Sistem Zonasi PPKM Mikro Berpotensi Memberi Rasa Aman Semu
Sistem zonasi dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro dinilai tidak efektif menggambarkan kondisi penularan Covid-19. Sistem zonasi itu justru dikhawatirkan memberikan rasa aman semu.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Sistem zonasi yang diterapkan dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM mikro dinilai tidak efektif menggambarkan kondisi penularan Covid-19 yang terjadi. Sistem zonasi itu justru dikhawatirkan memberikan rasa aman semu yang bisa membuat masyarakat abai terhadap protokol kesehatan karena tempat tinggal mereka dinyatakan masuk dalam zona dengan risiko penularan rendah.
Ketidakefektifan sistem zonasi itu antara lain terlihat di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di Kabupaten Sleman, terdapat sekitar 7.000 wilayah RT. Sesuai dengan kebijakan PPKM mikro, semua wilayah RT tersebut harus dikelompokkan ke dalam empat zona berdasarkan jumlah rumah yang terdapat pasien Covid-19.
RT yang tak memiliki kasus Covid-19 digolongkan sebagai zona hijau, sementara RT yang memiliki 1-5 rumah dengan kasus Covid-19 selama tujuh hari terakhir termasuk zona kuning. Zona oranye ditetapkan untuk RT yang terdapat 6-10 rumah dengan kasus Covid-19 selama tujug hari terakhir. Adapun RT yang mempunyai lebih dari 10 rumah dengan kasus Covid-19 selama tujuh hari terakhir ditetapkan sebagai zona merah.
Kriteria zonasi itu mengacu pada Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 03 Tahun 2021 yang mengatur PPKM mikro di Jawa dan Bali pada 9-22 Februari. Instruksi Mendagri itu kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Gubernur DIY Nomor 5/INSTR/2021 yang secara khusus mengatur implementasi PPKM mikro di DIY.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sleman Joko Hastaryo mengatakan, untuk menindaklanjuti kebijakan PPKM mikro, petugas puskesmas bersama aparatur desa dan pedukuhan di Sleman telah membuat pemetaan zonasi di setiap RT. Pemetaan zonasi itu dilakukan dengan mengacu pada Instruksi Mendagri Nomor 03 Tahun 2021.
Berdasarkan hasil pemetaan itu, tidak ada RT di Sleman yang masuk kategori zona merah, 1 RT masuk kategori zona oranye, 487 RT masuk kategori zona kuning, dan sekitar 6.500 RT lain masuk kategori zona hijau.
Satu RT yang masuk zona oranye itu berlokasi di Desa Sidoagung, Kecamatan Godean. ”Di RT itu terdapat enam rumah yang memiliki kasus positif Covid-19 sehingga masuk zona oranye,” kata Joko, Rabu (10/2/2021).
Joko memaparkan, jika melihat hasil pemetaan tersebut, bisa muncul anggapan bahwa penularan Covid-19 di Sleman saat ini sudah terkendali. Hal ini karena tidak ada RT yang masuk dalam zona merah, sementara RT yang masuk dalam zona oranye hanya satu. Padahal, selama ini, Sleman menjadi kabupaten/kota dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak di DIY.
Berdasar data Dinkes DIY, hingga Selasa (9/2/2021), jumlah pasien Covid-19 di Sleman 8.822 orang atau sekitar 36,8 persen dari total kasus Covid-19 di DIY. Sementara itu, sampai Selasa, jumlah kasus aktif di Sleman mencapai 1.836 orang atau sekitar 30,3 persen dari total kasus aktif di DIY.
Selain itu, berdasarkan kajian Dinkes Sleman, kondisi penularan Covid-19 di Sleman saat ini masih masuk dalam zona oranye atau risiko sedang. Bahkan, dari 17 kecamatan di Sleman, masih terdapat tujuh kecamatan yang tergolong zona merah atau risiko tinggi. Adapun 10 kecamatan lainnya masuk dalam kategori zona oranye.
Kategori zonasi yang dibuat Dinkes Sleman itu mengacu pada perhitungan angka reproduksi efektif yang menggambarkan laju penularan Covid-19 di suatu wilayah. Angka reproduksi efektif atau kerap disebut dengan singkatan RT itu dihitung dengan mengacu pada jumlah kasus positif Covid-19, jumlah kasus sembuh, dan jumlah kasus meninggal.
Abai
Oleh karena itu, Joko berpendapat, kriteria zonasi yang diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 03 Tahun 2021 kurang bisa menggambarkan kondisi penularan Covid-19 yang terjadi di suatu wilayah. ”Kalau lihat data hasil pemetaan itu, kan, Sleman sepertinya aman-aman saja. Ini bisa menyebabkan masyarakat abai. Jadi, saya sepakat bahwa kriteria zonasi itu kurang sensitif menggambarkan penularan yang terjadi di suatu wilayah,” katanya.
