Peniadaan Libur Imlek dan Cuti Bersama Idul Fitri Dikaji
Lonjakan kasus infeksi virus korona selalu terjadi pascalibur panjang. Untuk itu, pemerintah mengkaji peniadaan libur saat Imlek dan cuti bersama saat Idul Fitri pada Mei mendatang. Hal ini untuk mendisiplinkan warga.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mengkaji peniadaan libur saat perayaan Imlek dan cuti bersama Idul Fitri. Sebab, lonjakan kasus infeksi virus korona selalu terjadi setelah pelaksanaan libur panjang.
Sebagaimana diketahui, Imlek akan jatuh pada Jumat (12/2/2021). Perayaan hari raya Imlek ini bakal diikuti libur akhir pekan, yakni 13-14 Februari 2021.
Selain itu, libur Idul Fitri rencananya mulai 13-14 Mei 2021. Libur ini akan diikuti cuti bersama Idul Fitri, yakni 12 Mei dan 17-19 Mei 2021.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal saat dihubungi di Jakarta, Selasa (2/2/2021), mengatakan, secara khusus libur Imlek pada 12 Februari nanti pemerintah sedang mengkajinya, apakah ditiadakan atau tidak.
Baca juga: PPKM Jawa-Bali, Polri Akan Tingkatkan Pengawasan
”Jika kasus belum juga melandai, maka libur akan ditinjau. Akan dipertimbangkan pada 7 Februari untuk opsinya,” ujarnya.
Jika kasus belum juga melandai, maka libur akan ditinjau. Akan dipertimbangkan pada 7 Februari untuk opsinya.
Namun, untuk libur panjang selama perayaan Idul Fitri, Safrizal juga menuturkan bahwa pemerintah tengah mengkajinya. Penghapusan libur biasanya di hari cuti bersama.
”Liburnya biasanya tetap, hanya tambahan cuti bersama yang dihapuskan. Namun akan berbasis pada evaluasi,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan, pelaksanaan libur panjang Imlek dan Idul Fitri ini harus dikaji serius agar kasus Covid-19 tak terus melonjak.
”Kami mengimbau kepada pemerintah untuk mewaspadai atau merencanakan ulang mengenai usulan atau rencana libur panjang yang direncanakan oleh pemerintah. Karena setiap libur panjang itu pasti akan terjadi lonjakan Covid-19,” ujar Dasco.
Berdasarkan data pada situs Worldometers, Selasa pukul 16.00, tercatat ada 175.349 kasus aktif Covid-19 di Tanah Air. Angka ini merupakan jumlah kasus aktif tertinggi di Asia.
Tidak efektif
Dasco juga mengatakan, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali tidak berjalan efektif. Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah perlu memformulasikan ulang kebijakan untuk mengatasi lonjakan kasus.
”Saya mengimbau kepada pemerintah bahwa harus mendeteksi dini hal-hal yang bisa membuat lonjakan Covid-19 tinggi,” ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher, juga meminta pemerintah agar mencari terobosan inovatif guna menekan angka kasus Covid-19. Sebab, di tengah pelaksanaan PPKM di Jawa dan Bali, ia melihat mobilitas masyarakat masih tinggi sehingga di beberapa provinsi kasus positif Covid-19 tetap naik.
Kerumunan massa masih muncul di perkantoran, pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan. Kerumunan juga masih ada di pasar tradisional, rumah makan, atau lokasi pengurusan surat izin mengemudi (SIM)/surat tanda nomor kendaraan (STNK).
”Untuk apa kewenangan kebijakan dan dukungan anggaran yang luar biasa besar jika tidak ada perubahan kondisi yang terukur. Kewenangan eksekusi harus digunakan dengan benar dan sungguh-sungguh,” tutur Netty.
Untuk apa kewenangan kebijakan dan dukungan anggaran yang luar biasa besar jika tidak ada perubahan kondisi yang terukur. Kewenangan eksekusi harus digunakan dengan benar dan sungguh-sungguh.
