Saat Manado Kebanjiran Lagi, Lagi, dan Lagi...
Banjir di Manado adalah buah pahit pola pembangunan yang semerawut sejak setidaknya dua dekade lalu. Meski ada peraturan daerah soal RTRW di tingkat provinsi maupun kota, nyatanya lingkungan tidak jadi pertimbangan.
Hujan deras yang berujung banjir besar sudah lewat tepat tujuh hari di Manado, Sulawesi Utara. Namun, dampaknya di rumah Margaretha Tumanduk-Koloay (71), di Lingkungan II Kelurahan Karombasan Selatan, baru mulai mengering. Halamnnya kini semerbak pengharum, menguar dari ratusan lembar pakaian yang sedang dijemur di tiang jemuran dan tali ala kadarnya.
“Baju-baju baru tuntas dicuci semua setelah seminggu pas habis banjir. Tinggi air waktu itu sampai betis, mungkin 50-60 sentimeter, jadi banyak baju terendam banjir dan kena lumpur,” kata Margaretha, saat ditemui, Kamis (28/1/2021).
Situasi di dalam rumah Margaretha pun masih seperti kapal pecah. Segala macam barang, dari buku hingga hiasan, berserakan di ruang tamu. Namun, di antara semua barang itu, yang paling berharga adalah surat-surat.
“Yang saya cari pertama adalah IMB (izin mendirikan bangunan) dan sertifikat tanah rumah,” kata dia. Sementara itu, ijazah, akta kelahiran, surat nikah, dan berlembar-lembar salinanya ia keringkan dengan kipas angin di ruang tamu.
Margaretha, yang tinggal di sana sejak 1976, mengatakan ini adalah kali pertama banjir masuk ke dalam rumah. Imbas banjir bandang besar pada 15 Januari 2014 saja tidak separah yang dirasakannya pada Jumat (22/1) lalu. Tujuh tahun silam, air hanya singgah sampai halaman rumahnya meski sebagian besar kota Manado luluh lantak.
Namun, dua tahun terakhir, ia mengamati, air mulai sering meluber dari selokan selepas hujan deras. Puncaknya adalah Jumat sore pekan lalu, ketika dinding selokan besar dekat rumahnya runtuh diterjang arus banjir. Beberapa rumah yang berdiri di sempadan selokan juga terdampak.
Menurut Margaretha, Lingkungan II Karombasan Selatan memang makin padat penduduk. Makin banyak pula rumah yang didirikan di atas sempadan selokan. “Akibatnya, area aliran air makin sempit. Jadi, kalau hujan deras, air cepat naik dan meluap,” kata dia.
Willy M (42), tetangga Margaretha, punya pendapat yang sama. Penyebab lainnya adalah berkurangnya area serapan air dari perbukitan di sisi tenggara kota. Sejak awal tahun 2000-an, perbukitan itu telah dialihfungsikan menjadi area real estat dan dipotong untuk membuka jalan bagi pembangunan jalan.
“Aliran sungai dari sana mengarah ke Karombasan Selatan juga. Logikanya, kalau area tangkapan sudah gundul, air pasti langsung melimpah ke sini bersama lumpur dan tanah,” kata dosen ilmu kelautan di salah satu universitas di Papua Barat itu.
Di Kelurahan Sario Kotabaru, yang lebih dekat dengan hilir Sungai Tondano, Jemmy Karisow (60) terpaksa mengungsi di gedung Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Getsemani. Tiga hari setelah banjir Jumat lalu, permukiman padat Kampung Paso belum benar-benar kering. Meski sudah dibersihkan, rumahnya masih lembab dan bau.
Baca juga: Warga Keluhkan Pemkot Manado Tidak Tanggap Bencana
Yang tersisa pada Jemmy hanyalah baju yang menempel di badan, sedangkan barang-barang lainnya tak terselamatkan karena sudah dilumat lumpur. KTP-nya bahkan hilang entah di mana. Ia kini bertahan dengan pasokan makanan dari posko bencana dan baju-baju dari sumbangan warga. “Masalahnya, tidak ada celana dalam,” kata Jemmy, sambil tertawa miris.
Banjir pada Jumat lalu terjadi setelah hujan turun sekitar 6 jam. Namun, kata Jemmy, air naik hanya dalam hitungan menit. Ia telah tinggal di Sario Kotabaru sejak masih kelas 3 SD, dan Jumat lalu ia sebut sebagai banjir terburuk setelah banjir bandang 2014.
“Banyak warga yang bangun dapur mereka di atas sempadan, jadi sungai makin sempit. Selain itu, tambah banyak perumahan di Winangun dan Koka (tenggara Manado) sejak 2003. Tidak ada lagi hutan dan kebun yang dulu menyerap air hujan,” kata dia.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pembangunan Daerah (Bapelitbangda) Manado Liny Tambajong mengatakan, data menunjukkan ada 5.379 bangunan di Manado yang melanggar garis sempadan sungai. Berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air di Manado juga menjadi penyebab banjir.
Namun, Liny mengaku tidak memiliki data terkait RTH maupun daerah resapan. “Jika ingin mengetahui secara rinci, termasuk RTRW (rencana tata ruang dan wilayah) Manado, bisa ke Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” kata dia.