Ketidakefektifan itu karena penentuan zonasi dalam PPKM Mikro mengacu pada jumlah rumah yang terdapat pasien Covid-19 dalam tujuh hari terakhir di suatu RT. Padahal, untuk wilayah kabupaten yang belum terlalu padat seperti Sleman, jumlah rumah dalam satu RT biasanya tidak terlalu banyak.
Kalau lihat data hasil pemetaan itu, kan, Sleman sepertinya aman-aman saja. Ini bisa menyebabkan masyarakat abai. (Joko Hastaryo)
Joko menyebut, di wilayah perdesaan di Sleman, satu RT hanya terdiri dari 50 sampai 60 rumah. Sementara itu, di wilayah perkotaan di Sleman, satu RT bisa memiliki hingga 100 rumah. Sedikitnya jumlah rumah dalam satu RT itu membuat jumlah RT yang berpotensi masuk ke zona merah juga makin sedikit.
”Kami juga tidak tahu kenapa Kementerian Dalam Negeri menggunakan kriteria zonasi dengan satuan rumah, bukan jumlah kasus. Lalu, kenapa waktunya hanya tujuh hari terakhir dan batasan untuk zona merah adalah lebih dari 10 rumah,” kata Joko.
Menurut Joko, kriteria zonasi yang diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 03 Tahun 2021 bisa jadi tepat jika diterapkan di kota yang padat penduduk seperti Jakarta. Namun, kriteria tersebut kurang pas untuk diterapkan di wilayah yang belum terlalu padat penduduknya, seperti Sleman. Meski begitu, Dinkes Sleman tetap menjalankan pemetaan zonasi dengan mengacu pada Instruksi Mendagri Nomor 03 Tahun 2021.
Penularan meluas
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, mengatakan, sistem zonasi berbasis RT dalam PPKM mikro tidak efektif untuk mengendalikan laju penularan Covid-19. Sebab, saat ini, penularan Covid-19 sudah meluas dan banyak pasien Covid-19 yang tidak mengalami gejala sehingga susah untuk dideteksi.
Dengan kondisi tersebut, wilayah RT yang masuk zona hijau pun sebenarnya tak bisa dipastikan terbebas dari kasus Covid-19. ”Ketika penularannya sudah meluas dan mobilitas orang antar-wilayah masih banyak, membuat zonasi berbasis RT itu menjadi tidak efektif karena kita tidak bisa memastikan apakah di suatu wilayah tidak terjadi penularan meskipun zona hijau,” kata Riris.
Riris juga menilai, dalam kondisi penularan meluas seperti sekarang, sistem zonasi berbasis RT justru berpotensi menghadirkan rasa aman semu bagi masyarakat yang tinggal di wilayah zona hijau. Rasa aman semu itu bisa berdampak negatif karena dapat membuat masyarakat menjadi lengah atau abai menjalankan protokol kesehatan. ”Ini bisa memberikan rasa aman semu dan yang pasti tidak akan menghentikan penularan,” ujarnya.
Selain itu, Riris berpendapat, sistem zonasi berbasis RT juga dikhawatirkan memunculkan stigmatisasi bagi warga yang tinggal di zona merah. Stigmatisasi itu bisa membuat warga yang tinggal di zona merah memperoleh perlakuan buruk dari warga lain. Jika itu terjadi, upaya pencegahan penularan dan penanganan kasus Covid-19 bisa terhambat.
Riris menyatakan, untuk menurunkan laju penularan Covid-19 secara signifikan, pemerintah harus membuat kebijakan yang bisa menghentikan mobilitas 70 persen masyarakat. Penghentian mobilitas itu harus dilakukan selama tiga minggu atau dua kali masa penularan virus SARS-CoV-2 yang selama 7-10 hari.
Untuk menjalankan kebijakan penghentian mobilitas 70 persen warga itu, pemerintah harus mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang melibatkan banyak orang. Setelah identifikasi dilakukan, sektor yang melibatkan banyak orang itu harus diminta menjalankan kebijakan bekerja dari rumah agar mobilitas mereka terhenti.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan warga yang tinggal di rumah tidak kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok, seperti makanan. Hal ini penting agar warga benar-benar bisa tinggal di rumah dan tidak terpaksa keluar rumah untuk mencari penghasilan supaya bisa memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Pemenuhan kebutuhan pokok itu bisa dilakukan melalui pemberian bantuan oleh pemerintah atau melalui skema gotong-royong di antara warga. ”Kita bisa memobilisasi komunitas masyarakat agar bisa saling berbagi selama tiga minggu sehingga mereka yang tinggal di rumah bisa bertahan hidup. Kalau itu bisa digerakkan dalam skala besar, tentu efeknya cukup kuat untuk menyebabkan orang mau tinggal di rumah,” papar Riris.