DPRD Maluku Minta Tanggul Penahan Rob di Ambon Segera Dibangun
DPRD Provinsi Maluku meminta Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku agar segera membangun talut penahan rob di Desa Hative Kecil, Kota Ambon. Pihak dinas menyanggupinya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Perwakilan masyarakat dari Desa Hative Kecil, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, melaporkan bencana banjir rob yang menerjang perkampungan mereka selama beberapa hari terakhir kepada DPRD Provinsi Maluku. Pihak DPRD langsung menyampaikan masalah tersebut kepada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku untuk ditangani secepatnya.
Aksa Noya, perwakilan masyarakat, menyampaikan laporan itu kepada Ketua Komisi III DPRD Provinsi Maluku Richard Rahakbauw, Selasa (9/2/2021). Ia berharap masalah tersebut dapat diselesaikan. Masyarakat setempat sudah hilang harapan kepada Pemerintah Kota Ambon sebagai penanggung jawab di wilayah itu yang tidak mengambil langkah sejak banjir rob mulai menerjang, pekan lalu.
Setelah menerima dan membaca laporan tersebut, Richard menyatakan kondisi darurat itu segera ditangani oleh Pemerintah Provinsi Maluku. Ia langsung meminta Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku Muhammad Marasabessy agar segera membangun tanggul penahan banjir rob. ”Saya minta dibangun secepatnya dan kualitasnya harus baik,” kata Richard.
Marasabessy, yang dikonfirmasi, mengatakan akan mengirim tim ke lokasi tersebut untuk melakukan survei. Panjang talut penahan rob itu sekitar 100 meter. ”Nanti akan dipelajari dan dibangun talut. Saya cukup paham daerah itu sehingga harus cepat dikerjakan. Memang itu menjadi tanggung jawab Kota (Ambon),” ujarnya.
Menurut pantauan Kompas, warga menunggu air laut surut sejak Senin (8/2/2021) malam hingga Selasa dini hari. Mereka menyapu air keluar dari rumah, lalu memasukkan barang kembali ke dalam rumah. Ketinggian air yang menggenangi permukiman penduduk itu mencapai lebih dari 1 meter. Jumlah warga yang terdampak lebih kurang 300 jiwa.
Titik banjir rob terparah berada di RT 001 RW 001. Air laut merangsek ke darat hingga 50 meter. Menurut penuturan sejumlah warga, kondisi tersebut sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Momentumnya sering terjadi pada musim barat atau mulai November hingga Maret. Namun, kondisi tahun ini termasuk paling parah.
Sejak November 2020 hingga Febuari 2021, rob bisa terjadi dua kali dalam satu hari dengan ketinggian air 1-1,5 meter. Itu disebabkan pembangunan sejumlah proyek di sekitar Desa Hative Kecil. Tahun 2008, pemasangan tiang pancang bangunan milik PT PLN membuat permukaan tanah di permukiman itu turun.
Hingga Selasa petang, belum ada langkah yang diambil Pemerintah Kota Ambon terkait hal tersebut. Kompas berusaha menghubungi juru bicara Pemerintah Kota Ambon, Joy Adriaansz, sejak Senin malam, tetapi tidak direspons.
Sementara itu, Ahli Perekayasa Madya pada Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ambon, Daniel D Pelasula berpendapat, banjir rob terjadi lantaran semakin rusaknya daya dukung lingkungan di Teluk Ambon. Kerusakan itu terjadi akibat izin pembangunan yang dianggap tidak pro lingkungan.
Menurut dia, sejumlah proyek reklamasi menyumbang kerusakan ekosistem, yakni pembangunan Rumah Sakit Siloam, Jembatan Merah Putih, Markas Polda Maluku, Rumah Sakit TNI AL, dan banyak restoran di pinggir teluk. Pembangunan itu tentu atas izin pemerintah. Selain reklamasi, juga terjadi penebangan mangrove.
”Sedimentasi membuat luasan teluk menyempit sehingga air mencari titik terendah. Sementara pembabatan mangrove membuat air laut semakin mudah menerobos ke darat,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya (Kompas, 3/2/2021), ekosistem Teluk Ambon yang menjadi kebanggaan warga Kota Ambon kian rusak. Pembabatan mangrove oleh pengusaha untuk dijadikan tempat usaha dan reklamasi pantai oleh pemerintah untuk dijadikan ruang terbuka semakin memperparah kondisi teluk.
Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit tahun 1994, luas areal sedimentasi di Teluk Ambon sebesar 102,56 hektar. Kemudian, hasil citra satelit tahun 2007, sedimentasi meluas menjadi 168,13 hektar. Terjadi penambahan 65,57 hektar dalam kurun waktu 13 tahun atau dengan rata-rata penambahan luas sebesar 5,43 hektar setiap tahun.
Sementara itu, hutan mangrove yang pada 1998 seluas 48 hektar kini tersisa kurang dari 33 hektar.