Pekerjaan Rumah Menghalau ”Semarang Kaline Banjir”
Permasalahan belum tuntas. Simpul persoalan tak sebatas pada cuaca ekstrem dan pompanisasi, tetapi juga antara lain daerah aliran sungai kritis hingga penurunan muka tanah. Perlu ada upaya tersistem, dari hulu ke hilir.
Setelah lebih dari seabad dikenal sebagai daerah langganan banjir, dua tahun terakhir, Kota Semarang, Jawa Tengah, mulai lepas dari predikat itu seiring gencarnya pembangunan infrastruktur sistem pengendalian banjir. Namun, awal 2021, Semarang banjir lagi. Permasalahan ternyata belum tuntas. Di luar soal cuaca, masalah teknis tersisa, mulai dari pompanisasi, daerah aliran sungai kritis, hingga penurunan muka tanah.
Santoso (56), warga Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, baru mengepel rumahnya yang kemasukan air setelah kebanjiran sejak Sabtu (6/2/2021) pagi. Sejurus kemudian, ia berpindah ke rumah sebelah yang baru dibangunnya beberapa bulan lalu, di atas tanah kosong sekitar 3 meter x 6 meter miliknya. Bangunan baru itu 70 sentimeter (cm) lebih tinggi dari rumah lamanya.
Rumah kedua itu ia bangun karena di rumah aslinya, jarak kepala dengan eternit tinggal sekitar 1 meter. ”Dalam kurun waktu 20 tahun, sejak pertengahan 1990-an saya meninggikan rumah tiga kali. Setiap meninggikan berkisar 1-1,5 meter. Sekarang kepala sudah makin dekat dengan atap,” ujar Santoso sambil menunjukkan bekas genteng di rumah aslinya yang makin dekat dengan jalan.
Menurut Santoso, saban hujan deras dalam durasi lebih dari 6-7 jam, Kemijen pasti kebanjiran, seperti pada Sabtu, saat hujan deras merata mengguyur Kota Semarang sejak Jumat malam hingga Sabtu pagi. Sudah dua tahun terakhir cuaca tak seekstrem itu. Sejumlah tetangga ikut mengungsi di rumah keduanya yang tak kemasukan air karena elevasinya tinggi.
Baca juga: Banjir di Pantura Semarang Diperparah Cuaca dan Penurunan Muka Tanah
Alex Saputro (44), warga Kelurahan Tambakrejo, Gayamsari juga terpaksa terus meninggikan rumahnya dalam periode tertentu. ”Dari 2005, saya sudah meninggikan rumah lebih dari 2 meter. Sekarang (jarak dengan atap) sudah mau habis. Jalan (depan rumah) biasanya ditinggikan agar tak banjir, rumah juga harus ikut dinaikkan. Jadinya, kejar-kejaran. Kebanjiran juga masih,” kata Alex.
Pada Jumat malam hingga Sabtu, cuaca ekstrem melanda Kota Semarang. Curah hujan tercatat 171 milimeter. Pada Sabtu pagi, banjir meluas hingga sedikitnya delapan dari total 16 kecamatan terdampak. Bahkan, kawasan Kota Lama yang bertahun-tahun tak pernah kebanjiran, terlebih sudah direvitalisasi, terendam lebih dari 30 cm. Air di Polder Tawang meluap. Stasiun Semarang Tawang pun lumpuh.
Jalan Kaligawe, bagian ruas pantai utara (pantura) Semarang hingga perbatasan Demak, yang dua tahun terakhir tak pernah banjir tinggi, baik karena luapan sungai atau rob, kembali disapa air bah. Begitu juga sejumlah titik, seperti di Ngaliyan, Tlogosari, Tanah Mas, dan Puri Anjasmoro, yang terendam lebih dari 24 jam. Adapun genangan di tengah kota cenderung lebih cepat surut.
Dua tahun terakhir, banjir di Kota Semarang terasa berkurang. Itu tak terlepas dari digenjotnya infrastruktur pengendalian banjir oleh pemerintah, beberapa tahun terakhir. Sebut saja Sistem Kali Sringin dan Kali Tenggang yang dinormalisasi untuk pengendalian banjir dan rob di sekitar Kaligawe dan Genuk. Tahap pertama normalisasi Banjir Kanal Timur juga sudah rampung.
