Berjuang Setara Setelah Gempa dari Atas Sepeda Motor Roda Tiga
Isu inklusivitas sama sekali belum diperhatikan dalam penanganan bencana, seperti gempa di Sulawesi Barat. Belum lagi bicara terkait mengikutsertakan kaum difabel dalam perencanaan pembangunan dan penataan wilayah.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Turun dari sepeda motor dengan sespan modifikasi berisi belasan kantong merah berisi bahan pokok, Syafaruddin Syam (33) mengambil tongkat. Perlahan ia mendaki jalan menanjak. Dua rekannya tiba lebih dulu di lokasi tujuan Syafaruddin. Mereka menemui dan membawa bantuan untuk penyintas gempa yang sakit dan belum tersentuh penanganan.
Di dalam ruang tamu sebuah rumah di Kelurahan Binanga, Mamuju, Sulawesi Barat, Nani (62) berbaring meringkuk. Sarung kuning yang kusam menjadi penutup tubuh satu-satunya ibu dengan sembilan anak ini. Kepalanya benjol. Ia rutin menyapu dada dan punggung.
”Sakit dada dan punggungnya. Waktu gempa, dinding rumah roboh dan dia dijatuhi batu bata,” kata Yasin (70), suami yang setia menjaga sang istri, Jumat (29/1/2021). ”Rumah kami itu dindingnya belum diplester jadi gampang roboh.”
Beruntung, kata Yasin, sang istri selamat. Hanya saja, kepalanya mengeluarkan darah dan benjol sekepal tangan. Nani juga tidak bisa jalan dan berdiri. Mereka keluar dari rumah dan bergabung dengan warga di tempat terbuka yang kemudian menjadi tempat pengungsian. Namun, karena kondisi pengungsian yang terbatas, mereka mengungsi di rumah keluarga, sekitar 2 kilometer jauhnya.
Isu inklusivitas belum sama sekali diperhatikan dalam penanganan bencana ini. Belum lagi bicara terkait mengikutsertakan difabel dalam perencanaan pembangunan dan penataan wilayah (Hari Kurniawan).
Rumah pengungsian ini berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah jabatan Bupati Mamuju dan 5 kilometer dari rumah jabatan Gubernur Sulbar, yang juga menjadi posko induk penanganan gempa.
Selama mengungsi, kata Yasin, kondisi istrinya tidak juga membaik. Petugas kesehatan pernah datang sekali, lalu tidak ada tindak lanjut lagi. Ia tidak tahu harus ke mana karena fasilitas kesehatan rusak, dan ia tidak mempunyai biaya.
Syafaruddin, yang juga Ketua Gema Difabel Mamuju, menelepon mitra dari lembaga yang fokus di penanganan kesehatan. Ia melaporkan kondisi penyintas yang didera sakit parah ini.
”Kami fokus di lansia dan difabel penyintas gempa. Ibu Nani ini termasuk lansia yang juga difabel baru. Seperti kami duga, difabel dan lansia belum mendapat penanganan dan sangat rentan terdampak,” ucapnya.
Bersama rekan-rekan di Gema Difabel Mamuju dan sukarelawan yang tergabung dalam Tim Relawan Kemanusiaan, Syafar, panggilannya, melakukan pendataan difabel dan lansia yang juga penyintas gempa. Hampir setiap hari, tim yang sebagian besar difabel ini turun melakukan penilaian. Mereka menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi dengan sespan atau boks di sebelah kiri untuk menyeimbangkan motor sekaligus mengangkut rekan dan bantuan.
Tidak hanya itu, mereka membagikan bahan pokok dari hasil donasi dan mengupayakan penanganan kesehatan bagi penyintas. Hal yang sama mereka jalani saat gempa Palu 2018. Jalan rusak hingga menuju pulau juga dijabani.
Sebelum mendatangi Ibu Nani, Syafar bersama enam rekannya menuruni jalan curam nan berbatu dan berbelok untuk menemui seorang penyintas lain.
Berada di tengah permukiman warga lain dan hanya bisa dilalui berjalan kaki, seorang penyintas difabel terbaring di kamar. Ia adalah Amri Topo (52), ayah tiga anak yang selama 25 tahun terakhir hanya bisa terbaring di kasur tipis. Duduk sebentar membuatnya pusing sehingga harus selalu berbaring. Ia mengalami sakit di tulang ekor yang kian hari bertambah buruk.
Setelah gempa merobohkan sebagian dinding rumah, ia sempat beberapa malam di pengungsian. Namun, dengan kondisi pengungsian yang dingin dan hanya beralas terpal, ia memutuskan masuk kembali ke rumah.
