RSD Gunung Jati, Saksi Pertempuran Tiada Henti di Utara Jawa Barat
Sejak berdiri pada 1921, Rumah Sakit Daerah Gunung Jati telah menjadi pusat pelayanan kesehatan masyarakat Cirebon dan sekitarnya melawan berbagai wabah. Kini, ia menjadi bagian dari ikhtiar Cirebon melawan pandemi.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Selama seabad lebih, Rumah Sakit Daerah Gunung Jati menjadi saksi wabah penyakit berkali-kali mencoba menghancurkan masyarakat Cirebon, Jawa Barat, dan sekitarnya. Pernah terpuruk, tetapi juga berhasil bangkit. Kini, ujian kembali datang, yaitu pertempuran melawan pandemi Covid-19.
Halaman parkir RSD Gunung Jati di Jalan Kesambi, Kota Cirebon, menjelma jadi tempat pencanangan vaksinasi Covid-19, Jumat (29/1/2021). Sejumlah pejabat publik dan tenaga kesehatan menerima vaksin buatan Sinovac, China, itu.
Penyuntikan perdana itu berlangsung hangat. Ada tawa meskipun jarum suntik menusuk lengan penerima vaksin. Kepala Badan Narkotika Nasional Kota Cirebon Yaya Satyanagara, misalnya, merintih ”aduh” setelah disuntik.
”Sudah selesai, Pak. Kok bilang aduh sekarang,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto yang berdiri di belakang Yaya.
Awak media yang mengambil gambar sontak tertawa meski masker membalut mulutnya. Yaya dan Edy lalu mengacungkan dua jarinya, berbentuk V.
Kepala Kepolisian Resor Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Imron Ermawan yang biasa berhadapan dengan pelaku kriminal juga tidak luput dari injeksi. ”Aduh”, ucap Imron saat jarum menduri di lengannya.
Akan tetapi, tiada efek samping setelah imunisasi, seperti demam dan sesak. Bahkan, ia langsung melanjutkan tugasnya, termasuk menemui korban teror bom di Cirebon pada 2011 silam.
Seperti suasana hangat pagi itu, kehadiran vaksin Covid-19 juga diharapkan membawa terang di antara lorong gelap pandemi. Hampir setahun terakhir, RSD Gunung Jati bergelut dengan pandemi. Bahkan, virus tak kasatmata itu beberapa kali menutup RS.
Dari hampir 600 tenaga kesehatan atau nakes yang bertugas, sekitar 156 orang pernah terpapar Covid-19. Bahkan, Rohaetin (32), perawat bagian high care unit, gugur beberapa hari setelah melahirkan, awal November 2020 lalu. Tatang Koswara (55) dari bagian anestesi juga berpulang karena Covid-19.
Lapangan parkir RSD yang kini sebagai tempat pencanangan vaksinasi sebelumnya menjelma jadi area shalat jenazah untuk keduanya. Kembang dan tangis rekan sejawat serta keluarga pun berjatuhan di sana.
Hampir setahun terakhir, RSD Gunung Jati bergelut dengan pandemi. Bahkan, virus tak kasatmata itu beberapa kali menutup RS.
Direktur RSD Gunung Jati Ismail Jamaludin mengatakan, pandemi Covid-19 telah mengubah wajah rumah sakit yang beroperasi 31 Agustus 1921 itu. Kamar isolasi yang sebelumnya hanya berisi 7 tempat tidur kini bisa mencapai 96 unit.
Bahkan, tempat tidur itu ditargetkan sebanyak 156 unit pada Maret mendatang. ”Pasien Covid-19 terus bertambah. Saat ini saja ada 78 tempat tidur yang terisi. September lalu, paling terisi 40 tempat tidur,” ungkapnya.
Penambahan ruangan isolasi dan tumbangnya nakes di RSD Gunung Jati menunjukkan Covid-19 sulit dikendalikan. Hingga Jumat (29/1), kasus positif Covid-19 di kota berpenduduk 340.000 orang itu mencapai 2.858 orang.
Sebanyak 117 orang di antaranya meninggal dunia dan 268 lainnya masih menjalani isolasi. Sebanyak 2.473 orang lainnya dinyatakan sembuh. Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis dan Sekretaris Daerah Kota Cirebon Agus Mulyadi termasuk di antara para penyintas Covid-19.
