Tidak Diusut Tuntas, Kasus Kejahatan Oknum Polisi Sering Berulang
Penindakan terhadap aparat yang berbuat kejahatan sering kali hanya secara internal dan administratif sehingga pelaku merasa kebal hukum.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kasus penggunaan kekerasan berlebihan oleh oknum kepolisian, bahkan berujung kematian, dinilai kerap terulang karena tidak diusut secara tuntas. Penindakan terhadap aparat yang berbuat kejahatan sering kali hanya secara internal dan administratif sehingga pelaku merasa kebal hukum. Keluarga Deki Susanto, buron judi di Solok Selatan, Sumatera Barat, yang ditembak mati polisi, berharap penembak dihukum berat dan semua aparat yang terlibat juga diproses.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi daring ”Indonesia Darurat HAM: Menguak Insiden Tembak Mati oleh Aparat Polisi di Solok Selatan” yang diadakan Pusat Kajian Nagari Madani, Sabtu (6/2/2021). Pembicara dalam diskusi antara lain aktivis HAM dan Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar; kuasa hukum keluarga Deki Susanto dan Direktur LBH Pergerakan, Guntur Abdurrahman; dan peneliti Pusat Kajian Nagari Madani, Rizky Yori Ardi.
Diskusi ini membahas meninggalnya Deki. Pada Rabu (27/1/2021) sekitar pukul 14.30, buron kasus judi, Deki Susanto, tewas ditembak saat disergap anggota Polres Solok Selatan di Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan. Sejam kemudian, massa yang marah atas kejadian itu menyerang kantor Polsek Sungai Pagu.
Atas kejadian itu, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum Daerah (Itwasda) telah memeriksa enam anggota Polres Solok Selatan yang terlibat dalam penyergapan (Kompas.id, 1/2/2021). Satu di antaranya, Brigadir K, yang menembak Deki, ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan yang lain berstatus saksi.
Haris Azhar dalam diskusi itu mengatakan, polisi memang dilengkapi dengan kewenangan dan alat untuk melakukan kekerasan saat menegakkan hukum. Namun, ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi dalam penggunaannya, misalnya untuk melindungi diri atau melemahkan target ketika hendak melarikan diri. Praktik di lapangan, polisi kerap menyalahgunakan wewenang atau melakukan kekerasan berlebihan terhadap orang yang ditindak.
Menurut Haris, tindakan kejahatan oleh aparat itu terjadi berulang-ulang karena tidak pernah ada pengungkapan yang sungguh-sungguh terhadap kejadian tersebut. ”Banyak kasus hanya dihukum dicopot dari jabatan. Jadi, penyelesaian mereka hanya secara internal dan administratif. Tidak ada yang memuaskan dalam penegakan keadilan, penegakan hukum, maupun hak-hak korban. Makanya polisi jadi jemawa, merasa kebal hukum,” ujarnya.
Dalam beberapa riset dan kasus yang ditangani Haris, beberapa tindakan di luar hukum yang dilakukan polisi memiliki sejumlah motif, antara lain motif dendam, motif suruhan/pesanan, motif menunjukkan kinerja, dan motif ketidakcakapan. Akhirnya, penindakan seolah-olah atas nama penegakan hukum dengan menggunakan celah yang ada pada target atau celah yang dibuat-buat atau dilekatkan kepada target.
Terkait kasus tembak mati Deki Susanto di Solok Selatan, Haris mengatakan, polisi harus bisa menjelaskan sejak kapan Deki berstatus buron dan apa saja tindakan yang sudah diambil polisi untuk mencari buron. Penggerebekan tiba-tiba yang berujung tewasnya Deki di depan istri dan anaknya menimbulkan tanda tanya. ”Saya pikir polisi punya kelengkapan dan tidak diciptakan untuk menindak dengan cara membunuh di depan keluarganya, itu bukan penegakan hukum, itu pembunuhan,” kata Haris.
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu menambahkan, keberanian keluarga Deki dan masyarakat dalam mengungkap kasus ini jelas menunjukkan adanya dugaan pembunuhan yang terencana oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan penegakan hukum dengan menggunakan celah status buron pada Deki.
”Kalau pelakunya polisi, jelas mereka harus dihukum lebih berat. Yang dihukum tidak hanya pelaku, tetapi keseluruhan dengan berbagai peran, dalam hukum disebut turut serta atau bersama-sama. Mereka semua harus menjadi bagian dari orang yang harus dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan ini. Ini kejahatan serius,” tutur Haris.