Salah satu terobosan yang disarankan Netty adalah melakukan karantina wilayah secara penuh serta fokus pada pembenahan sistem kesehatan. ”Kebijakan setengah hati antara penguatan sistem kesehatan dan pemulihan ekonomi telah membawa kita pada situasi sulit di mana pandemi tidak terkendali dan pemulihan ekonomi pun tidak terjadi,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (31/1/2021), menyampaikan, pelaksanaan PPKM belum mampu menekan laju penularan Covid-19. Sebab, implementasi kebijakan tersebut belum dilaksanakan secara konsisten.
Bisa diperpanjang terus
Lebih jauh, Safrizal menyampaikan, dari hasil evaluasi penerapan PPKM tahap pertama, 11-25 Januari 2021, masih ada kenaikan dari kasus konfirmasi positif. Artinya, dari sisi epidemiologi, dua minggu itu belum cukup menekan laju kasus Covid-19.
Atas dasar itu, lanjut Safrizal, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPKM di Jawa dan Bali. PPKM diperpanjang selama 14 hari, mulai 26 Januari hingga 8 Februari 2021.
”Jadi untuk menekan positive rate masih dibutuhkan perpanjangan PPKM dengan penegakan disiplin protokol kesehatan. Harapannya dalam dua minggu ini kelihatan lajunya itu bisa ditahan. Kalaupun belum diturunkan, minimal dilandaikan,” ujar Safrizal.
Menurut Safrizal, alasan PPKM tidak efektif bukan dari komitmen kepala daerah. Sebab, kepala daerah telah menindaklanjuti instruksi Mendagri dengan menerbitkan surat edaran kepala daerah. Kepala daerah juga rutin melakukan evaluasi bersama Kemendagri.
Ia berpandangan, salah satu faktor alasan PPKM tidak efektif ialah penurunan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Ia menduga, penurunan kepatuhan ini terjadi akibat pandemi Covid-19 yang telah melanda Indonesia hampir setahun.
Memang harus pengetatan yang luar biasa. Tetapi kita lihat dalam dua minggu ini. Kalau dalam dua minggu kedua ini masih juga belum berhasil menurunkan angka kasus secara signifikan, maka akan dievaluasi kembali. Kalau perlu diperpanjang lagi yang ketiga, keempat, bisa jadi, kan. Tiap tahapan itu harus ada pemberatan-pemberatan, tindakan-tindakan tambahan.
”Memang adanya di masyarakat. Sudah hampir setahun, ada kejenuhan. Kemudian, ekonomi makin berat, harus keluar cari makan. Jadi, ada faktor-faktor itu,” ujar Safrizal.
Baca juga: Kinerja Lalu Lintas Turun di Hari Pertama Pengetatan Pembatasan
Namun, atas alasan apa pun, penegakan protokol kesehatan harus lebih digiatkan kembali. Kepala daerah dan aparat penegak hukum diinstruksikan agar menerapkan sanksi tegas kepada para pelanggar protokol kesehatan.
”Misalnya, jika melanggar jam operasional tempat publik, maka tempatnya didenda atau ditutup,” tutur Safrizal.
Ia menambahkan, jika PPKM tahap kedua ini masih tidak efektif menekan laju kasus, maka pemerintah akan terus memperpanjangnya. Setiap perpanjangan PPKM akan dikaji terkait dibutuhkan atau tidaknya sanksi pemberatan bagi para pelanggar protokol kesehatan.
”Memang harus pengetatan yang luar biasa. Tetapi kita lihat dalam dua minggu ini. Kalau dalam dua minggu kedua ini masih juga belum berhasil menurunkan angka kasus secara signifikan, maka akan dievaluasi kembali. Kalau perlu diperpanjang lagi yang ketiga, keempat, bisa jadi, kan. Tiap tahapan itu harus ada pemberatan-pemberatan, tindakan-tindakan tambahan,” katanya.