Menjemput Sejahtera di Kampung Topeng ”Desaku Menanti”
Asa baru dibangun di Kampung Topeng Desaku Menanti di Malang, Jawa Timur, sejak lima tahun lalu. Melalui kampung wisata bertema topeng, mereka beralih dari hidup di jalanan menjadi pelaku wisata.
Mendung mewarnai kaki Bukit Buring di sisi tenggara Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (24/1/2021) siang. Beberapa anak asyik bermain. Mereka berlarian menyusuri jalan konblok yang kontur tanahnya menanjak di pinggir ”Kampung Topeng Desaku Menanti”.
Sementara beberapa orang dewasa duduk-duduk di depan rumah. Sesekali, warga luar kampung, melintas dengan sepeda motor menuju dusun-dusun lain di sekitarnya.
Seperti nama Kampung Topeng Desaku Menanti, ratusan topeng berbagai ukuran menghiasi kawasan yang masuk wilayah Dusun Baran, Kelurahan Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, itu. Dua di antaranya bergambar pasangan tokoh Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Ukurannya pun tergolong besar, yakni 7,5 meter x 5 meter.
Sebagian topeng tampak lusuh akibat diterpa cuaca, seakan hendak menunjukkan waktu yang telah mereka lewati. Seni kriya berbahan resin ini sebagian besar merupakan karya warga setempat. Di kampung itu, topeng-topeng berpadu dengan 40 rumah di situ. Rumah-rumah berukuran sekitar 6 meter x 4 meter dengan beragam warna itu cukup kontras dengan suasana lingkungan di sekitarnya yang didominasi pepohonan dan lahan pertanian.
Kampung seluas setengah hektar di lahan milik pemerintah Kota Malang itu terbentuk dari hasil sinergi antara Kementerian Sosial dan Pemerintah Kota Malang. Kemensos memiliki program ”Desaku Menanti” untuk penanganan gelandangan dan pengemis di perkotaan. Program ini mengedepankan keterpaduan dalam rehabilitasi sosial berbasis desa.
Pemilihan kampung menjadi tempat wisata bukan tanpa alasan. Pemerintah daerah bermaksud mengubah pola pikir penghuninya. Dengan melihat wisatawan dan potensi pendapatan dari aktivitas wisata, warga yang semula terbiasa hidup di jalanan, kolong-kolong jembatan, dan petak-petak di dekat rel kereta, akan berusaha mandiri.
Adapun topeng dipilih sebagai tema karena merupakan kesenian khas Malang. Seni wayang topeng atau tari topeng malangan masih eksis hingga sekarang.
Baca juga: Gelandangan Harap-harap Cemas Pulang atau Masuk Panti
Penambahan fasilitas, termasuk hasil partisipasi dari pihak lain baik badan usaha milik negara maupun swasta, seperti wahana flying fox, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan. Selain suasana di dalam Kampung Topeng sendiri yang layak Istragram (instagramable).
Pembina Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Insan Sejahtera—yang mendampingi Kampung Topeng Desaku Menanti—Sri Wahyuningtyas, mengatakan, warga Kampung Topeng dibekali keterampilan. Topeng-topeng yang dipajang di kampung ini merupakan hasil dari keterampilan yang diberikan kepada para pria. Adapun perempuan di kampung ini mendapatkan pelatihan keterampilan membuat camilan.
Barang-barang itu menjadi suvenir yang bisa dijual kepada wisatawan. Begitu pula dengan makanan kecil, bisa ditawarkan kepada wisatawan yang berkunjung. ”Hasilnya lumayan. Bahkan, dari jualan mereka bisa menabung dan memanfaatkannya saat hari raya tiba,” kata Sri Wahyuningtyas yang biasa disapa Yuyun.
Dengan bekal kampung yang cantik dan tawaran aneka camilan, warga Kampung Topeng Desaku Menanti bersiap menyongsong wisatawan.
Terganjal pandemi
Sayangnya, sejak pandemi Covid-19 mendera, jumlah wisatawan yang berkunjung ke kampung wisata itu menurun. Minggu (24/1/2021) siang itu, misalnya, hanya satu-dua orang yang datang. Itu pun mereka hanya berhenti sejenak, swafoto, lantas pergi.
Sebelum pandemi, jumlah wisatawan yang datang ke kampung topeng bisa mencapai puluhan orang dalam sehari. Jumlah mereka berlipat ganda saat akhir pekan tiba.
Ade (40), warga Kampung Topeng, salah satu yang terdampak sepinya aktivitas ekonomi. Biasanya, dapurnya mengebul dari transaksi ayam bangkok dari orang yang berkunjung maupun pesanan secara daring.