Rizky Yori Ardi mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir, ada sejumlah kejadian atau tindakan represif yang dilakukan oknum polisi di Sumbar yang berujung pada meninggalnya korban. Pada 2011, Faisal-Budri, tahanan kakak-beradik di Kabupaten Sijunjung, ditemukan tewas akibat penganiayaan oleh polisi. Setahun berikutnya, ada Erik Alamsyah, tahanan di Bukittinggi, yang tewas setelah mendapat tindak kekerasan dari oknum polisi.
Pada 2014, tambah Rizky, ada Robby Putra Hadi, tahanan di Kabupaten Solok, yang meninggal setelah dianiaya oleh oknum polisi. Kemudian, pada 2019, Rahmad Kurniawan, tahanan di Kabupaten Padang Pariaman, ditemukan tewas tergantung di dalam ruang tahanan dan dicurigai dianiaya oknum polisi karena pada jenazah ditemukan jejak pukulan benda tumpul di kepala, dada, dan punggung.
”Itu beberapa kasus yang dicatat oleh LBH Padang. Kami peneliti Pusat Kajian Nagari Madani melihat ini adalah rentetan kasus kekerasan oleh oknum polisi yang terus terjadi. Puncaknya, kasus ditembaknya Deki Susanto di depan anak dan istrinya. Ini mesti jadi catatan tersendiri bagi kepolisian, penegak hukum sendiri yang melakukan tindak pidana,” papar Rizky.
Menurut Rizky, dari rentetan kasus tersebut, semua pihak mesti mengawasi dan mengawal proses penegakan hukum oleh pihak kepolisian. Jika tidak diawasi dan dikawal, oknum kepolisian akan sewenang-wenang dalam menggunakan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki dalam menegakkan hukum.
Guntur Abdurrahman menyayangkan pasal penganiayaan berujung kematian yang disangkakan terhadap Brigadir K, tersangka penembak Deki. Semestinya tersangka dikenai pasal pembunuhan, baik berencana maupun tidak berencana. Sebab, peristiwanya bukan penganiayaan, melainkan pembunuhan karena menembak Deki di bagian kepala dari jarak dekat.
Kata Guntur, ancaman hukuman pada Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan lebih berat, yaitu maksimal 15 tahun penjara. Dalam Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, ancaman hukumannya bahkan maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup. Jika yang diterapkan Pasal 351 Ayat 3 tentang penganiayaan yang berujung kematian, ancaman hukumannya ringan, maksimal 7 tahun penjara.
Kami peneliti Pusat Kajian Nagari Madani melihat ini adalah rentetan kasus kekerasan oleh oknum polisi yang terus terjadi. Puncaknya, kasus ditembaknya Deki Susanto di depan anak dan istrinya. (Rizky Yori Ardi)
Brigadir K, sebut Guntur, harus dihukum berat atas perbuatannya. Jika tidak, kejadian seperti ini akan terus berulang pada tahun-tahun berikutnya. Dalam kasus-kasus serupa di Sumbar sebelumnya, oknum polisi yang terlibat divonis ringan, misalnya 1,5 tahun penjara.
”Setelah divonis, lalu menjalani sidang disiplin, mereka kemudian tetap menjadi polisi, tidak dipecat dari kesatuan. Jangan sampai kasus tembak mati di Solok Selatan ini masih sama seperti itu. Jika tetap seperti itu (dihukum ringan), kami pesimistis bagaimana ke depannya,” kata Guntur.
Guntur menambahkan, sembilan polisi lain yang terlibat dalam penggerebekan di rumah Deki juga harus diseret. Mereka patut disangka sebagai pelaku dan keterlibatan serta motif mereka harus didalami. Menjadi pertanyaan apabila penangkapan buron kasus judi kartu remi di warung melibatkan sepuluh aparat tidak berseragam yang datang ke lokasi dengan dua mobil.
Secara terpisah, Wakil Kepala Polda Sumbar Brigadir Jenderal (Pol) Edi Mardianto saat bersilaturahmi dengan keluarga Deki Susanto dan tokoh masyarakat setempat, Rabu (3/2/2021), menyampaikan belasungkawa terhadap kejadian ini. Personel yang menembak Deki saat penggerebekan akan diproses hukum dan sekarang sudah ditahan di markas Polda Sumbar. ”Biarkan semuanya berjalan sesuai aturan hukum yang berlaku,” kata Edi dalam siaran pers.