Pengaron, Jejak Petaka Tuan Tambang
Banjir besar di Kalimantan Selatan tidak sepenuhnya disebabkan hujan ekstrem, tetapi juga dipicu oleh kerusakan lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai. Perusakan itu bahkan sudah terjadi ratusan tahun silam.
Sejak ratusan tahun lalu, Pengaron sudah dikeruk demi kandungan tambangnya. Kini, saat kawasan hulu Sungai Martapura tersebut belum berhenti digerogoti, alam yang jengah itu murka membawa petaka banjir layaknya air bah.
Lumpur bekas banjir masih mengepung rumah Jaelani (57), warga Desa Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Namun, ditemani segelas kopi hitam, ia masih mencoba tabah.
Duduk di atas kursi yang belum sepenuhnya kering setelah direndam banjir Sungai Riam Kanan selama lima hari, pagi itu dia ditemani, Syahroni (58). Kawan karibnya itu juga sama-sama menyesap kopi. Sruput.
”Di sini banjir selalu terjadi hampir tiap tahun, tetapi tak pernah sebesar ini. Baju dan kasur ludes semua, televisi ikut rusak, banyak ternak hilang. warga mengungsi,” ungkap Jaelani, Kamis (28/1/2021).
Jaelani dan Syahroni sejatinya tengah melepas rindu pada rumahnya. Keduanya baru kembali dari mengungsi ke Desa Maniapun. Saat banjir kian tinggi, tiada pilihan selain angkat kaki. Kebun karet, jahe, dan padi ladang ditinggalkan meski dengan berat hati.
Saat kembali lima hari kemudian, harta itu juga yang mereka tilik duluan. Beruntung air bah tidak menghajarnya. ”Getah karet yang kami sadap sebelum banjir juga masih ada,” kata Syahroni, mengelus dada.
Wajar bila Syahroni cemas. Seumur hidupnya, ia belum pernah dikepung banjir separah ini. Dia benar-benar menjadi warga Pengaron yang berpindah tempat tinggal karena diancam murka alam. Banjir benar-benar menggila merendam Kalsel.
Pengaron merupakan salah satu wilayah penting di Kalimantan Selatan. Kecamatan ini diapit oleh Sungai Riam Kanan dan Riam Kiwa (kiri), keduanya bermuara ke Sungai Martapura. Daerah ini menjadi bagian hulu Sungai Martapura yang harus dijaga. Kerusakan di wilayah ini tentu akan berpengaruh pada hilir sungai.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalsel menyebutkan 13 kabupaten/kota dilanda banjir. Hanya Tanah Bumbu dan Kotabaru yang tidak disapa luapan air.
Baca juga : Saat Kota Seribu Sungai Terkatup Banjir
Pos Komando Tanggap Darurat Banjir Kalsel mencatat 712.129 jiwa terdampak banjir. Sebanyak 113.420 di antaranya mengungsi, termasuk Syahroni dan Jaelani.
Banjir kali ini juga memicu perdebatan. Presiden Joko Widodo saat mengunjungi pengungsi di Kalsel menyebut penyebab semuanya adalah curah hujan. Akibatnya, sungai tak mampu menahan beban debit air yang berlebih.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) tidak setuju dengan analisis itu. Kerusakan alam ikut jadi penyebabnya.
Jatam mencatat, dari 3,7 juta hektar luas wilayah Kalsel, sebanyak 50 persen dikuasai izin konsesi, mulai dari pertambangan, perkebunan, tanaman industri, hingga industri kayu.
Kerusakan bahkan terjadi di sungai besar. Rahim Sungai Martapura, Sungai Barito, hingga Pegunungan Meratus dikoyak manusia. Akibatnya, alam kehilangan daya upayanya melindungi manusia yang sejak lama hidup di tanah rawan bencana itu.
Eksploitasi tambang di Pengaron bukan barang baru. Jejaknya tertanam lama di kawasan Bumi Mangkurat itu, bahkan yang pertama dilakukan di Nusantara. Kandungan batubara di wilayah ini sudah jadi incaran penjajah, bahkan hingga kini batubaranya belum habis.
Salah satu kisahnya tertulis dalam ”Toponimi Benteng Pengaron dan Awal Mula Perang Banjar” karya Nugroho Nur Susanto dalam Jurnal Balai Arkeologi Kalsel.
Baca juga : Kerusakan Lingkungan Picu Banjir di Kalimantan Selatan
Belanda sudah mulai menambang di Pengaron sekitar 173 tahun lalu. Ikut bersama mereka adalah orang dari Jawa dan Madura. Bukan pekerja biasa, mereka narapidana. Mereka dipilih untuk menghindari biaya produksi yang tinggi. Lain halnya dengan tenaga ahli yang diimpor langsung oleh Belanda.
Benteng dan area tambang itu kemudian diberi nama Oranje Nassau. Nama yang sama seperti nama wangsa atau dinasti kehormatan Kerajaan Belanda.
