PPKM mikro dinilai lebih longgar daripada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan PPKM sebelumnya. Padahal, yang dibutuhkan sekarang tak lain pembatasan lebih ketat serta serentak.
Oleh
Ahmad Arif/Deonisia Arlinta/Kristi Utami
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berskala mikro atau PPKM mikro dinilai tidak akan efektif dalam menekan penularan Covid-19. Penyebabnya, antara lain, PPKM mikro justru mendorong pergerakan yang lebih longgar.
Di tengah penilaian bahwa model pembatasan sosial model baru itu akan kurang efektif, sejumlah pemerintah kota/kabupaten menyatakan siap menerapkan PPKM mikro. Adapun Kementerian Kesehatan berupaya memanfaatkan masa penerapan PPKM mikro, yang dimulai pada Selasa, 9 Februari 2021, untuk meningkatkan pelacakan dan pemeriksaan kontak erat pasien.
Sulfikar Amir, ahli sosiologi bencana Indonesia, yang mengajar di Nanyang Technological University, Singapura, Selasa (9/2), mengatakan, konsep micro-lockdown ialah setiap kelurahan melakukan pembatasan secara bersamaan. Warga tetap beraktivitas di dalam kelurahannya, tetapi dibatasi untuk keluar. ”Jadi, usaha kecil seperti warung tetap jalan,” katanya.
Menurut Sulfikar, pembatasan yang terbukti efektif menekan penularan ialah menghentikan pergerakan penduduk secara total (total lockdown) seperti dipraktikkan di Wuhan, China. Konsep ini ditolak Pemerintah Indonesia karena sangat mahal dan berdampak politis besar. ”Saya (kemudian) mengusulkan micro-lockdown,” katanya.
Berdasarkan simulasi komputasional yang dibuatnya, hasil micro-lockdown sedikit di bawah lockdown, tetapi lebih baik daripada pembatasan sosial. Meskipun demikian, pembatasan mikro memiliki keterbatasan, yakni hanya efektif di kawasan urban padat dengan tingkat penularan tak terlalu tinggi. ”Melihat penularan di Jawa sekarang, saya kira konsep ini tak relevan lagi,” ujarnya.
Sulfikar menambahkan, tujuan awal micro-lockdown melindungi masyarakat bawah. Mereka bisa bertahan dan dapat membantu sesama. Namun, PPKM mikro justru kontradiktif dengan konsep awal yang diusulkannya. PPKM memungkinkan pertokoan besar buka, tetapi membatasi kegiatan ekonomi di lingkungan terkecil.
Ahli epidemiologi Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, menilai PPKM mikro lebih longgar daripada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan PPKM sebelumnya. Padahal, yang dibutuhkan tak lain pembatasan lebih ketat dan serentak. Jawa sudah mengalami transmisi komunitas level tertinggi, artinya penularan terjadi di mana-mana. ”Tak mungkin hanya skala mikro dibatasi, sementara kegiatan komersial dan perkantoran justru dilonggarkan,” ujarnya.
Menurut Dicky, dengan perkantoran boleh buka 50 persen, dibandingkan sebelumnya 25 persen, dan mal diperpanjang jam bukanya hingga pukul 21.00, hal itu akan meningkatkan mobilitas. Kepadatan di transportasi umum kembali terjadi. Risiko penularan di perkantoran meningkat lagi.
Berbagai persiapan
Sembari menunggu surat edaran Gubernur Jawa Tengah dan surat edaran Bupati Brebes terkait PPKM mikro, sebagian pemerintah desa mulai menyiapkan fasilitas penunjang penanganan Covid-19. Di Desa Kecipir, Kecamatan Losari, pemerintah setempat menyiapkan posko Satgas Covid-19 dan tempat isolasi mandiri.
Di Pemalang, setiap desa membatasi aktivitas warga dengan aturan berbeda-beda, sesuai perkembangan kasus Covid-19.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Selasa, mengatakan, pemeriksaan spesimen harus dikejar paling lama 72 jam setelah konfirmasi positif keluar. Tujuannya, identifikasi penularan kasus bisa cepat dilakukan sehingga isolasi segera dijalankan. Dengan demikian, laju penularan kasus bisa ditekan.
Pemerintah pun menargetkan ketersediaan 80.000 tenaga pelacak. Jumlah tersebut sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 30 tenaga pelacak bagi 100.000 orang.