Tidak Konsisten, Permintaan Beras Organik dari Magelang Tak Terpenuhi
Petani di Kabupaten Magelang belum konsisten menjalankan pertanian organik. Perilaku mereka ini akhirnya membuat Kabupaten Magelang kesulitan memenuhi permintaan dari dalam dan luar negeri.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Produksi beras organik Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, masih kesulitan memenuhi permintaan dari dalam maupun luar negeri. Perilaku petani yang kurang konsisten menjalankan pertanian organik menjadi kendala utama, hingga volume produksi sulit memenuhi permintaan.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang Ade Sri Kuncoro mengatakan, petani padi organik di Kabupaten Magelang masih sulit untuk konsisten karena sering kali tergiur dengan komoditas jenis lain yang harganya sedang meroket.
”Petani masih kerap tergoda dengan pilihan komoditas lain yang harganya tengah melonjak. Contohnya, saat baru saja bertani padi organik, mereka bisa tiba-tiba beralih menanam cabai,” ujar Ade, Senin (1/2/2021). Cabai kerap kali menjadi alternatif petani karena harganya kerap melambung, bahkan pernah Rp 80.000-Rp 100.000 per kilogram (kg).
Berdasarkan data tahun 2020, luasan areal pertanian padi organik di Kabupaten Magelang mencapai 837 hektar, dengan produksi 8.593 ton gabah kering giling (GKG) per tahun. Sementara total permintaan beras organik dari dalam negeri saja, bisa lebih dari 10.000 ton GKG per tahun. Tanaman padi organik di Kabupaten Magelang menghasilkan beras merah, beras hitam, serta beras putih jenis mentik wangi.
Perilaku petani yang tidak konsisten ini menyebabkan luasan areal padi organik di Kabupaten Magelang fluktuatif. Dalam lima tahun terakhir saja, areal pertanian organik pernah mencapai luasan hingga 1.000 hektar, tetapi kini hanya tinggal 837 hektar.
Kondisi tersebut juga menyebabkan data kelompok petani dan sebaran pertanian organik terus berubah. Di Kecamatan Kaliangkrik misalnya, sebelumnya, sempat terdata sebagai kecamatan dengan lokasi pertanian organik. Namun, data pun berubah karena gabungan kelompok tani di sana tidak lagi melanjutkan aktivitas tersebut.
Karena perilaku petani yang kurang konsisten, volume beras yang dikirim pada tahun ini diperkirakan susut separuh menjadi 20 ton per bulan.
Ade mengatakan, sejak 2013, beras merah organik dari Kabupaten Magelang sebenarnya sudah menembus pasar ekspor. Melalui pihak ketiga di Kabupaten Tegal, setiap bulan, 40 ton beras merah dari Kecamatan Sawangan sudah rutin dikirim untuk memenuhi permintaan pembeli di Australia. Namun, karena perilaku petani yang kurang konsisten, volume beras yang dikirim pada tahun ini diperkirakan susut separuh menjadi 20 ton per bulan.
”Kelompok tani pemasok mengaku kesulitan memenuhi permintaan karena jumlah petani yang mau terus bertani secara organik juga cenderung berkurang,” ujarnya.
Kabupaten Magelang saat ini menjadi salah satu dari 14 kabupaten yang ditunjuk Kementerian Pertanian untuk menjalankan program Upland selama 2020-2024. Upland adalah proyek yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani, terutama pada pertanian organik. Dengan memakai dana hibah dari Bank Dunia sebesar Rp 21,6 miliar, program Upland di Kabupaten Magelang dijadwalkan mulai dijalankan tahun ini, dengan jadwal kegiatan yang akan dilakukan di tahap awal adalah pembenahan infrastruktur.
Salah satu kegiatan yang akan dilakukan dalam program ini adalah pelatihan pembenahan kualitas sumber daya manusia (SDM) petani, di mana salah satu kegiatan bertujuan memperbaiki perilaku petani agar nantinya mau terus konsisten menjalankan pertanian organik.
Andono, Ketua Gabungan Tani Organik Sawangan (Gatos) di Kecamatan Sawangan, mengatakan, jumlah anggota Gatos terdata 2.000 orang dan luas areal pertanian organik seluas 600 hektar. Untuk menjaga konsistensi para anggota, diakuinya tidak mudah.
”Sekitar 10 persen atau 200 anggota saat ini pernah beralih kembali ke sistem pertanian menggunakan bahan kimia,” ujarnya.
Ketika satu kali ketahuan menggunakan pupuk kimia, petani tersebut tetap diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan mengembalikan kondisi lahan selama sekitar satu tahun. Namun, jika sudah ketahuan lebih dari satu kali, anggota tersebut akan ditanya lebih lanjut apakah masih mau bergabung dengan Gatos dengan konsekuensi bertani organik.
Di antara mereka, lanjut Andono, sebagian memang ada yang mengaku ingin tetap bertani organik. Namun, beberapa orang ada yang enggan dan memilih kembali ke sistem pertanian konvensional dengan pupuk kimia.