam tutur lisan kata Pelembang masih kerap terdengar. ”Budak itu wong Pelembang (Anak itu orang Palembang),” katanya.
Ditemukan juga istilah ”Pelimbang” yang tercantum dalam catatan ekspedisi militer angkatan laut Kerajaan Inggris yang berjudul Memoir of The Conquest of Java yang ditulis oleh Major William Thorn dan diterbitkan tahun 1815.
Pelimbang merujuk pada aktivitas melimbang, yakni memisahkan logam dari pasir/tanah dengan cara mengayak dengan nyiru. Ini cukup relevan karena dulunya banyak aktivitas pelimbangan emas atau logam berharga lainnya di sekitar Sungai Musi.
Pendapat lain datang dari sejarawan Palembang Djohan Hanafiah yang berpendapat bahwa Palembang diambil dari kata Lembang yang dalam Melayu Kuno berarti ’tanah yang terendam air’ atau lembeng yang dalam bahasa Melayu-Palembang berarti ’rembesan air’.
Dari fakta-fakta ini, Ikhsan berpendapat, sangat penting untuk menjaga khazanah sejarah Kota Palembang dengan tetap memelihara kekhasan nama jalannya. Tujuannya tidak lain agar sejarah itu dapat diturunkan kepada generasi berikutnya. Sayangnya, banyak nama jalan yang berangsur hilang karena diganti dengan nama tokoh pahlawan nasional yang bahkan bukan berasal dari Palembang.
Hal ini dikhawatirkan akan membuat sejarah dari tempat tersebut perlahan terkikis. ”Penggantian dengan alasan apa pun merupakan upaya sistemik untuk menghilangkan sejarah dan peradaban suatu daerah,” katanya. Mungkin nanti akan banyak orang Palembang dari rantau yang ingin bernostalgia ke kota ini akan bertanya, ”Di mano jalan ini. Dulu perasaan ado di sini?”
Ikhsan berharap agar pengenalan sejarah daerah mulai disampaikan sejak dini kalau bisa dimasukkan dalam kurikulum di sekolah. ”Ada baiknya anak-anak dibawa ke suatu tempat sembari bercerita mengenai sejarah tempat itu. Maka, kecintaan anak pada daerahnya akan semakin terpupuk,” ucap Ikhsan.
Karena kepeduliannya itulah, sejumlah hasil penelusuran selama 35 tahun dia tuangkan dalam sebuah buku berjudul Palembang dari Waktu ke Waktu. Di buku terbitan tahun 2018 tersebut, tertera asal-usul sejumlah daerah dari namanya. ”Masih ada penemuan lain yang belum saya tuangkan. Menurut rencana, akan saya tulis setelah menyelesaikan disertasi,” katanya sembari tersenyum.
Di akhir perbincangan, Ikhsan pun mengutip pendapat dari tokoh hukum mazhab sejarah asal Jerman, Friedrich Karl Von Savigny, yang mengatakan, hukum dan sejarah akan tumbuh, berkembang, dan mati bersama masyarakatnya.
Karena itulah, ujar Ikhsan, penting untuk tetap memelihara sejarah panjang Kota Palembang agar tidak pupus digilas zaman. Seketika kami teringat pesan Bung Karno, ”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”
Muhammad Ikhsan
Lahir: Palembang, 21 Februari 1968
Istri: Sri Mulyasari
Anak:
- Dhia Islami Nabila
- Muhammad Ilmi Lutfi
- RMA Aziz Intias
Pendidikan:
- SD Negeri 81
- SMP 6 Negeri Palembang
- SMA 2 Palembang
- Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya