Hidup di jalan menyimpan suka-duka. Di sana ada penghidupan, tetapi tak menjamin kesehatan akan terjaga. Kisah gelandangan di Surabaya, Jawa Timur, ini menyiratkan kepedihan selama di jalanan.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
Sambil tertatih-tatih, Sucipto (55) berusaha berjalan sendiri menuju ruangan tempat pertemuan di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos), Keputih, Kota Surabaya, Jumat (22/1/2021).
Tidak mudah bagi penderita stroke ini untuk sekadar menggerakkan kaki, apalagi melintasi genangan air yang muncul saat hujan deras mengguyur kompleks panti sosial yang dikelola Pemkot Surabaya ini.
”Kalau sudah sembuh nanti, saya mau kerja serabutan lagi, terutama angkat barang belanjaan di pasar, sama seperti sebelum saya diangkut ke sini. Yang penting, ada uang untuk beli makan. Soal tempat tinggal gampang,” begitu kata Sucipto, gelandangan yang ditemukan petugas di emperan salah satu rumah di sekitar Jalan Ngagel dalam kondisi stroke parah, Juli 2020. Hingga kini, Sucipto masih menjalani terapi penyembuhan stroke.
Pria kurus ini menjadi satu dari 33 pria penghuni Liponsos Keputih Surabaya. Sepanjang usia, dia berjibaku menjalani hidup sendirian di kota kelahirannya dengan mengerjakan apa saja. Keluarganya tinggal di sekitar Krukah Utara, Surabaya.
”Saya makan dari hasil angkat barang di pasar, pelabuhan, dan di mana saja. Lantas malamnya saya tidur di emperan ruko, rumah, atau gedung karena tidak memiliki tempat tinggal,” ujarnya.
Hidup di jalan, diakui Sucipto, tidak membuatnya putus harapan untuk menyambung hidup dari hari ke hari. ”Kalau mau capek, pasti rezeki datang,” kata Sucipto, yang berbicara pun masih terbata-bata.
Rezeki yang dimaksud Sucipto adalah pemberian uang, makanan, atau barang dari orang yang lewat. Kadang ada juga orang yang tiba-tiba meminta bantuannya mengangkat barang.
Sejumlah penghuni Liponsos Keputih adalah perempuan. Salah satunya Siti Aminah (55) yang mengaku berasal dari Arsikaton, Kecamatan Pakis, Malang.
Siti, mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kuala Lumpur, Malaysia (2005-2006), ini sebelumnya menggelandang dan tinggal di salah satu masjid di daerah Kalisari.
”Saya ke Surabaya niatnya mau cari kerja, tetapi enggak ada yang mau mempekerjakan saya. Karena itu, saya tinggal di masjid dan ketika ditemukan petugas, saya dalam kondisi lemah karena perut sangat sakit. Selama berada di sini (liponsos) sambil berobat, saya juga ikut pelatihan menjahit untuk bekal kelak kalau sudah sembuh,” ujar perempuan yang pernah juga bekerja di usaha konveksi itu.
Selama menggelandang, Siti tidak punya akses ke fasilitas kesehatan. Di kantongnya, tidak terselip uang berlebih untuk ke dokter. Dokumen kependukan untuk mengakses jaminan kesehatan dari pemerintah juga Siti tidak punya. Ia tak punya pilihan selain menahan rasa sakit hingga tubuhnya menjadi lunglai.
Siti tetap ingin kembali ke rumahnya di Pakis, Malang. Hidup di jalanan, tanpa jelas tempat tinggal, pun tak ber-KTP dirasanya sangat tidak enak. ”Kalau sekadar makan dan tidur tidak sulit. Cuma orang langsung mengusir ketika saya sakit. Saya beberapa kali pingsan saking tidak kuat menahan sakit. Dalam kondisi tak berdaya, saya dibiarkan beberapa hari tanpa ada yang urus. Tiba-tiba, saya sudah berada di Liponsos ini,” ujarnya.
Siti ditemukan petugas setelah ada informasi dari masyarakat ke Command Center 112. Petugas Satpol PP setempat juga rutin menggelar razia. Gelandangan yang ditemukan di jalan dibawa ke panti sosial seperti Liponsos.
Kisah lain diceritakan Rini Suciasmara (36) yang sempat menggelandang bersama dua anaknya, yakni Brilian (13) dan Amira (12). Warga Tulungagung, Jawa Timur, ini menjadi penghuni Liponsos setelah dengan sengaja ditelantarkan oleh majikannya di kawasan Demak, Surabaya.
Rini tengah sakit parah ketika dibawa ke Liponsos. Badannya lemah. Entah sudah berapa hari ibu dua anak ini menderita di emperan toko sebelum diangkut petugas ke Liponsos.
”Saya ingat betul, majikan yang membuang ke jalan karena saya sakit dan punya dua anak pula,” kata Rini yang sampai hari ini masih menjalani pengobatan.
Satu hal yang tebersit di benaknya adalah kembali ke kampung halaman di Tulungagung kelak setelah sembuh. Masalahnya, Rini sama sekali tak memiliki dokumen kependudukan sehingga Pemkot Surabaya tengah menelusuri asal muasal dan catatan kependudukan ibu serta dua anak ini.
”Berat dan bahaya sekali kalau tak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal di sini. Maka jika sembuh, saya tetap mau balik ke kampung,” ujar Rini.
Saat ini, dua anak Rini menjadi penghuni panti asuhan agar bisa sekolah. Sementara di Liponsos, Rini juga mengikuti berbagai pelatihan sesuai minat dan yang disediakan oleh Dinas Sosial Kota Surabaya.