Batik Shio, Suara Keberagaman dalam Selembar Kain
Malang tidak pernah punya sejarah batik. Meski begitu, lahir beragam jenis batik di ”kota apel” ini. Salah satunya batik shio. Batik shio bukan sekadar karya kreatif, melainkan juga suara keberagaman dalam lembar kain.
Malang tidak pernah punya sejarah batik. Meski begitu, toh akhirnya lahir beragam jenis batik di ”kota apel” ini, salah satunya batik shio. Batik shio bukan sekadar karya kreatif, namun juga suara keberagaman.
Batik shio dikembangkan oleh Lusiana Limono (45), perempuan keturunan Tionghoa lulusan Institut Kesenian Jakarta, sejak tahun 2016. Tahun 2017, produk batik shio mulai diluncurkan dan mendapat sambutan pasar di seluruh Nusantara.
Batik shio ini adalah batik dengan motif 12 shio yang diaplikasikan dalam lembaran kain. Ada jenis batik cap dan ada batik tulis. Selain berbentuk lembaran kain, batik shio juga dipasarkan dalam bentuk baju, syal, tas, masker, dan produk turunan kekinian lain.
Harganya bervariasi, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah per produk. Batik tidak lagi kaku hanya menjadi ”harta” simpanan kaum priayi, namun juga bisa dimiliki mereka yang biasa-biasa saja.
Baca juga : Lucunya Boneka Batik Khas Malang
Model berjualannya pun mengikuti zaman, yaitu pemasaran secara digital. Harapannya, batik shio akan menjadi jembatan bagi generasi muda masa kini untuk mencintai seni budaya nenek moyang.
Dan yang menarik, dalam selembar kain batik shio, tidak semua proses dikerjakan oleh Lusiana dan anak buahnya sendiri. Batik cap dikerjakan oleh ibu-ibu perajin batik di Sragen dan Pekalongan. Untuk menjahitnya menjadi busana, Lusiana meminta bantuan ibu penjahit di Malang. Lusiana akan lebih banyak menentukan desain dan pewarnaan. Begitu seterusnya, termasuk produk rajutan buatan Lusiana yang berlabel Kaithandmade.
Sistem kerja merangkul banyak orang, berjejaring, dan saling menguntungkan inilah yang membuat produk Lusiana memenangi Good Design Award pada tahun 2018 di Jepang. Saat itu, Lusiana mengusung salah satu karyanya berupa stola (selendang) rajut batik dari benang bambu.
”Batik shio mengaplikasikan seluruh 12 shio pada selembar kainnya, tidak hanya satu saja. Kami terinspirasi keanekaragaman budaya di pesisir pantura kita, di mana budaya dari berbagai latar belakang bisa bertemu dan hidup berdampingan dengan baik. Jika dalam selembar batik saja persatuan itu bisa tercipta, kenapa dalam kehidupan nyata tidak bisa?” kata perempuan yang kakeknya berasal dari Kanton tersebut.
Semangat mengusung keberagaman dalam bingkai keindonesiaan menjadikan Lusiana tidak pernah ingin maju sendirian. Perempuan yang menekuni seni kriya kain tersebut juga pernah mengikuti ajang Seniman Mengajar di Sumba Barat Daya tahun 2019. Saat itu, ia mengajak ibu-ibu petenun di sana untuk bisa memetakan dan memroduksi karya agar semakin bisa diterima pasar secara luas.
Peranakan
Kisah batik shio di atas hanya satu di antara banyaknya kisah batik peranakan Tionghoa Nusantara. Ibarat beras dan air, budaya lokal dan Tionghoa pun berpadu menjelma menjadi semangkuk bubur ayam lezat. Menjadi sebuah mahakarya luar biasa, hingga bisa dinikmati oleh para pencintanya.
Sebut saja beberapa batik peranakan ikonik Nusantara diburu kolektor kain mancanegara, seperti Oey Soe Tjoen, The Tie Sit, Lie Boen In, Tjoa Giok Tjoam. Semua itu adalah batik peranakan yang sudah melintasi zaman. Untuk mendapatkan selembar kainnya, kita bahkan bisa antre hingga bertahun-tahun.