”Takut sekali sebenarnya, tetapi sudah mau bagaimana. Ini rumah saya masih goyang-goyang kalau gempa. Itu di atas sudah jatuh batu batanya sebagian,” kata Amri. Bagian dinding atas kamarnya telah bolong sekitar 1 meter akibat batu yang berjatuhan saat gempa. Bagian dinding depan rumah yang tanpa plesteran ini juga serupa.
Sempat diperiksa petugas kesehatan saat di pengungsian, Amri hanya diberi obat pereda nyeri lambung. Ia juga menderita sakit mag, gangguan pada ginjal, bahkan jantung. Penyakitnya tidak kunjung mereda.
Logistik yang ia terima pun sangat terbatas. Padahal, di rumahnya ia menetap bersama lima orang, termasuk istri, menantu, seorang cucu, dan dua anak. Anak bungsunya yang berumur 16 tahun juga penyandang disabilitas.
Syafaruddin menyampaikan, selama pendataan dilakukan setelah gempa mengguncang wilayah Sulawesi Barat, ada sekitar 150 difabel yang terdata di Mamuju. Sekitar 80 persen di antaranya bahkan belum tersentuh bantuan sama sekali.
”Di Kecamatan Tapalang, Karampuang, hingga ibu kota Mamuju pun difabel penyintas gempa tidak tersentuh bantuan. Pemerintah saja tidak punya data berapa penyintas difabel, lokasinya di mana. Bahkan, sejak kami ikut rapat di posko bencana Mamuju, disabilitas tidak dibahas,” kata Syafar.
Terpinggirkan
Berdasarkan data Susenas 2018, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia 30,38 juta. Sebanyak 0,5 persen atau sekitar 150.000 orang di antaranya berada di Sulbar. Jumlah ini tersebar di enam kabupaten, dan seperti di daerah lain, sebagian besar berada di ibu kota provinsi atau daerah padat lain.
Berdasarkan laporan United Nations Secretariat for International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) pada 2013, survei PBB terhadap lebih dari 5.000 penyandang disabilitas dari 126 negara menemukan bahwa ada 80 persen difabel yang kesulitan mengevakuasi diri dengan mudah jika terjadi bahaya mendadak. Tidak hanya itu, angka kematian difabel dalam bencana tsunami Jepang pada 2011 menyebabkan kematian difabel dua kali lipat dari masyarakat umum.
Direktur LBH Disabilitas Hari Kurniawan mengemukakan, sejauh temuan lapangan, difabel penyintas gempa semakin terpinggirkan. Mereka mengalami kesulitan akses, bantuan, terlebih penanganan lanjutan.
Hal ini menunjukkan, isu inklusivitas belum menjadi arus utama di pemerintah, terlebih dalam penanganan bencana. Secara sederhana hal tersebut bisa dilihat dari tidak adanya pendataan penyintas difabel hingga penanganan lanjutan.
”Selain menyalurkan bantuan, kami turun menjadi sukarelawan untuk mengadvokasi hak difabel. Namun, setiap saya turun di bencana, selalu ditanya, bisa, ya, difabel jadi sukarelawan. Dan, saya selalu tanya balik, bisa, ya, bikin kebijakan terkait difabel kalau difabelnya tidak dilibatkan?” kata Hari yang telah lebih dari sepekan berada di Mamuju.
Sejauh ini, ia melanjutkan, kondisi penyintas difabel sangat memprihatinkan. Sebagian besar dari mereka tak tersentuh bantuan, baik makanan, tenda, popok dewasa, maupun alat bantu. Belum lagi terkait penanganan kesehatan, psikososial, dan terapi fisik.
Isu inklusivitas, lanjut Hari, belum sama sekali diperhatikan dalam penanganan bencana ini. Belum lagi bicara terkait mengikutsertakan difabel dalam perencanaan pembangunan dan penataan wilayah.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Gempa Sulbar, M Natsir, mengakui jika pendataan detail penyintas difabel belum maksimal. Hal itu disebabkan kurangnya tenaga lapangan dan kesiapan dalam penanganan bencana.
”Kami segera sampaikan ke dinas sosial untuk melakukan pendataan detail terkait penyintas difabel. Semuanya kami prioritaskan dan berusaha semaksimal mungkin. Jika ada data monitoring, segera juga disampaikan ke kami,” ucap Natsir.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berharap agar penanganan pascabencana juga memperhatikan kelompok rentan. Hal ini karena masih adanya laporan kelompok ini, khususnya ibu hamil dan bayi, tidak tertangani. Meski demikian, ia tidak menyebutkan penanganan terhadap difabel penyintas gempa.
Difabel masih tereksklusi dari setiap program pemerintah. Tanpa bencana pun mereka telah kesulitan beraktivitas, mencari kerja, dan berbagai pandangan miring masyarakat. Namun, dengan gerakan dan kemauan bersama, inklusivitas bukan utopia.