Tapi, sampai hari ini tidak ada bantuan dari pemkot. Malah yang kasih bantuan anak-anak mahasiswa dan pemuda.
Lain cerita di Lingkungan II Kelurahan Taas. Hujan deras pada Jumat lalu membawa longsor yang menimpa 13 rumah. Akibatnya, 72 keluarga harus mengungsi. Gerzon Alvin Tumbel (59), kepala Lingkungan II di kelurahan itu, senewen karena setelah seminggu, belum ada bantuan yang datang dari Pemkot Manado.
“Bantuan harusnya diberikan dalam hitungan hari setelah bencana. Tapi, sampai hari ini tidak ada bantuan dari pemkot. Malah yang kasih bantuan anak-anak mahasiswa dan pemuda,” kata Gerzon.
Menurut dia, warga terpapar risiko longsor yang besar. Permukiman mereka terletak di antara bukit-bukit yang dipotong untuk membuat Jalan Lingkar Luar Manado pada awal 2000-an. Gerzon mengakui, banyak warga yang tak memiliki sertifikat tanah maupun IMB. Sebagian rumah di area perbukitan itu adalah rumah semipermanen.
Gerzon sendiri tinggal di Perumahan Korpri Manado. Perumahan itu terletak di seberang bukit tandus tanpa sebatang pun pohon. Hujan deras pekan lalu pun membawa pula longsoran tanah yang menjadi lumpur hingga masuk ke rumah-rumah warga.
Semerawut
Bagi Theo Runtuwene, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulut, banjir di Manado adalah buah pahit dari pola pembangunan yang semerawut sejak setidaknya dua dekade lalu. Meski ada peraturan daerah soal RTRW di tingkat provinsi maupun kota, nyatanya lingkungan tidak jadi pertimbangan dalam menentukan laju pembangunan hingga kini.
“Pola pembangunan dan penerapan RTRW asal-asalan. Memang, curah hujan yang lebat dan banjir rob di hilir memengaruhi, tetapi tidak akan seperti itu kalau daya tampung dan daya dukung lingkungan masih memadai,” kata Theo.
Untuk menyelesaikannya, kata Theo, diperlukan kerja sama antara Pemkot Manado dengan Pemkab Minahasa, Minahasa Utara, dan Pemkot Tomohon sebagai daerah hulu. Diperlukan suatu aturan yang mengikat pemerintah daerah terkait untuk memulihkan daerah resapan dengan penanaman kembali.
“Semua dimungkinkan, tergantung pemerintah menyiapkan lahan atau tidak. Pemerintah harus cari titik-titik kristis, daerah resapan mana yang harus diperbarui. Kalau tidak, kita akan menemui bencana yang lebih parah dari 2014. Bantuan seperti mi instan, beras, tenda, dan sebagainya tidak akan menyelesaikan masalah banjir,” kata Theo.
Anggota Komisi C DPRD Kota Manado Mona Kloer mengkritik lambannya kerja pemkot dalam menyiapkan perda RTRW yang baru. Pemkot dan DPRD telah sepakat untuk merevisi Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kota Manado tahun 2014-2034 dan memasukkannya dalam program legislasi daerah.
“Sampai sekarang masih digodok oleh pemkot sejak 2019. Saya tidak tahu apa kendalanya. Seandainya lebih cepat, seharusnya perda itu sudah bisa diterapkan,” ujar Mona.
Baca juga: Kali Kedua dalam Sepekan, Manado Banjir Lagi
Namun, ia tidak menjelaskan perubahan apa yang akan dibawa dalam perda tersebut. Perda yang ada saat ini telah mengatur dengan detail mana saja kawasan perlindungan bagi daerah di bawahnya, kawasan perlindungan setempat, hingga luas RTH kota. Beberapa kecamatan berbukit yang kini menjadi perumahan dan jalan termasuk dalam beberapa kategori tersebut.
Wali Kota Manado Vicky Lumentut telah menjanjikan pengetatan aturan RTRW di Manado sejak banjir dan longsor pertama pada 2021 melanda Manado pada Sabtu (16/1). Menurut dia, masih banyak warga yang tinggal di daerah rawan longsor dan tidak memiliki sertifikat tanah maupun IMB.
Relokasi sudah pernah diprogramkan dengan memindahkan warga ke 2.054 rumah di kompleks relokasi di Kelurahan Pandu. Rumah-rumah ini dikhususkan bagi warga yang tinggal di sempadan sungai. “Tapi, warga selalu kembali lagi karena permukiman yang baru jauh dari tempat kerja mereka,” kata dia.
Kedatangan Menteri Sosial Tri Rismaharini ke Manado, Senin (18/1), seolah membuka harapan bagi Manado. Diskusinya dengan Vicky berujung kesimpulan Manado butuh pintu air, pompa, dan rumah susun untuk relokasi warga di wilayah rawan longsor dan banjir. Itu akan disampaikan kepada Kementerian PUPR.
Menurut Vicky, pemkot tidak bisa membangun rumah susun itu dengan APBD karena biayanya mahal. Pemkot akan berupaya menyediakan lahan. Sementara itu, Manado kembali kebanjiran untuk ketiga kalinya dalam tiga pekan, Jumat (29/1) malam setelah hujan lebat turun sekitar satu jam. Lagi, lagi, dan lagi...