Dalam buku Peranakan Tionghoa Indonesia (2009) disebutkan bahwa sebelum abad ke-18, kiprah peranakan Tionghoa di Jawa terhadap industri batik belum begitu jelas. Hanya berdasarkan cerita lisan lokal.
Disebutkan, 1800-1899 adalah masa rintisan industri batik peranakan di Hindia Belanda. Saat itu sedang terjadi kemerosotan ekspor kain patola India ke Hindia Belanda. Pusat-pusat industri batik peranakan saat itu meliputi Cirebon, Pekalongan, Lasem, Semarang, Banyumas, dan tempat lain di Jawa.
Baca juga : Melihat Indahnya Batik Peranakan di BBJ
Kejayaan batik peranakan terjadi pada awal abad ke-20 hingga pada masa berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda tahun 1942. Tahun 1930, Belanda mendata jumlah pengusaha batik peranakan sebanyak 727 orang atau 17 persen dari total pembatik di Pulau Jawa. Pengusaha batik peranakan disebut-sebut berperan besar dalam merintis penggunaan teknik batik cap, pewarnaan sintetis, dan penggunaan kain sutra.
Sayangnya, industri peranakan turun drastis baik dari sisi jumlah pengusaha maupun desain batiknya sejak tahun 1942. Tahun 1950 bahkan ditengarai sudah mulai ada pergeseran gaya berpakaian konsumen peranakan Tionghoa sendiri menjadi ke arah Eropa. Motif dan warna baru batik peranakan mulai jarang muncul, tergantikan oleh munculnya motif dan warna baru yang menyesuaikan dengan konsumen baru non-Tionghoa.
Munculnya teknik batik printing dan semakin berkembangnya pilihan usaha di kalangan keturunan Tionghoa pada tahun 1970 menyebabkan industri batik peranakan di Nusantara semakin tergerus.
Baca juga : Seni pada Benang dan Kain
Batik pesisir
Batik pesisir merupakan salah satu batik dengan motif dan warna beragam. Hal itu terjadi karena wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa sejak dahulu menjadi tempat pertemuan berbagai suku bangsa dalam perdagangan. Wilayah pantura, seperti Pekalongan, Cirebon, Juwana, Lasem, Tuban, dan Gresik, merupakan tempat yang dahulu didatangi para pedagang Champa (Vietnam), India, China, Jepang, Timur Tengah, dan lainnya.
Sejak saat itu, wilayah pantura menjadi pusat perpaduan budaya, termasuk dalam hal batik, yang kemudian dikenal dengan nama batik pesisir. Dalam buku Oey Soe Tjoen, Duta Batik Peranakan karya William Kwan Hwie Liong (2014) disebutkan bahwa selembar kain batik pesisir bisa dipengaruhi beragam seni budaya berbagai bangsa. Hal itu tampak dari motif batiknya, misalnya pohon hayat (India), burung hong (Tiongkok), buket bunga (Eropa), burung burok (Arab), bunga sakura (Jepang), dan lainnya.
Selain diperdagangkan, batik pesisir sejak dulu juga sudah menjadi busana masyarakat setempat. Sejak tahun 1872, perempuan keturunan Tionghoa mengenakan sarung dan baju panjang dalam keseharian. Kebiasaan itu berkembang menjadi mereka mengenakan sarung batik dipadu kebaya yang disebut kebaya encim. Encim adalah panggilan untuk memanggil tetangga (ibu/nenek) keturunan Tionghoa. Sampai sekarang, panggilan atau sapaan itu masih digunakan oleh sebagian orang keturunan Tionghoa.
Baca juga : Perayaan Akulturasi di Balik Lembar-lembar Kain
Motif
Namun, jauh sebelum batik pesisir dikenal, motif batik klasik sudah menunjukkan adanya pengaruh budaya Tionghoa. Dalam buku Batik Design karya Pepin van Roojen (2001) disebutkan bahwa salah satu motif batik peranakan lama itu adalah motif banji.
Banji diyakini merupakan salah satu motif batik oriental paling tua, yang merujuk pada budaya Hindu-Buddha. Banji diduga berasal dari bentuk swastika, sebuah simbol suci umat Hindu. Swastika dalam bahasa Sanskerta berarti kesejahteraan. Namun, kata banji sendiri sebenarnya merupakan kosakata bahasa China yang berarti kebahagiaan, kemakmuran, dan umur panjang.