Eksploitasi itu berjalan mulus. Pengaron bisa menghasilkan setidaknya 10.000 ton batubara per tahun dan beroperasi selama 10 tahun sebelum kemudian membuka area tambang lainnya.
Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya (LKS2B) Kalimantan Mansyur menjelaskan, saking vitalnya, Belanda membuat benteng khusus untuk menjaga wilayah pertambangannya.
Hal itu dilakukan karena tambang batubara tersebut menjadi kunci kemegahan bala tentara Belanda. Kapal-kapal megah dengan senjata mutakhir saat itu tidak bisa beroperasi tanpa bahan bakar batubara. Oranje Nassau menjadi penyuplai utama batubara.
”Tanah Pengaron sebetulnya merupakan wilayah yang belum dikuasai oleh Belanda, jadi masih milik sultan. Namun, Belanda memecah belah kesultanan dengan tujuan diberikan lahan di Pengaron itu,” ungkap Mansyur yang juga dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Tidak berhenti di sana, segala macam cara dilakukan penjajah. Pemerintah kolonial lantas membantu mengangkat salah satu anak selir menjadi sultan, yakni Sultan Muda Tamjidullah. Balasannya, Belanda boleh menambang sesuka hati di Pengaron.
Baca juga : Jangan Ada Strum di Antara Kita dan Banjir
Sebagai imbalan, Belanda pun memberikan 140 gulden untuk setiap ton batubara kepadanya. Harga batubara acuan hari ini Rp 1.069.044,43 per ton.
Jika 140 gulden setara 1 ton batubara, satu gulden bisa sama dengan Rp 7.700 dan 140 gulden setara Rp 1.078.000 per ton. Sistem dagang ini tampaknya tak berubah hingga kini.
Akan tetapi, eksploitasi tambang itu ikut mengubah tata masyarakat Pengaron. Pengaron atau Pengangaron dalam bahasa Banjar berarti buruh tani atau orang yang berpindah-pindah kerja mencari upah harian.
Bisa jadi, hal itu dipicu kebiasaan warga bertani dengan sistem gilir balik. Berpindah lalu kembali lagi dalam masa waktu tertentu. Sistem ini lazim dilakukan orang Dayak Bukit saat bertani. Memberi alam untuk memulihkan diri sebelum mengolahnya lagi. Cara-cara menghormati alam yang tidak dilakukan banyak tambang di Nusantara ini.
Pola penguasaan dan pengelolaan oleh pihak asing itu memicu ketidakpuasan masyarakat. Banyak orang akhirnya memilih bergabung dengan kelompok Pangeran Antasari. Dia ingin merebut kembali kekuasaan wilayah Kesultanan Banjar agar bisa dikelola untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dalam menjalankan aksinya, Antasari bahkan sempat menutup benteng juga area pertambangan itu pada tahun 1859. Namun, kekuatan Belanda jauh lebih besar dibandingkan Antasari. Ia pun tewas bersama pengikutnya.
Baca juga : Mulut Lubang Tambang Masih Menganga di Hulu Sungai Martapura
Ratusan tahun setelah wafatnya Antasari atau Belanda angkat kaki dari Nusantara, nasib Pengaron kini masih sama. Belitan tambang masih mengeruk tubuhnya.
Setidaknya ada dua perusahaan yang masih aktif bekerja di wilayah itu. Lubang-lubang bekas tambangnya berserakan di hulu Sungai Riam Kanan dan Riam Kawa, kini disebut Sungai Pengaron.
Ironisnya, sungai yang bermuara ke Sungai Martapura itu juga memicu banjir di sejumlah kabupaten/kota.
Kini Kalimantan Selatan, dan Pulau Kalimantan pada umumnya, sudah dikuasai alih fungsi lahan yang masif. Petanya masih serupa dengan tempo dulu. Ada daerah pro yang bertarung dengan daerah tetangga yang kontra. Sama seperti zaman kesultanan dulu.
Salah satu contoh yang kentara adalah suasana Desa Simpang Empat dan Pengaron. Mayoritas warga Simpang Empat bekerja di tambang, sedangkan warga Pengaron mandiri dengan kebunnya.
Dari pengamatan Kompas, banyak kendaraan roda empat, rumah besar, hingga jejeran truk batubara di Simpang Empat. Sementara di Pengaron lebih banyak didominasi rumah kayu sederhana. Keduanya hidup dengan caranya masing-masing.
Akan tetapi, meski salah satu desa terlihat hidup lebih mewah, kekayaan tak menjamin hidup nyaman saat alam murka. Ujungnya, kedua desa terisolasi banjir. Tugas pemerintah untuk melihat secara jernih, mata pencarian apa yang cocok bagi kawasan hulu sungai itu kelak. Salah langkah, banjir besar berpotensi kembali datang kapan saja.
Baca juga : Banjir Kalsel Potret Suram Kerusakan Alam
Kini, mungkin alam sedang menumpahkan kekesalannya dengan banjir. Bisa jadi alam muak dengan tingkah manusia yang seenaknya menggerogoti tubuhnya tanpa henti.