Mangrove Hilang dan Sedimentasi Meluas, Ekosistem Teluk Ambon Kian Rusak
Hilangnya hutan mangrove serta sedimentasi yang semakin meningkat kian memperparah kondisi Teluk Ambon, di Kota Ambon, Maluku.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Ekosistem Teluk Ambon yang menjadi kebanggaan warga Kota Ambon, Maluku, kian rusak. Pembabatan mangrove oleh pengusaha untuk dijadikan tempat usaha serta reklamasi pantai oleh pemerintah untuk dijadikan ruang terbuka semakin memperparah kondisi teluk itu. Perlu didorong agar pesisir teluk ditanami kembali mangrove secara masif.
Menurut pantauan Kompas pada Rabu (3/2/2021), sejumlah titik yang sebelumnya tumbuh mangrove sudah berdiri bangunan di atasnya. Itu terlihat di kawasan Lateri, Kecamatan Baguala. Di pesisir itu berjejer sejumlah restoran. Padahal, di tempat tersebut sering terjadi banjir rob pada saat pasang laut maksimum yang disertai gelombang tinggi.
Di Passo, yang juga masuk Kecamatan Baguala, sejumlah bangunan berdiri di atas hutan mangrove. Salah satu bangunan merupakan rumah milik salah satu bupati di Maluku. Padahal, hutan mangrove di tempat itu merupakan percontohan di Ambon. Hilangnya ekosistem mangrove mengancam daerah Passo yang sering dilanda banjir dan rob bersamaan.
Di Poka, Kecamatan Teluk Ambon, kini sedang dikerjakan proyek reklamasi dengan nomenklatur ”pengaman pantai Ambon Water Front City”. Areal reklamasi itu tidak dimulai dengan pemasangan beton pengaman. Material tanah langsung ditumpuk begitu saja sehingga sedimen terbawa ke tengah teluk yang terdapat banyak keramba jaring apung.
Ahli Perekayasa Madya pada Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ambon, Daniel D Pelasula menuturkan, berdasarkan hasil interpretasi citra satelit tahun 1994, luas areal sedimentasi di Teluk Ambon sebesar 102,56 hektar. Kemudian, hasil citra satelit tahun 2007, sedimentasi meluas menjadi 168,13 hektar, dan diperkirakan semakin meluas.
”Hal ini memberikan gambaran bahwa telah terjadi penambahan luasan sedimentasi yang menyebar mulai dari areal pesisir pantai menuju ke perairan yang lebih dalam. Terjadi penambahan 65,57 hektar dalam kurun waktu 13 tahun atau dengan rata-rata penambahan luas sebesar 5,43 hektar setiap tahun. Ini tergolong sangat tinggi,” ujar Daniel.
Sementara itu, hutan mangrove yang pada tahun 1998 seluas 48 hektar kini tersisa kurang dari 33 hektar. Menurut dia, hilangnya ekosistem mangrove membuat perairan Teluk Ambon bagian dalam tidak lagi sehat. Mangrove berfungsi mereduksi racun yang masuk ke perairan akibat pembuangan limbah.
Jefri Slamta, pembudidaya ikan di Teluk Ambon, berharap ekosistem pesisir dapat terjaga demi mendukung usaha budidaya yang memerlukan dukungan kualitas air. Kualitas air yang buruk akan menimbulkan kematian pada ikan secara massal. Sebanyak 30 kelompok budidaya menggantungkan hidup mereka di teluk itu.
Koordinator Moluccas Coastal Care Theria Salhuteru Sitanala mengatakan, pemerintah tidak serius dalam menata Teluk Ambon, malah sebaliknya ikut berkontribusi terhadap kerusakan pesisir lewat izin pembangunan. Pihaknya berulang kali memberikan masukan, tetapi tidak indahkan. Komunitas tersebut giat menanam mangrove di pesisir Teluk Ambon. ”Laju kerusakan lebih cepat ketimbang pemulihan,” ujarnya.
Selain memengaruhi kualitas air, ketiadaan hutan mangrove membuat daerah yang rawan tsunami itu kehilangan benteng penahan. Hutan mangrove secara alamiah dapat meredam gelombang tsunami. Berdasarkan catatan sejarah, gempa diikuti tsunami pernah melanda Ambon pada 17 Februari 1674. Sebanyak 2.300 orang meninggal. Tsunami di Ambon terulang lagi pada 1950.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Ambon Lucia Izaak, lewat sambungan telepon, belum mau diwawancarai terkait kerusakan Teluk Ambon yang kian parah itu. Ia berjanji segera menghubungi Kompas kembali. Namun, hingga berita ini diturunkan, tak ada kabar dari Lucia.