Bahkan, saking gawatnya penularan, Pemkot Cirebon sampai menyewa dua hotel berkapasitas 150 tempat tidur guna mencegah kluster rumah tangga dan mengurangi beban rumah sakit. Kabar baiknya, tidak seperti daerah lain, hotel itu relatif mudah didapat di sana.
Langkah itu dibarengi dengan pemeriksaan usap yang relatif ideal ketimbang daerah lain di Jabar. Kota Cirebon masuk dalam daerah yang telah melewati batas minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait dengan tes usap Covid-19. Sesuai target, pemeriksaannya 1 per 1.000 penduduk per orang setiap minggu.
Dengan jumlah penduduk 340.000 jiwa, pemeriksaan di Kota Cirebon minimal 340 spesimen per pekan. Selama 10 bulan terakhir, Pemkot Cirebon rata-rata memeriksa 565 spesimen per hari.
Vaksinasi terhadap 5.900 tenaga kesehatan yang dicanangkan di RSD Gunung Jati membuka babak baru peperangan terhadap Covid-19. Pemkot menyiapkan 454.569 vial untuk 203.123 warga.
Dengan begitu, penyebaran Covid-19 di kota seluas 37 kilometer persegi itu diharapkan dapat terkendali. Apalagi, upaya mencegah penyakit menular sudah dilakukan sejak seabad lalu.
Dalam laman RSD Gunung Jati, RS itu didirikan untuk merespons wabah penyakit, seperti malaria akibat kotornya kota. Kala itu, Malaria menjadi masalah di hampir semua kota besar di pesisir utara Jawa. Pembangunan awalnya diajukan Dewan Kota pada 1919.
RS itu diresmikan pada 31 Agustus 1921 oleh Wali Kota Cirebon (de Burgemeester van Cheribon) J H Johan. Pembangunannya dinilai sangat mahal, mencapai f.544.00 yang diperoleh dari Gemeente van Cheribon (Pemkot Cirebon). Pabrik gula se-wilayah Cirebon serta para filantropi turut mendanainya.
Kini, RS tersebut menjadi rujukan di Jabar bagian timur meski pabrik gula bangkrut satu per satu. Sebelum 1995, ada delapan pabrik gula di Jabar. Sekarang tersisa dua pabrik yang masih menggiling tebu.
Dulunya, RS ini bernama Gemeemtelijk Ziekenhuis atau dikenal dengan nama Oranje Ziekenhuis. Dr E Gottlieb menjabat kepala rumah sakit pertama. Kapasitasnya, 133 pasien. Sebanyak 16 tempat tidur di antaranya untuk penyakit setengah menular dan 16 unit lainnya khusus penyakit menular.
RSD Gunung Jati, RS itu didirikan untuk merespons wabah penyakit, seperti malaria akibat kotornya kota. Kala itu, Malaria menjadi masalah di hampir semua kota besar di pesisir utara Jawa.
Pada 1929, tidak kurang dari 50.937 pasien berobat ke RSD Gunung Jati. Sebagian besar merupakan warga setempat yang mengidap frambosia, gatal-gatal, koreng, dan malaria. Jumlah pasien terus bertambah karena kepercayaan terhadap sarana kesehatan Belanda itu juga meningkat (Zaenal Masduqi berjudul Cirebon, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial pada 2011).
Kehadiran RSD Gunung Jati turut menandai masuknya masa Cirebon menjadi kawasan perkotaan. Semboyannya per aspera ad astra, yakni dari duri onak dan rawa-rawa menuju bintang. Sebab, pada 1772, 1773, 1805, dan 1806, wabah penyakit menewaskan warga setempat Cirebon. Bahkan, Cirebon dijuluki ”kota pembawa sial”. Airnya bau, sampah dan ikan busuk bertebaran. (Sekelumit Sejarah Cirebon oleh Dr E C Godee Molsbergen yang diterjemahkan Dr Iwan Satibi pada 2009).
Kini, RSD Gunung Jati kembali diuji dengan pandemi Covid-19. Salah satu alat perang menghadapi Covid-19 adalah vaksinasi. Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis pun meminta masyarakat mendukung perjuangan tersebut dengan bersedia divaksin. ”Tenaga kesehatan bisa tersudut kalau warga enggak mau divaksin,” ucapnya.
Akan tetapi, vaksin saja tidak cukup. Protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, juga jadi senjata ampuh. RSD Gunung Jati dan para nakes tentu tidak mampu sendirian mengendalikan Covid-19. Jangan sampai rumah sakit ”oranye” berubah warna jadi ”kuning” yang berarti duka.