Dua tahun terakhir, banjir di Kota Semarang terasa berkurang. Itu tak terlepas dari digenjotnya infrastruktur pengendalian banjir oleh pemerintah, beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, khusus beberapa lokasi tertentu, seperti sekitar Kali Bringin dan Plumbon (sebelah barat Kota Semarang), serta Perumahan Dinar Indah di Meteseh, Tembalang yang bersebelahan dengan Kali Pengkol, nyaris banjir setiap tahun. Terutama jika terjadi hujan deras di daera hulu, yakni Kabupaten Semarang. Adapun Kali Bringin baru mulai dinormalisasi.
Baru sesaat menghela napas bebas banjir dan rob, Kota Semarang kembali dilanda banjir. ”Kali ini lebih luas, antara lain karena hujan tak berhenti sekitar 12 jam. (Genangan) tertinggi hingga 1 meter. Mungkin, ini terluas di Semarang dalam sekitar 10 tahun terakhir,” kata Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang Winarsono, Sabtu.
Menghantui sejak lama
Berdasarkan catatan Kompas, banjir di Semarang telah melanda sejak sebelum abad ke-19. Pemerintah kolonial Belanda membangun kanal untuk mencegah banjir. Tercatat banjir terjadi pada 1913 menggenangi Jalan Pemuda. Setelah itu, banjir besar melanda Semarang pada 1973, 1988, 1990, dan 1993.
Baca juga: Bandara dan Stasiun di Semarang Sempat Lumpuh, Langkah Konkret Diambil
Pada 1990, banjir terjadi akibat jebolnya Sungai Banjir Kanal Barat yang kemudian menewaskan 86 orang. Sementara pada November 2000, sejumlah wilayah, seperti kawasan Kota Lama, Stasiun Tawang dan Poncol, Pasar Johar, dan Terminal Terboyo terendam. Pada 2003, ratusan rumah milik 1.638 keluarga di Kecamatan Gayamsari dan perempatan Jalan Lingkar Utara terendam.
Sementara itu, pada Juni 2016, Kota Semarang terendam akibat banjir rob yang mengakibatkan Jalan Kaligawe dan sekitarnya hingga mengganggu aktivitas perekonomian. Pada 2017 dan 2018, banjir masih terjadi di titik-titik tersebut.
Hingga akhirnya, pada 2019-2020, jalan nasional di pantai utara, seperti di Kaligawe, Genuk, dan sekitarnya, tak lagi basah. Itu, antara lain, dampak pembangunan sistem penanganan banjir di Kali Tenggang dan Sringin. Saat ini, Rumah Pompa Kali Tenggang memiliki enam pompa masing-masing berkapasitas 2 meter kubik per detik. Sementara di Rumah Pompa Kali Sringin terdapat lima pompa, juga dengan kapasitas masing-masing 2 meter kubik per detik.
Akan tetapi, pada awal 2021, pompa-pompa yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana itu tak optimal menyedot banjir, antara lain karena intensitas hujan yang tinggi. Menurut Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jaringan Sumber Air BBWS Pemali Juana, Yulius, berapa pun besar kekuatan pompa, akan sulit jika kondisi masih dipengaruhi cuaca dan pasang surut air laut. Pada Sabtu hingga Senin, hujan masih mengguyur Kota Semarang.
Dari evaluasi, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi akan mengambil sejumlah langkah agar banjir tak terulang. ”Pertama, kapasitas pompa harus ditingkatkan karena kapasitas pompa yang kami punya itu hitungan hujan pada 2013. Namun, dengan hujan ekstrem seperti ini, pompa harus ditingkatkan agar dapat mengeringkan lebih cepat,” katanya.
”Kedua, memprioritaskan penambahan daya tampung saluran (drainase). Ketiga kami berharap pada percepatan normalisasi, termasuk pembangunan tanggul laut dari pemerintah pusat, melalui Kementerian PUPR,” lanjutnya.
Seksi I jalan tol itu, ruas Semarang-Sayung, akan berdesain tanggul laut, yang juga untuk menanggulangi permasalahan bencana rob.
Saat ini tengah dibangun Tol Semarang Demak, dengan total panjang 27 kilometer. Seksi I, yakni dari Kota Semarang hingga Kecamatan Sayung (Demak), sepanjang 10,69 km, sedangkan seksi II adalah Sayung-Demak Kota sepanjang 16,31 km. Seksi I jalan tol itu, ruas Semarang-Sayung, akan berdesain tanggul laut, yang juga untuk menanggulangi permasalahan bencana rob.
