Erupsi Sejak 21 Januari, Mengapa Abu Raung Baru Terasa Sekarang...
Gunung Raung erupsi skala kecil sejak 21 Januari. Namun, hujan abu baru dirasakan dua hari terakhir, bahkan diperkirakan sudah sampai ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ini akibat kian terbukanya saluran dari dasar kawah.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Gunung Raung erupsi skala kecil sejak 21 Januari 2021. Namun, hujan abu baru dirasakan sejak dua hari terakhir. Bahkan, Minggu (7/2/2021) ini abu diperkirakan sampai ke Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Gunung Raung di perbatasan Kabupaten Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, memiliki tinggi 3.332 meter di atas permukaan laut. Erupsi yang terjadi kali ini lebih kecil dibandingkan dengan erupsi besar pada 2015.
Kepala Pos Pemantauan Gunung Raung Mukijo mengungkapkan, dalam 24 jam terakhir, intensitas letusan Gunung Raung meningkat. Tinggi kolom abu bahkan mencapai 1 kilometer dari puncak kawah. ”Pada 4 Februari, letusan memang pernah mencapai 1 kilometer. Namun, itu hanya terjadi sekali dan volume abu yang dikeluarkan tidak banyak. Saat itu, warna kolom abu cenderung kelabu,” tuturnya di Banyuwangi, Minggu (7/2/2021).
Adapun dalam 24 jam terakhir, lanjut Mukijo, intensitas letusan abu kian rapat. Dalam beberapa kali erupsi, tinggi kolom abu hampir selalu mencapai 1 km. Tak hanya itu, kolom abu juga semakin pekat, tanda bahwa volume abu yang diembuskan semakin banyak.
Mukijo mengatakan, pihaknya juga mencatat penurunan amplitudo microtremor atau gempa tremor terus-menerus. Jika dalam minggu lalu microtremor dominan di amplitudo 10 milimeter hingga 16 milimeter kini amplitudo microtremor selalu di bawah 10 milimeter.
Semakin terbukanya saluran dari dasar kawah ini yang membuat semakin banyak material yang dikeluarkan saat erupsi.
”Gempa micotremor menunjukkan getaran energi yang keluar dari dasar gunung ke permukaan. Saat gempa microtremor amplitudonya berkurang, kami menduga ini karena saluran keluarnya material dari dasar gunung semakin terbuka,” ungkapnya.
Semakin terbukanya saluran dari dasar kawah inilah yang membuat semakin banyak material yang dikeluarkan saat erupsi. Hal ini menjawab pertanyaan kenapa baru kali ini hujan abu baru dirasakan.
Paulina Hartati, warga Perumahan Permata Banyuwangi di Kelurahan Klatak, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, mengatakan, hujan abu sudah sampai di rumahnya. Padahal, jarak rumahnya dari Gunung Raung sekitar 35 kilometer.
”Pagi tadi saya kaget lihat teras banyak debu berwarna hitam. Debunya cenderung lebih kasar apabila dibandingkan dengan debu biasa. Setelah tanya sana-sini ternyata itu abu Raung. Baru 1 jam saya sapu, sudah ngeres (kotor) lagi,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Hermawan, warga Keluarahan Bakungan, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Ia merasakan hujan abu tipis ketika berkendara dari rumahnya ke sejumlah daerah di Banyuwangi kota. ”Rasanya mata saya lebih sering kelilipan. Namun, rasanya berbeda kalau kena debu biasa. Abu ini membuat mata lebih perih,” keluhnya.
Sebaran abu di sejumlah daerah di Banyuwangi dibenarkan Kepala Stasiun Meteorologi Kelas III Banyuwangi Dira Utama. Ia juga menyebut sebaran abu diperkiran mencapai Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. ”Dari citra satelit Himawari, sejak pukul 01.00 terpantau sudah ada sebaran abu vulkanik ke arah timur. Dari citra satelit itu pula, sebaran abu diperkirakan sudah sampai Lombok. Namun, mungkin hujan abu yang dirasakan di sana sangat tipis,” tuturnya.
Dira mengatakan, hujan abu di Banyuwangi dirasa lebih tebal karena abu yang berukuran lebih besar dan berat tidak terbang jauh saat terbawa angin. Adapun abu yang kecil dan ringan bisa terbawa angin hingga jauh tergantung kekuatan angin.
Sebaran abu ini membuat Bandara Banyuwangi menutup operasionalnya. Sedikitnya, tujuh penerbangan dibatalkan akibat penutupan Bandara Banyuwangi. Kepala Airnav Indonesia Cabang Banyuwangi Suri Fikriansyah menjelaskan, penutupan bandara ini sudah sesuai dengan prosedur keselamatan penerbangan.
”Abu vulkanik ini memang kecil, tetapi memiliki tekstur permukaan tajam dan bisa menggumpal. Abu vulkanik membahayakan penerbangan karena, apabila masuk ke dalam mesin, bisa merusak atau mengikis komponen-komponen,” tuturnya.
Tak hanya itu, abu vulkanik juga bisa menggumpal hingga menutup saluran pitot (pitot tube) pada pesawat. Pitot merupakan bagian dari instrumen sensor pesawat. Tersumbatnya pitot bisa mengacaukan sistem komputerisasi pesawat.
Abu vulkanik membahayakan penerbangan karena, apabila masuk ke dalam mesin, bisa merusak atau mengikis komponen-komponen.
PT Angkasa Pura II selaku pengelola bandara Banyuwangi pun meningkatkan pemantauan sebaran abu. Hal itu dilakukan dengan menambah intensitas pengujian kertas (paper test) di area bandara.
”Paper test biasanya kami lakukan setiap 1 jam hingga 2 jam saat ada laporan gunung meletus di sekitar bandara. Namun, kini kami meningkatkan pemantauan dengan melakukan paper test setiap 30 menit sekali,” ungkap Executive General Manager Angkasa Pura II Bandara Banyuwangi Cin Asmoro.
Bandara Banyuwangi semula menjadwalkan 10 penerbangan dari dan menuju Banyuwangi pada Minggu (7/2/2021). Namun, akibat sebaran abu erupsi Gunung Raung yang mencapai bandara, sebanyak tujuh penerbangan dibatalkan.
Penutupan bandara belum dapat dipastikan hingga berapa lama. Jika hasil paper test menunjukkan sudah tidak ada sebaran abu di bandara dan jalur penerbangan dinyatakan aman dari sebaran abu, penerbangan dari dan menuju Banyuwangi akan kembali dibuka.
Penutupan bandara akibat sebaran abu Gunung Raung juga pernah terjadi pada 2015. Bahkan, saat itu, Bandara Juanda, Surabaya; Bandara Ngurah Rai, Denpasar; dan Bandara Lombok juga ditutup akibat sebaran abu Gunung Raung.