Pandemi Buka Peluang Sulut Mengekspor Produk Turunan Kelapa
Ekspor produk turunan kelapa dari Sulawesi Utara semakin beragam dengan penjualan ”cocopeat”, serbuk halus sisa pengolahan sabut kelapa. Pengusaha mengharapkan beberapa kebijakan pendukung ekspor.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
BITUNG, KOMPAS — Ekspor produk turunan kelapa dari Sulawesi Utara semakin beragam dengan penjualan cocopeat, serbuk halus sisa pengolahan sabut kelapa. Pengusaha berharap pemerintah meremajakan tanaman kelapa di Sulut serta membuat kebijakan untuk menurunkan biaya peti kemas demi menggenjot ekspor.
Perusahaan pertama asal Sulut yang mengekspor cocopeat adalah CV Puri Bitung Gemilang yang terletak di Kelurahan Manembo-Nembo, Kota Bitung. Hermanto (62), pemilik perusahaan tersebut, Selasa (9/2/2021), mengatakan, dirinya sudah dua kali mengekspor cocopeat, terakhir sekitar 75 ton ke Korea Selatan pekan lalu.
Hermanto mendapatkan Rp 101,21 juta dari penjulan tersebut. ”Saya kirim dengan beberapa peti kemas 40 kaki, bisa muat 22 ton maksimal. Cocopeat ini diminati petani dan warga karena sebagai media tanam untuk sayur dan buah, dan bisa cenderung lebih mampu menyuburkan,” kata Hermanto.
Dengan proporsi produksi 40 persen serat kelapa (cocofiber) dan 60 persen cocopeat, perusahaan Hermanto dapat menghasilkan 7-8 ton serat kelapa dan 10,5-16 ton cocopeat. Seluruh sabut kelapa yang jadi bahan baku dibeli dari petani dan pengepul lokal.
Hermanto dapat menggelontorkan Rp 2,2 juta per minggu untuk seorang pemasok sabut. Menurut dia, ini menunjukkan besarnya kemanfaatan kelapa sehingga petani kelapa tidak hanya bergantung pada kopra yang harganya fluktuatif. ”Kelapa bisa menyejahterakan banyak orang,” katanya.
Kepala Balai Karantina Pertanian (Barantan) Manado Donni Muksydayan Saragih mengatakan senang dengan semakin beragamnya ekspor pertanian dan perkebunan dari Sulut. Pandemi justru membuka peluang bagi industri produk turunan kelapa untuk memasok cocopeat yang semakin dicari seiring tumbuhnya kegemaran bercocok tanam di Korea Selatan.
”Ini angin segar bagi petani dan industri Kelapa di Sulut. Kami siap mengawal dengan memberikan fasilitasi perkarantinaan, seperti penerbitan sertifikat fitosanitari untuk proses ekspornya. Kalau keamanan produk terjamin, ekspor juga akan terus bertumbuh,” ujar Donni.
Barantan Manado pun berupaya berkolaborasi dengan berbagai pihak, seperti Bank Indonesia dan pemerintah daerah, untuk mencari pelaku usaha kecil dan menengah yang mampu mengekspor. ”Kami akan memberikan pendampingan teknis memenuhi persyaratan ekspor,” kata Donni.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Sulut Edwin Kindangen mengatakan, ekspor kelapa dapat secara langsung menyejahterakan warga Sulut. Sebab, sebanyak 200.763 keluarga di Sulut berpenghasilan dari perkebunan kelapa. ”Karena kelapa adalah hasil utama Sulut dan banyak masyarakat yang terkait dengannya, hasilnya pasti signifikan,” katanya.
Sepanjang Januari 2021 ada 19 komoditas yang diekspor dari Sulut ke 21 negara dengan nilai Rp 566,91 miliar. Berbagai produk turunan kelapa termasuk dalam 19 komoditas itu, seperti minyak, minyak mentah, santan, tepung, bungkil, ampas, dan kelapa parut.
Pasokan sulit
CV Puri Bitung Gemilang telah rutin mengekspor serat kelapa ke China untuk memasok pabrik-pabrik pembuat kasur pegas, jok mobil, hingga jok pesawat. Namun, Hermanto khawatir tak mampu rutin mengekspor cocopeat. Faktor pertama adalah cuaca yang tak menentu sehingga cocopeat tak bisa dijemur secara kontinu hingga kering.
”Butuh 2-3 hari sampai dia benar-benar kering, baru kemudian bisa saya press untuk dibentuk balok-balok. Sebenarnya bisa cepat kering kalau ada oven, tetapi harganya mahal sekali, sampai Rp 1 miliar. Modal saya terbatas, kecuali pemerintah bisa beri bantuan (insentif),” katanya.
Faktor kedua yang menghambat adalah pasokan yang tidak stabil. Meski Sulut memiliki 275.524 hektar perkebunan kelapa, kedua terluas di Indonesia, produktivitasnya hanya 1.217 kilogram per hektar atau peringkat ketujuh nasional. Tanaman kelapa juga sudah tua dan tingginya mencapai belasan meter.
”Beda dengan di Riau yang tanamannya masih muda. Tingginya juga hanya sekitar 8 meter, kalau mau ambil tinggal pakai tongkat bambu. Jadi, perlu ada peremajaan,” ujar Hermanto.
Faktor ketiga adalah mahalnya biaya peti kemas untuk ekspor. Menurut Hermanto, hanya ada satu perusahaan yang melayani ekspor langsung ke China dari Bitung. Namun, biaya kirim satu peti kemas 40 kaki mencapai 1.300 dollar AS sekarang. Biaya kirim bahkan pernah mencapai 1.920 dollar AS.
Selama ini, Hermanto memilih tetap menggunakan layanan tersebut meski mahal. Sebab, ia sudah pernah putus hubungan dengan pembeli di China akibat sabut kelapa kirimannya basah saat ia menggunakan jasa pengiriman yang transit ke Jakarta lebih dulu. Itu adalah risiko pemindahan barang dari kontainer biasa ke kontainer ekspor.
Menurut dia, pemerintah harus segera mengintervensi keadaan ini. Selama ini, perhatian dari pemerintah sangat sedikit. Namun, ia mengapresiasi Barantan Manado yang terus berkomunikasi dengannya, bahkan mencarikan pembeli di negara-negara lain, seperti Jepang.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung menyatakan akan menanami 60.000 hektar lahan tidak produktif dengan 7,2 juta bibit unggul kelapa. Adapun Kepala Dinas Perindag Sulut Edwin Kindangen mengatakan, pemerintah selama ini berupaya memberikan kemudahan dengan penerbitan surat keterangan asal hingga hitungan menit sebelum ekspor diberangkatkan.