Rehabilitasi Lahan Mandek, Sumsel Bentuk Tim Percepatan
Pelaksanaan rehabilitasi lahan di Sumatera Selatan mandek. Bahkan, ada perusahaan yang belum melakukan rehabilitasi hingga 6 tahun sejak menerima penetapan lokasi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pelaksanaan rehabilitasi lahan yang harus dilakukan penerima izin pinjam pakai kawasan hutan di Sumatera Selatan tidak berjalan. Bahkan, ada perusahaan yang belum melakukan rehabilitasi hingga 6 tahun sejak menerima penetapan lokasi. Pemerintah daerah membentuk tim percepatan rehabilitasi agar potensi bencana bisa diminimalisir.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto, Selasa (9/2/2021), menuturkan, pelaksanaan rehabilitasi lahan di Sumatera Selatan mandek. Bahkan, sebagian besar perusahaan belum menjalankan kewajibannya untuk melakukan rehabilitasi lahan setelah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 59 tahun 2019 tentang Penanaman dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai, proses penanaman harus segera dilakukan paling lama 20 hari sejak ditetapkannya areal IPPKH dan lahan pengganti atau paling lama setengah dari jangka waktu berlakunya IPPKH.
”Ketika sudah ditetapkan IPPKH, biasanya perusahaan juga harus membuat rencana rehabilitasi berupa penanaman di lahan pengganti,” ucap Pandji. Hanya saja sebagian besar perusahaan pemegang izin di Sumsel belum melakukan kewajiban tersebut.
Berdasarkan data, luas lahan IPPKH di Sumsel mencapai 38.069 hektar yang dipegang oleh 84 pemegang izin. Perusahaan tersebut begelut di sektor panas bumi (5 pemegang izin), migas (33 pemegang izin), batubara, emas, dan mineral (20 pemegang izin), pelabuhan (3 pemegang izin), ketenagalistrikan (8 pemegang izin), jalan (13 pemegang izin), penyedia jaringan telekomunikasi (1 pemegang izin), dan irigasi (1 pemegang izin).
Sejauh ini baru 1.266 hektar lahan yang dipegang oleh sembilan pemegang IPP-KH yang sudah direhabilitasi. Sisanya masih dalam proses penanaman seluas 2.797 hektar (19 pemegang izin) dan belum menetapkan lokasi rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) seluas 6.425 hektar (32 pemegang izin).
Lainnya adalah lahan seluas 27.579 hektar dari 24 pemegang izin yang belum direhabilitasi walau sudah mendapatkan surat keputusan penetapan lokasi. ”Ke-24 pemegang izin inilah yang menjadi perhatian pemerintah untuk segera direalisasikan,” ucap Pandji.
Memang ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan sehingga tidak melaksanakan kewajibannya. Mulai dari belum jelasnya lahan yang direhabilitasi (clean and clear) hingga adanya kendala biaya untuk melakukan rehabilitasi.
”Proses rehabilitasi membutuhkan biaya yang cukup besar. Ada kemungkinan perusahaan tidak mampu melakukannya karena harga komoditas yang tidak menentu. Namun, itu tidak bisa jadi alasan karena sebelum membuka lahan kawasan tentu harus ada komitmen untuk melakukan rehabilitasi,” ujarnya.
Selain itu ada permasalahan sosial yang kerap kali ditemukan di lapangan. ”Permasalahan sosial ini biasanya terkait hubungan antara perusahaan dan masyarakat. Ini biasanya terjadi di kawasan pegunungan,” ucapnya. Padahal, berdasarkan aturan, setelah menerima surat keputusan penetapan lokasi, perusahaan harus segera melakukan rehabilitasi. ”Jika hal ini dibiarkan dikhawatirkan akan menimbulkan bencana,” kata Pandji.
Berdasarkan aturan, setelah menerima surat keputusan penetapan lokasi, perusahaan harus segera melakukan rehabilitasi.
Tim percepatan
Oleh karena itu, pihaknya bersama dinas dan lembaga terkait akan membentuk tim percepatan rehabilitasi sehingga permasalahan ini tidak berlarut-larut. Terkait lambatnya proses rehabilitasi, ada sanksi yang akan diberikan kepada perusahaan, mulai dari denda hingga pencabutan izin.
”Namun, untuk saat ini, adalah pembinaan sekaligus pengawasan agar mereka segera melakukan rehabilitasi. Karena mereka juga merupakan mitra pemerintah,” ucap Pandji.
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Musi Sumsel Siswo menyambut baik pembentukan tim percepatan rehabilitasi tersebut. Kebijakan ini perlu untuk mengawasi perusahaan dalam menjalankan kewajibannya, yakni melakukan rehabilitasi lahan setelah mendapatkan penetapan lahan. ”Bahkan, ada perusahaan pemegang IPPKH di Sumsel yang belum melakukan rehabilitasi sama sekali, padahal surat keputusan penetapan lokasi sudah mereka terima sejak 2014 lalu,” jelasnya.
Mungkin, lanjut Siswo, ada perusahaan yang terkendala dalam penerapannya atau ada perusahaan yang sudah melakukan rehabilitasi, tetapi belum melaporkan kepada pemerintah. ”Kesulitan ini tentu harus dibicarakan untuk mendapatkan solusi yang terbaik bagi semua pihak,” ujar Siswo.
Dia berharap pengawasan terkait rehabilitasi dapat dilakukan secara berkelanjutan sehingga tidak ada lagi perusahaan yang mengabaikan kewajibannya. Dalam waktu dekat, ujar Siswo, pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah guna menyingkronkan data.
Gubenur Sumatera Selatan Herman Deru menegaskan, kelalaian perusahaan dalam melakukan rehabilitasi bisa menyebabkan bencana alam. ”Karena itu, saya putuskan untuk umumkan saja perusahaan yang tidak melakukan reklamasi,” tegasnya. Jika ada badan usaha yang mau membuka lahan untuk pertambangan atau sektor usaha lain, tentu harus siap melakukan reklamasi.
Saat ini saja, ujar Herman, dari atas sudah terlihat adanya kawasan daerah aliran sungai dan hutan yang ”bopeng” membentuk telaga baru yang tidak jelas penggunaannya. Karena itu, perlu ditelusuri siapa yang perlu bertanggung jawab atas hal itu.
Menurut Herman, evaluasi dan pengawasan ini perlu dilakukan segera untuk mencegah munculnya bencana. ”Ini sebagai bentuk pencegahan. Jika kita tidak melakukan apa-apa untuk mencegah, itu salah. Namun, kalau kita sudah berupaya mencegah, tetapi tetap ada bencana, itu musibah,” kata Herman.