”Sejak pandemi, jarang wisatawan datang,” kata Ade. Bersama istri dan anaknya, Ade tinggal di tempat itu sejak lima tahun lalu.
Sepinya pemasukan dari berjualan ayam hidup ini memaksa pria asli Yogyakarta yang telah belasan tahun di Malang itu, sesekali kembali ke jalan untuk mengamen.
Baca juga: Pemulung antara Berkah dan Stigma
Jarak dari dan ke Kampung Topeng yang cukup jauh menjadi kendala mobilitas warga yang hendak mencari pendapatan di luar kampung ini. Untuk mencapai Kota Malang, misalnya, jaraknya sekitar 11 kilometer. Akses angkutan umum pun belum tersedia sehingga menyulitkan warga yang belum memiliki kendaraan.
Untuk berjualan di tempat lain juga sulit lantaran ada pembatasan aktivitas. ”Situasi ini membuat satu-dua dari mereka terkadang kembali ke jalan. Lebih karena situasi,” kata Yuyun lagi.
Menurut Yuyun—yang juga mantan Kepala Dinas Sosial Kota Malang—pemasaran menjadi salah satu kendala. Mereka butuh pendampingan dan sinergitas dari semua lini, termasuk pemerintah daerah untuk bisa membantu memasarkan produk warga.
Untuk kembali merangsang animo wisatawan berkunjung ke kampung ini, LKS Insan Sejahtera yang didirikan oleh Yuyun berusaha menggandeng komunitas pelaku wisata. Ke depan, pelatihan-pelatihan juga akan digelar, salah satunya membuat topeng dari coklat.
Ubah pola pikir
Kampung Topeng berdiri sejak November 2016. Total dibangun 40 rumah dari program Desaku Menanti Kementerian Sosial. Gelandangan, pengemis, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) mulai menempati tempat tersebut. Seiring dengan itu, pembinaan-pembinaan terhadap PMKS terus berjalan.
Awalnya, gerak warga terbatas lantaran belum ada arah yang jelas untuk membangun kemandirian ekonomi warga. Hingga akhirnya tebersit gagasan dari Dinas Sosial Kota Malang menjadikannya kampung tematik agar bisa menyerap wisatawan. Dengan begitu, diharapkan pola pikir PMKS di kampung tersebut bisa berubah.
”Ternyata analogi saya benar. Ketika ada orang datang, 10-20 orang per hari, muncul keinginan dari penghuni kampung topeng untuk bisa jualan, melayani wistawan. Namun, mereka butuh modal. Hingga akhirnya ada 22 keluarga yang berjualan. Mereka bisa menabung Rp 1.000-Rp 2.000 per hari. Tabungan diambil saat Lebaran tiba. Jadi, pola pikir mereka berubah,” kata Yuyun.
Yuyun mengatakan, jumlah penghuni Kampung Topeng kini tinggal 35 keluarga dari sebelumnya 40. Sisanya meninggal dan ada masalah lain.
Dari 35 keluarga, 25 di antaranya bekerja di pabrik. Beberapa laki-laki bekerja di sektor bangunan. Sepuluh perempuan mencari nafkah di pabrik rokok yang baru berdiri setahun terakhir di lokasi itu. Dalam sehari, perempuan pekerja ini bisa mendapatkan Rp 70.000 dari upaya melinting lebih dari 2.000 batang rokok.
”Dua orang di antaranya sukses usahanya, bisa mengangsur sepeda motor dari modal yang diberikan saat masuk. Saat masuk, mereka memperoleh modal dari Kementerian Sosial,” ujar Yuyun.
Selain deretan rumah warga, ada satu bangunan yang berfungsi untuk kantor pendamping, satu untuk gedung pendidikan anak usia dini (PAUD), dan satu lagi untuk belajar bersama anak-anak.
Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kota Malang Peni Indriani mengatakan, sejauh ini warga Kampung Topeng belum sepenuhnya mandiri. Pemerintah Kota Malang masih melakukan pendampingan. ”Ke depan, harapannya mereka bisa mandiri. Wisata bisa dikembangkan di sana,” tuturnya.
Masalah sosial memang masih menjadi salah satu masalah yang dihadapi Kota Malang sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Kota Malang untuk kategori gelandangan dan gelandangan psikotik tahun 2019 sebanyak 35 orang dan anak jalanan 84 orang. Dibandingkan tahun 2016, angka ini cenderung bertambah. Jumlah gelandangan saat itu hanya 10 orang dan anak jalanan 104 orang.