Puluhan Rumah Terendam Banjir Rob, Pemkot Ambon ”Tutup Mata”
Ratusan warga Kota Ambon, Maluku, terdampak banjir rob. Hingga Selasa siang, tak ada upaya penanggulangan dari pemerintah kota setempat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Puluhan rumah di Desa Hative Kecil, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku, terendam banjir selama hampir satu pekan terakhir dan diperkirakan masih berlanjut hingga beberapa hari mendatang. Selain dipicu pasang maksimum, banjir rob itu disebabkan kerusakan ekosistem pesisir Teluk Ambon yang kian parah. Hingga Selasa (9/2/2021), Pemkot Ambon terkesan ”tutup mata”.
Menurut pantauan Kompas, warga menunggu air laut surut hingga Selasa dini hari. Mereka menyapu air keluar dari rumah lalu memasukkan barang kembali ke dalam rumah. Ketinggian air yang menggenangi permukiman penduduk itu mencapai lebih dari 1 meter. Jumlah warga yang terdampak lebih kurang 300 jiwa.
Titik banjir rob terparah berada RT 001, RW 001. Air laut merangsek ke darat hingga 50 meter. Simon Ellia Noya (64), warga, menuturkan, kondisi tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun. Momentumnya sering terjadi pada musim barat atau November hingga Maret.
Hingga Selasa siang, belum ada langkah yang diambil Pemerintah Kota Ambon terkait hal tersebut. Kompas berusaha menghubungi juru bicara Pemerintah Kota Ambon, Joy Adriaansz, sejak Senin malam hingga Selasa siang ini, tetapi tidak direspons.
”Dulu, setiap tahun terjadi banjir, tetapi berlangsung tiga sampai empat hari. Satu tahun belakangan, banjir rob mulai November 2020 hingga Febuari 2021 dan berlangsung satu hari dua kali, yakni pagi dan sore atau bisa malam dan pagi hari, dengan ketinggian 1 sampai 1,5 meter,” ujar Simon.
Menurut dia, belum ada langkah yang diambil oleh Pemkot Ambon dalam mengatasi masalah tersebut. Tidak ada kebijakan tanggap darurat. ”Pemkot biasanya baru muncul menjelang pemilu, bukan segera memberi solusi ketika bencana berlangsung,” ujarnya.
Makin tinggi
Padahal, ketinggian banjir rob, lanjut Simon, semakin meningkat setelah pembangunan proyek di sekitar Desa Hative Kecil. Tahun 2008, pemasangan tiang pancang bangunan milik PT PLN membuat permukaan tanah di permukiman itu turun. Otomatis membuat permukaan air laut semakin tinggi sehingga dengan mudah menerobos permukiman.
Dulu, setiap tahun terjadi banjir, tetapi berlangsung tiga sampai empat hari. Satu tahun belakangan, banjir rob mulai November 2020 hingga Febuari 2021 dan berlangsung satu hari dua kali. (Simon Ellia Noya)
Sementara itu, ahli perekayasa madya di Pusat Penelitian Laut Dalam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ambon, Daniel D Pelasula, berpendapat, banjir rob terjadi lantaran semakin rusaknya daya dukung lingkungan di Teluk Ambon. Kerusakan itu terjadi akibat izin pembangunan yang dianggap tidak prolingkungan.
Menurut dia, sejumlah proyek reklamasi menyumbang kerusakan ekosistem, yakni pembangunan Rumah Sakit Siloam, Jembatan Merah Putih, Markas Polda Maluku, Rumah Sakit TNI AL, dan banyak restoran di pinggir teluk. Pembangunan itu seluruhnya tentu memiliki izin dari pemerintah.
Seperti diberitakan sebelumnya, ekosistem Teluk Ambon yang menjadi kebanggaan warga Kota Ambon kian rusak. Pembabatan mangrove oleh pengusaha untuk dijadikan tempat usaha serta reklamasi pantai oleh pemerintah untuk dijadikan ruang terbuka semakin memperparah kondisi teluk.
Luas sebaran sedimen berdasarkan hasil interpretasi citra satelit tahun 1994 menunjukkan luas areal sedimentasi di Teluk Ambon sebesar 102,56 hektar. Kemudian hasil citra satelit tahun 2007, sedimentasi meluas menjadi 168,13 hektar. Terjadi penambahan 65,57 hektar dalam waktu 13 tahun atau dengan rata-rata penambahan luas sebesar 5,43 hektar setiap tahun.
Sementara itu, hutan mangrove yang pada 1998 seluas 48 hektar kini tersisa kurang dari 33 hektar (Kompas, 3/2/2021). ”Sedimentasi membuat luasan teluk menyempit sehingga air mencari titik terendah. Sementara pembabatan mangrove membuat air laut semakin dengan mudah menerobos ke darat,” ujarnya.