Selama ini, tol sekaligus tanggul laut tersebut kerap kali disebut sebagi solusi kunci dari penanganan rob di pesisir Semarang-Demak. Pasalnya, sistem pompanisasi nyaris selalu tak berkutik menyedot banjir saat dihadapkan pada dua persoalan lain, yakni penurunan muka tanah yang sekitar 10 cm per tahun serta kondisi cuaca ekstrem membuat debit air meningkat.
Simpul permasalahan
Guru Besar Bidang Oseanografi Universitas Diponegoro Semarang Denny Nugroho Sugianto mengemukakan, kendati ada pengaruh cuaca ekstrem pada banjir Semarang hari Sabtu (6/2/2021), aspek penurunan muka tanah, 8-10 cm per tahun, menurut dia, sangat dominan. Pasalnya, muka tanah yang rendah membuat air yang menggenang tak bisa mengalir ke mana-mana. Hal itu juga terkait dengan air sungai yang tak bisa seluruhnya terlimpah ke laut karena akhir pekan lalu air sedang pasang, sekitar 1,4 meter
Penurunan itu disebabkan kondisi geologis karena wilayah utara Semarang terbentuk dari aluvial, yang usianya muda. Wilayah Simongan, sekitar Kelenteng Sam Poo Kong, yang kini berjarak sekitar 5 kilometer dari garis pantai, diyakini sebelumnya ialah pelabuhan. Lokasi itu menjadi tempat mendaratnya bahariwan ulung asal China, Laksamana Cheng Ho (Zheng He), pada awal 1400.
Akan tetapi, lanjut Denny, penurunan muka tanah juga dipercepat dengan pengambilan air tanah, baik dalam maupun dangkal. ”Ini yang kritis. Dalam hal ini, PDAM sangat krusial untuk memasok air bersih secara memadai sehingga warga tak perlu lagi mengambil air tanah. Belum lagi beban-beban industri, seperti perkantoran dan perhotelan, yang memanfaatkan air tanah,” lanjutnya.
Sistem pompanisasi, kata Denny, dapat mengurangi banjir, tetapi memiliki keterbatasan karena dengan tingkat curah hujan yang tinggi atau ekstrem, pompa tak akan mampu membuang air ke arah laut. Air sungai dan kolam pada sistem polder juga akan meluap yang membuat genangan tak bisa ke luar ke mana-mana. Selain itu, sistem drainase, menurut dia, perlu menjadi perhatian pemerintah.
Baca juga: Kapasitas Pompa Tak Optimal, Banjir di Semarang Lama Surut
Ditarik lebih jauh, persoalan daerah aliran sungai (DAS) yang kritis juga menjadi penyebab banjir. Pasalnya, seiring berganti tahun, fungsi DAS untuk menyerap air kian berkurang. Saat curah hujan tinggi, tak ada kesempatan air meresap ke dalam tanah.
Sriyana, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, yang juga peneliti manajemen pemilihan daerah aliran sungai (DAS), konservasi tanah dan air, mengatakan, perlu ada kesadaran bersama semua pemangku kepentingan untuk memulihkan DAS. ”(Saat banjir), jangan menyalahkan hujan, tetapi salahkan diri kita semua karena DAS ini tidak sehat,” katanya.
Sriyana menuturkan, dari 202 DAS di Jateng, 19 di antaranya menjadi prioritas untuk dipulihkan. Kesembilanbelas DAS itu ialah Garang, Serang, Bodri, Cacaban, Juwana, Tuntang, Pemali, Comal, Babakan, Gangsa, Kupang, Solo, Serayu, Luk Ulo, Bogowonto, Progo, Wawar Medono, Cimanuk, dan Lasem. DAS Garang berada di tiga daerah, yakni Kota dan Kabupaten Semarang serta Kendal.
Sriyana pun mendorong pemulihan DAS mikro atau DAS desa/kelurahan sehingga nantinya akan terbangun DAS mikro. ”Gerakan, antara lain, dengan satu orang menanam 25 pohon dan satu rumah satu sumur resapan. Selain itu, membuat sumur gendong sebanyak 18 sumur per hektar. Itu perlu dilakukan berkelanjutan,” ujar Ketua Forum DAS Jateng tersebut.
Dengan kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi seiring pembangunan, penanganan dan pengendalian banjir di Kota Semarang diharapkan tidak hanya bertumpu di hilir permasalahan. Perlu ada upaya tersistem, dari hulu hingga hilir, serta teknis dan nonteknis, termasuk terkait penataan ekologi. Dengan demikian, mitigasi bencana dapat optimal. Dan, semoga jargon negatif ”Semarang Kaline Banjir” benar-benar pudar.