Kasus Kematian Herman, Enam Anggota Polres Balikpapan Dicopot
Polda Kaltim menyatakan tidak akan menoleransi anggotanya yang melanggar disiplin, etik, dan melanggar hukum.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Enam anggota Polresta Balikpapan dicopot dari jabatannya terkait kasus Herman, terduga pencuri telepon genggam yang meninggal saat ditahan di Polresta Balikpapan. Keenamnya kini menjalani pemeriksaan di Propam Polda Kaltim.
Enam anggota itu adalah KDS, RH, KKA, ASR, RSS dan GSR. Mereka diduga melanggar kode etik profesi Polri yang diatur dalam Pasal 7, 13 dan 14 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011.
Kepala Bidang Humas Polda Kaltim Komisaris Besar Ade Yaya Suryana dalam jumpa pers di Balikpapan, Senin (8/2/2021), mengatakan, enam orang itu berasal dari 1 unit bagian dari Polresta Balikpapan. Seorang di antaranya adalah perwira. Saat ini, proses hukum sedang dijalankan dan sidang akan dilakukan secepatnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Herman pulang tak bernyawa dengan tubuh penuh luka pada Desember 2020. Dua hari sebelumnya, lelaki 39 tahun itu dijemput paksa oleh tiga orang tak dikenal ke Polresta Balikpapan, Kaltim. Herman diduga mencuri telepon genggam dengan dua barang bukti.
Polda Kaltim, tambah Yaya, tidak akan menoleransi pelanggaran disiplin, etik, dan pelanggaran tindak hukum lainnya yang dilakukan anggotanya. Polda Kaltim akan menindak tegas para pelanggar. ”(terkait kasus Herman) langsung pada saat itu juga enam orang dicopot. Sekarang dibebastugaskan dari jabatannya dan menjalani pemeriksaan Propam,” kata Yaya.
Menurut Yaya, hukuman maksimal dari pelanggaran kode etik itu berupa pemberhentian tidak dengan hormat. Adapun jika ditemukan unsur pidana, kasus itu akan ditangani bagian Direktorat Kriminal Umum.
Selain enam anggota Polres Balikpapan, Propam juga memeriksa tujuh saksi lain. Tujuh saksi ini berasal dari anggota Polres, pihak rumah sakit, dan keluarga korban.
Langsung pada saat itu juga enam orang dicopot. Sekarang dibebastugaskan dari jabatannya dan menjalani pemeriksaan Propam.
Komisioner Pemantauan /Penyelidikan Komnas HAM, Muhammad Choirul Anam, ketika dihubungi Kompas mengatakan, praktik penangkapan dan penahanan sewenang-wenang bahkan penyiksaan berpotensi terjadi di lembaga seperti kepolisian. ”Ini problem serius jika benar ada kasus penyiksaan,” katanya.
Dalam konteks Hak Asasi Manusia, praktik kekerasan itu tidak cukup hanya diselesaikan secara internal, tetapi perlu diusut adanya unsur pidana di dalamnya. ”Tak hanya Propam, tetapi juga penyidik yang terlibat untuk menyelesaikannya. Kalau hanya Propam, biasanya akan berhenti kasusnya,” kata Anam. Pengusutan sampai tuntas penting dilakukan agar praktik serupa tak terulang lagi.
Beberapa waktu lalu, tambah Anam, kepolisian pernah mendeklarasikan zero tolerance soal kekerasan. Menurut dia Kepala Polri yang baru perlu mendeklarasikan lagi semangat zero tolerance soal kekerasan agar praktik-praktik serupa tak terulang.
Dari internal kepolisian perlu pula penerapan ganjaran dan hukuman terhadap anggota yang mengamalkannya. Bagi polisi yang sudah menerapkan pendekatan manusiawi, bisa diganjar dengan berbagai hadiah, misalnya mendapatkan kesempatan bersekolah lebih tinggi, sedangkan yang melanggar diskors atau diberi sanksi tidak naik pangkat, bahkan dipecat tak hormat.
Penggunaan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atau bukti juga dinilai tak relevan lagi dilakukan di zaman ini. Pembuktian kasus harusnya bisa menggunakan instrumen teknologi, tak lagi dengan cara menekan orang atau tersangka.
Apalagi, tambah Anam, kini banyak pengacara atau ahli hukum yang cakap. Jika mereka menemukan adanya pelanggaran HAM pada sebuah kasus penyelidikan, kasus yang mereka tangani bisa batal demi hukum. ”Intinya melawan kejahatan tidak boleh dengan tindak kekerasan,” katanya.
Komnas HAM hingga kini masih menemukan banyak kasus kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Kasus kekerasan bisa berupa pemaksaan, di antaranya menggunduli dan menelanjangi.