Perdagangan stok karbon dinilai bisa menekan laju deforestasi, selain juga punya manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Perdagangan stok karbon dinilai bisa menekan laju deforestasi, selain juga punya manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Peluang ini tengah dijajaki oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi di hutan nagari Sumatera Barat. Sementara itu, Dinas Kehutanan Sumbar dalam empat tahun terakhir telah mengidentifikasi potensi karbon di kawasan perhutanan sosial.
Manajer Program KKI Warsi Rainal Daus, di Padang, Sumbar, Jumat (5/2/2021), mengatakan, sebenarnya inisiatif dan semangat masyarakat nagari di Sumbar untuk menjaga hutan sangat kuat. Namun, inisiatif dan semangat itu harus didukung dan dijaga agar tidak memudar, salah satunya dengan perdagangan karbon.
”Perdagangan karbon menjadi upaya memperoleh imbal jasa lingkungan. Masyarakat tetap menjaga hutan dan hasil perdagangan karbon bisa digunakan, selain untuk biaya melindungi hutan, juga memperkuat sumber-sumber pendapatan ekonomi keluarga supaya tidak menambah tekanan terhadap hutan,” kata Rainal di sela-sela lokakarya di Padang.
Menurut Rainal, KKI Warsi sudah mulai melakukan survei cadangan karbon di tiga hutan nagari pada lanskap Lunang, pesisir selatan, pada Agustus-September 2020. Survei menggunakan skema jumlah karbon yang tersimpan dalam setiap hektar tutupan hutan yang diselamatkan melalui program setiap tahun dibandingkan dengan rata-rata laju deforestasi setiap tahun.
Data KKI Warsi menyebutkan, total luas hutan nagari Pondok Parian Lunang, Lunang Tengah, dan Lunang tersebut 5.782 hektar. Pada 2020, tutupan hutan di kawasan itu seluas 3.171 hektar dengan rata-rata laju deforestasi sebesar 0,99 persen per tahun. Tanpa adanya program perlindungan apa pun, pada 2021 kawasan itu akan kehilangan tutupan hutan seluas 31,39 hektar dan selama periode 2021-2050 seluas 818 hektar.
Tanpa adanya program perlindungan apa pun, pada 2021 kawasan itu akan kehilangan tutupan hutan seluas 31,39 hektar dan selama periode 2021-2050 seluas 818 hektar.
Dengan program perlindungan, masyarakat berkomitmen menekan laju deforestasi sebesar 70 persen. Maka, kehilangan tutupan hutan pada 2021 bisa ditekan menjadi 9,42 hektar dan selama 2021-2050 seluas 245 hektar. Artinya, sebanyak 573 hektar hutan bisa diselamatkan dalam periode tersebut.
Berdasarkan perhitungan KKI Warsi, dari selisih tutupan hutan yang diselamatkan tersebut, jumlah bersih karbon yang tersimpan pada 2021 sebesar 16.926 ton CO2-eq. Adapun selama 2021-2050, jumlah bersih karbon yang tersimpan sebesar 441.202,51 ton CO2-eq atau rata-rata 14.707 ton CO2-eq per tahun. Saat ini, 1 ton CO2-eq dihargai sekitar 6 dollar AS.
Koordinator Program KKI Warsi Riche Rahma Dewita mengatakan, masyarakat lima desa yang merawat hutan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur di Kabupaten Bungo, Jambi, sudah mulai merasakan manfaat perdagangan karbon ini. Hingga 2020, jumlah karbon terjual sebanyak 16.000 ton CO2-eq dengan nilai Rp 1,5 miliar. Uang tersebut disalurkan ke masyarakat berupa dana pendidikan (beasiswa), layanan kesehatan, dana sosial, dan biaya perawatan hutan (reboisasi, patroli).
”Berdasarkan analisis citra satelit yang KKI Warsi lakukan, tidak terjadi deforestasi pada areal lindung di lima hutan desa tersebut. Sejak ada dana karbon, komitmen masyarakat untuk menjaga hutan, terutama pada areal yang disepakati untuk dilindungi, semakin menguat. Secara sosial, orang-orang di desa saling menyosialisasikan bahwa ada areal perlindungan yang harus dijaga,” tutur Riche.
Rainal menambahkan, KKI Warsi mencoba menerapkan perdagangan karbon pada hutan desa di Bungo ke hutan nagari di lanskap Lunang sembari menunggu peraturan secara nasional yang disiapkan pemerintah tentang perdagangan karbon. Selain di pesisir selatan, KKI Warsi selanjutnya juga menerapkannya di hutan nagari di daerah lain di Sumbar. Ada empat kabupaten, yaitu Solok, Solok Selatan, Sijunjung, dan Agam, yang sedang dinilai sebagai lokasi yang tepat untuk diterapkan.
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi mengatakan, potensi karbon ada di seluruh kawasan hutan di Sumbar. Sejak empat tahun terakhir, dinas sudah membangun 75 petak ukur permanen (20 x 20 meter) di hutan nagari dan hutan kemasyarakatan. Pada 2021 ini, dinas akan membangun 30 petak ukur permanen.
”Kami sudah punya data berapa stok karbon. Namun, data belum bisa kami declare karena harus disusun dalam bentuk jurnal, baru bisa diekspos ke publik. Walaupun demikian, apa yang kami kerjakan sudah masuk ke sistem registri nasional,” kata Yozarwardi.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumbar, total luas hutan di Sumbar 2,3 juta hektar. Dari jumlah itu, hutan yang dikelola provinsi 1,5 juta hektar, terdiri atas hutan lindung dan hutan produksi. Sebanyak 500.000 hektar hutan yang dikelola provinsi dialokasikan untuk perhutanan sosial dan realisasinya saat ini sebanyak 228.000 hektar.
Menurut Yozarwardi, agar potensi karbon terjaga, laju deforestasi harus ditekan dan tutupan hutan ditambah dengan penanaman kembali. Jika perdagangan karbon di Sumbar terwujud, hasilnya harus kembali ke hutan dan masyarakat yang menjaga hutan. ”Kita bisa menjadikan mereka sejahtera (dengan perdagangan karbon) karena mereka sudah menjaga hutan,” ujarnya.
Yozarwardi mengapresiasi dan mendukung inisiatif KKI Warsi yang melakukan survei potensi karbon di lanskap Lunang. Ke depan, metodologi pengukuran oleh KKI Warsi mesti disesuaikan dengan metodologi yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada akhir lokakarya, KKI Warsi dan Dinas Kehutan Sumbar sepakat menyusun rencana bersama terkait identifikasi potensi karbon di Sumbar.
Sarjudin, anggota Lembaga Pengelola Hutan Nagari Pondok Parian Lunang, mengatakan, hasil perdagangan karbon yang dikelola nagari diharapkan bisa menambah semangat masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan tutupan hutan. Hasil tersebut juga bisa mengalihkan masyarakat lainnya yang biasa membalak liar sebagai mata pencarian. ”Mereka akan mendapatkan manfaat hutan tanpa merusak hutan,” kata Sarjudin.