Yongkie Angkawijaya, dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Binus Malang, mengatakan bahwa ciri budaya Tionghoa pada batik tidak saja tampak pada motif, tetapi juga warna.
Motif khas Tionghoa misalnya adanya motif empat hewan suci dalam mitologi Tionghoa, yaitu naga, burung merak/phoenix atau burung hong, kura-kura, dan harimau. ”Penggunaan warna pada batik pun pada mulanya juga sangat kentara pengaruh tradisi Tionghoa. Misalnya, warna merah adalah warna kebahagiaan, sementara warna hitam dan putih adalah warna duka. Ini berbeda sekali dengan warna-warna batik khas Jawa, yang warnanya cenderung warna tanah, hijau, dan emas,” kata Yongkie.
Dalam buku Butterflies and Phoenix, Chinese Inspirations in Indonesian Textile Arts karya Judi Knight-Achjadi & Asmoro Damais terbitan Mitra Museum Indonesia tahun 2005 disebutkan bahwa motif dalam batik merupakan simbol. Masyarakat sejak dulu kala, termasuk Tionghoa dan Indonesia, terbiasa ”bicara” menggunakan simbol. Disebutkan, setiap masyarakat mengembangkan set simbol dalam komunitasnya.
Pertama kali, simbol berkembang berdasarkan ajaran religius masyarakatnya. Ada juga simbol yang sudah menjadi gambaran kondisi alam. Misalnya, bagaimana teratai tetap tumbuh bersih dan indah di tengah air berlumpur sekalipun. Atau, bagaimana bangau menjadi sosok paling awas terhadap bahaya, yang akan langsung terbang tiba-tiba saat bahaya datang. Terbang tiba-tibanya bangau menjadi sinyal pada makhluk lain di sekitar.
Secara umum, masyarakat Tionghoa dan Indonesia sama-sama menggunakan simbol sebagai harapan untuk hidup lebih baik dan terhindar dari ketidakberuntungan dengan melakukan tindakan yang benar.
”Warna dan motif menjadi salah satu ciri pengaruh Tionghoa pada batik. Ini salah satunya karena memang bangsa Asia secara umum adalah bangsa simbolik. Menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menggambarkan keadaan,” kata Ira Audia Agustina, dosen Desain Interior Universitas Binus Malang. Yongkie dan Ira adalah dosen yang sering melakukan riset terkait batik dan budaya Tionghoa. Tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam beberapa jurnal.
Baca juga : Bu Giok, Setia Membatik Keberagaman di Cirebon
Yongkie dan Ira mengatakan, lambat laun makna adiluhung batik pun kian terdegradasi. Tidak semua masyarakat paham dan memaknai batik sebagaimana nenek moyangnya dahulu. ”Saya melihat sekarang batik lebih memiliki makna luas, lebih nasionalis, dan lebih memperhatikan visual ketimbang makna. Di sini ada sisi positif dan negatifnya. Positifnya, batik akan lebih dikenal. Negatifnya, dia akan semakin kehilangan ciri khas keindonesiaannya,” kata Yongkie. Oleh karena itu, Yongkie dan Ira mengatakan, bagaimana nasib batik ke depann ditentukan oleh bangsa kita sendiri. Apakah kita mau melestarikan ciri khas keindonesiaannya atau tidak.
”Batik adalah produk budaya. Dan bagaimanapun juga, produk budaya akan lestari kalau budaya itu survive atau bisa bertahan/beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Dulu batik tidak lebih hanya sekadar busana. Lalu akulturasi budaya menjadikannya memiliki makna atau nilai-nilai luhur di setiap motifnya. Ke depan, bagaimana caranya agar batik itu tetap dicintai anak-anak muda dan mereka terus mau mengenakannya,” tutur Yongkie.
Ada baiknya, menurut Yongkie, jika motif-motif batik mengakomodasi atau mengadaptasi tren anak muda masa kini. Dengan begitu, generasi penerus tetap mengenal, bangga mengenakan, dan mau menjaganya. Sebagaimana kebanggaan mereka bisa mengenal K-pop atau budaya pop lainnya.
Baca juga : Selisik Batik