Kawasan Kosmopolitan Lebih Tua dari Barus Ditemukan di Tapanuli Tengah
Penggalian arkeologi di Situs Bongal, Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menemukan indikasi adanya kawasan kosmopolitan pada abad ke-7 hingga ke-9 Masehi di kawasan itu.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Penggalian arkeologi di Situs Bongal, Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menemukan indikasi adanya kawasan kosmopolitan pada abad ke-7 hingga abad ke-9 Masehi di kawasan itu. Situs ditengarai lebih tua dua abad dibandingkan dengan Situs Lobu Tua di Barus, Tapanuli Tengah, yang telah lebih dahulu diteliti.
Peneliti madya Balai Arkeologi Sumut, Ery Soedewo, Jumat (5/2/2021), mengatakan, penggalian yang dilakukan Balai Arkeologi Sumut bekerja sama dengan PT Media Literasi Nesia pada 18-31 Januari 2021 menemukan aneka bentuk kaca, seperti alembic atau gelas penyulingan minyak, ijuk, sebagian struktur bangunan kayu nibung, kayu perkakas menenun, biji-bijian, manik-manik, dan lempengan timah, di lima kotak ekskavasi. Para peneliti sebelumnya juga telah menemukan aneka koin, pencetak uang, dan papan kapal ber inskripsi aksara Pallawa.
Koin-koin diperkirakan berasal dari masa Dinasti Umayyah pada periode 694 Masehi hingga 713 Masehi atau 75-95 Hijriah dan Dinasti Abbasiyah pada 760 Masehi atau 143 Hijriah. Sementara pecahan keramik berasal dari masa Dinasti Tang pada abad ke-7 sampai ke-10 Masehi dan dari Persia (Iran) dari abad ke-7 hingga ke-9 Masehi.
Adapun pada lempengan timah yang ditemukan terdapat aksara pasca-Pallawa, Jawa kuno, dan Sumatera kuno, seperti proto Batak. Kalimat-kalimat dalam lempengan timah itu biasanya berisi mantra.
Tim peneliti telah mengirim sampel ijuk dan kayu berinskripsi huruf Pallawa pada 2020 ke Florida, Amerika Serikat, untuk diteliti umurnya. Hasil penelitian karbon dating pada sampel ijuk menunjukkan ijuk yang dianyam cukup rumit itu berasal dari tahun 663-778 Masehi. Sementara kayu berinskripsi huruf Pallawa berasal dari tahun 668-778 Masehi.
Ery mengatakan, temuan-temuan itu menunjukkan kawasan Desa Jago-jago yang berada di pertemuan Sungai Lumut dengan Samudra Hindia pada abad ke-7 hingga ke-9 adalah tempat produksi, perdagangan, dan pertemuan aneka bangsa dengan aneka kebudayaan. Bangsa China, India, Arab, dan warga lokal berikut kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam membaur.
Bisa jadi Situs Bongal merupakan tempat terawal masuknya kebudayaan Islam ke Nusantara. (Ery Soedewo)
Temuan alembic menunjukkan adanya kegiatan penyulingan, diduga minyak kamper dan kemenyan yang merupakan tanaman endemik di Sumatera bagian utara. Temuan kayu perkakas pertenunan menunjukkan ada aktivitas pertenunan kain. Diduga juga sudah ada penambangan emas dari temuan warga pada merkuri selain temuan resin-resin alam, seperti damar dan kemenyan.
Temuan biji-bijian, seperti pala, kemiri, pinang, dan jelai (jali), menunjukkan adanya perdagangan rempah di kawasan itu, termasuk rempah dari kawasan timur Nusantara dengan adanya temuan biji pala. Hal itu menunjukkan kawasan Bongal menjadi simpul jalur rempah Nusantara.
Ery juga menengarai Situs Bongal adalah situs terawal masuknya kebudayaan Islam ke Nusantara. Hal itu berdasarkan hipotesis kedatangan kebudayaan Islam pertama pada abad permulaan Hijriah yang dibawa pedagang Arab. ”Bisa jadi Situs Bongal merupakan tempat terawal masuknya kebudayaan Islam ke Nusantara,” kata Ery. Sumber-sumber yang menyatakan Fansur atau Fansuri sebagai pelabuhan di Sumatera bisa jadi itu adalah Pinang Sori, kawasan tak jauh dari Situs Bongal, yang pada 1.400-1.600 tahun lalu adalah tepi lautan.
Berdasarkan rententan waktu, Barus baru berkembang 200 tahun kemudian setelah Situs Bongal. Sejauh ini belum diketahui penyebab redup dan hilangnya aktivitas manusia di Bukit Bongal yang kemudian diduga berpindah ke Lobu Tua di Barus itu.
Jangan sampai situs rusak oleh penambangan emas ilegal warga. (Ketut Wiradnyana)
Peneliti muda Balai Arkeologi Medan, Stanov Purnawibowo, menambahkan, temuan kayu kapal yang terpisah-pisah menunjukkan adanya dugaan kawasan itu juga memiliki galangan kapal. Ijuk digunakan untuk mengikat kayu-kayu kapal, termasuk bangunan. Adapun struktur bangunan yang ditemukan berupa kayu-kayu yang mencuat diduga merupakan bagian dari bangunan, diduga rumah atau dermaga.
Sebelumnya, situs di Bukit Bongal, Desa Jago-jago, yang berjarak sekitar 50 kilometer garis lurus dari Situs Lobu Tua itu telah didatangi tim Balai Arkeologi Sumut pada 2001 saat ada laporan temuan patung Ganesha yang tidak utuh lagi. Warga juga banyak melaporkan menemukan aneka pecahan keramik, koin, dan manik-manik di kawasan itu. Tahun 2019 Balai Arkeologi bersama Dinas Pendidikan Tapanuli Tengah kembali mendatangi situs dan menemukan banyak kerusakan kemudian dilakukan pendokumentasian situs pada 2020.
Belakangan situs semakin terbuka oleh penambangan emas ilegal warga. Penggalian yang dilakukan warga untuk mendapatkan emas juga menemukan aneka barang arkeologi. Barang-barang temuan warga kini disimpan di Dinas Pendidikan Tapanuli Tengah.
Kepala Balai Arkeologi Sumut Ketut Wiradnyana mengatakan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk melakukan penyelamatan situs seluas sekitar 27 hektar itu. ”Jangan sampai situs rusak oleh penambangan emas ilegal warga,” kata Ketut.
Situs juga perlu segera ditetapkan sebagai cagar budaya, didaftarkan untuk registrasi secara nasional, dan segera dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kehidupan masa lalu di sana.