Memiliki Banyak Nilai Penting, Situs Talang Tuwo Pantas Dijadikan Cagar Budaya
Situs Talang Tuwo di Palembang, Sumatera Selatan, sudah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai kawasan cagar budaya. Itu karena di dalamnya terkandung sejumlah nilai penting.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Situs Talang Tuwo di Palembang, Sumatera Selatan, sudah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai kawasan cagar budaya. Situs itu dianggap memiliki sejumlah nilai penting dari sisi lingkungan, agama, budaya, hingga pendidikan. Dari situs inilah masyarakat bisa belajar peduli pada lingkungan di sekitarnya.
Hal itu mengemuka dalam diskusi virtual yang digelar oleh Sahabat Cagar Budaya, Sabtu (6/2/2021). Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Palembang Retno Purwanti mengutarakan, Situs Talang Tuwo memiliki banyak nilai penting, mulai dari aspek sejarah, pendidikan, pengetahuan, agama, hingga budaya, terutama bagi penguatan kepribadian bangsa. Situs ini terletak di Desa Talang Tuwo, Kelurahan Talang Kelapa, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Kota Palembang.
Dari segi sejarah, jelas Retno, situs ini merupakan lokasi ditemukannya Prasasti Talang Tuwo. Prasasti Talang Tuwo menceritakan tentang pembangunan Taman Sriksetra di bawah kepemimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa, pendiri Kedatuan Sriwijaya, pada tahun Saka 606 atau 23 Maret 684 Masehi. Pembangunan Taman Sriksetra itu dilakukan dua tahun setelah Kedatuan Sriwijaya masuk ke Palembang.
Prasasti Talang Tuwo ditulis dengan aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuno dan Sanskerta. Kini, prasasti tersebut tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Talang Tuwo juga memperkuat legitimasi bahwa Kedatuan Sriwijaya menganut ajaran Buddha. Itu karena di dalamnya tertuang sejumlah doa dan ajaran Buddha di mana Sri Jayanasa sudah memasuki tingkatan yang tinggi sehingga dia memutuskan untuk membuat sebuah taman bagi kemaslahatan rakyatnya.
Peneliti Muda Balai Arkeologi Sumatera Selatan Wahyu Rizky Andhifani menjabarkan, kala itu, Taman Sriksetra sangat asri dengan ditumbuhi beragam tanaman kayu yang bisa berbuah dan tanaman lain seperti pohon kelapa, sagu, pinang, enau, bambu, aur, dan patum. Taman ini dibangun oleh Sri Jayanasa untuk kepentingan seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya. Tidak hanya tumbuhan, di dalam prasati juga disebutkan adanya kolam atau telaga di sekitar taman tersebut.
Selain bercerita tentang kondisi taman, ujar Wahyu, di dalam prasasti yang terbuat dari batu pasir berukuran 50 sentimeter x 80 sentimeter tersebut juga terkandung beragam nasihat agar manusia hidup sesuai dengan yang diharapkan oleh Sang Buddha, yakni Tri Ratna (Buddha, Sangga, dan Dharma). ”Kala itu, untuk ajaran Buddha ditulis dalam bahasa Sanskerta,” ucapnya.
Dalam prasasti juga tergambar betapa pemerintahan saat itu sangat menghargai lingkungan. Sementara di sisi pengetahuan, juga ditemukan sejumlah kanal dan kolam yang dibuat sebagai sarana transportasi dan tempat beribadah. ”Dari sini bisa diketahui bagaimana proses pembangunan disesuaikan dengan kondisi lingkungan,” ucap Retno.
Sebenarnya, tambah Retno, situs ini sudah masuk dalam Registrasi Nasional Cagar Budaya. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai perkembangannya. Penelitian terakhir dilakukan tahun 1984 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hanya saja, berubahnya bentang alam di kawasan tersebut lantaran terokupasi perkebunan sawit dan perumahan membuat proses penelitian menjadi tidak mudah. Bisa dibilang, kawasan Talang Tuwo sudah mengalami degradasi lingkungan yang masif. ”Kemungkinan peninggalan arkeologi di sana ikut rusak atau hilang karena pesatnya pembangunan,” ucap Retno.
Peduli lingkungan
Peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan spesialisasi Hindu-Buddha, Sondang Martini Siregar, menuturkan, Prasasti Talang Tuwo menunjukkan kepada generasi muda bahwa di Palembang telah ada sosok pemimpin yang menginspirasi karena peduli pada lingkungan dan rakyatnya. Sri Jayanasa berupaya untuk mengamalkan ajaran dari Buddha Mahayana, yakni dengan membuat taman untuk menyejahterakan rakyatnya sebagai bentuk bakti dari seorang raja.
Selain itu, ujar Sondang, prasasti ini membuktikan pemimpin masa lalu sudah paham benar tentang wilayah kekuasaannya. ”Sri Jayanasa sudah tahu bahwa wilayah kekuasaannya merupakan lahan basah dan berawa. Itulah sebabnya, semua pembangunan disesuaikan dengan kondisi lingkungan,” ucapnya.
Dari situs ini kita bisa belajar untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan dibandingkan pembangunan yang menguras sumber daya alam yang menjadi penyebab sejumlah bencana. (Sondang Martini Siregar)
Buktinya, jenis flora yang tumbuh di Taman Sriksetra merupakan tanaman yang ramah terhadap lahan basah dan rawa, yakni berupa jenis pinang, rumput-rumputan, buah-buahan, dan jenis palem. Selain itu, ditanami juga beragam tumbuhan bambu yang bisa mengembalikan kondisi lingkungan menjadi hijau apabila terjadi kebakaran lahan.
Berbeda dengan kondisi saat ini di mana banyak ditanam beragam tanaman yang rakus akan air seperti kelapa sawit. Anak sungai pun ditimbun untuk pembangunan perumahan. Akibatnya, musibah kebakaran lahan dan banjir terus berulang tidak hanya di Palembang, tetapi juga di Sumsel.
Tidak hanya itu, ujar Sondang, di masa tersebut juga telah dibangun kanal, kolam, parit, dan bendungan sebagai sarana pengelolaan air sehingga daerahnya tidak banjir sewaktu hujan dan tidak kering kerontang sewaktu kemarau.
”Dari situs ini kita bisa belajar untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan dibandingkan pembangunan yang menguras sumber daya alam yang menjadi penyebab sejumlah bencana,” kata Sondang.
Untuk itu, Sondang berharap agar situs ini tetap dilestarikan. Kalau perlu, dijadikan ruang/taman terbuka hijau yang bisa digunakan untuk tempat rekreasi, wisata, olahraga, atau penelitian.
Wakil Ketua Komisi V DPRD Kota Palembang Syaiful Fadli menyebutkan masih banyak situs bersejarah di Palembang yang terbengkalai. Itu karena masyarakat masih belum tahu arti penting situs tersebut. ”Karena itu, upaya sosialisasi hingga ke seluruh kalangan masyarakat sangat diperlukan,” ujarnya.
Syaiful berharap agar pemerintah dapat memfasilitasi upaya kajian dari sejumlah peneliti guna memperkuat Situs Talang Tuwo sebagai cagar budaya. Jangan sampai kisah suram Pasar Cinde yang hancur walaupun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya kembali terulang.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan Aufa Syahrizal berkomitmen untuk memfasilitasi upaya para peneliti melakukan kajian lebih lanjut terkait Situs Talang Tuwo. ”Jika benar dan dapat dibuktikan bahwa tempat ini merupakan tempat penemuan prasasti, tentu akan diusulkan sebagai cagar budaya,” ujarnya. Ketika hal itu terjadi, situs ini akan terlindungi.