Mengubah Paradigma Harus Jadi Fokus Utama Penanganan Gelandangan
Kabupaten Jember menjadi salah satu penyumbang terbanyak gelandangan di Jawa Timur. Penanganan gelandangan harus dimulai dengan mengubah pola pikir gelandangan untuk bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Kabupaten Jember menjadi salah satu penyumbang terbanyak gelandangan di Jawa Timur. Penanganan gelandangan harus dimulai dan fokus pada mengubah pola pikir gelandangan untuk bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur tahun 2017, terdapat 299 gelandangan di Kabupaten Jember. Jumlah tersebut mengantarkan Jember sebagai kabupaten dengan jumlah gelandangan terbanyak di Jawa Timur sekaligus daerah tertinggi kedua setelah Surabaya yang tercatat mempunyai 1.911 orang gelandangan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember Pairan berasumsi, jumlah gelandangan di Jember tinggi karena dinilai memiliki daya tarik daerah ini. Menurut Pairan, dibandingkan dengan kabupaten sekitar, seperti Situbondo, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Banyuwangi, fasilitas dan perekonomian di Jember lebih maju. Salah satu indikatornya ialah keberadaan mal di Jember yang tidak dimiliki daerah lain.
”Ini baru asumsi, kemajuan Jember yang lebih bila dibandingkan kabupaten sekitar mungkin menjadi daya tarik bagi gelandangan dari luar Jember untuk mengadu nasib. Sayangnya, mereka kalah saing sehingga tersisih dan terpaksa menggelandang,” tutur Pairan ketika dihubungi dari Banyuwangi, Rabu (27/1/2021).
Pairan mengatakan, ada kemungkinan daerah lain juga menarik, tetapi tindakan tegas aparat menyulitkan orang menggelandang. Hidup menggelandang merupakan risiko terakhir bagi mereka yang gagal bersaing mendapatkan pekerjaan.
Gelandangan, lanjut Pairan, bukanlah orang yang tidak mau berusaha. Keterbatasan akses pekerjaan dan keterampilan membuat mereka hanya mampu menjajakan jasa. Saat menjual jasa, mereka tidak mendapat akses sehingga mereka akhirnya menjadi gelandangan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menekan tingginya angka gelandangan di Jember ialah membuat mereka melihat akses. Setelah itu, barulah pemerintah hadir dengan membuka peluang kerja bagi mereka.
”Langkah pertama yang harus dilakukan ialah mengubah pola pikir mereka dengan cara menumbuhkan keyakinan bahwa mereka mampu berbuat dan bekerja lebih baik. Setelah kesadaran tersebut muncul, barulah mereka bisa memanfaatkan peluang untuk mengubah taraf hidupnya,” ujar Pairan.
Pairan mengatakan, upaya mengubah pola pikir harus lebih dahulu dilakukan sebelum memberikan bantuan. Pasalnya, bila bantuan terus dikucurkan, tetapi para gelandangan tidak siap memanfaatkan bantuan tersebut, yang terjadi justru ketergantungan bukan kesejahteraan.
Oleh karena itu, keberadaan lingkungan pondok sosial (liponsos) hendaknya dimanfaatkan untuk menyiapkan dan mengubah pola pikir gelandangan. Liponsos punya peran mengembalikan fungsi sosial dan kesehatan para gelandangan.
Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Jember Rifendi Wahjuwibakti menyebutkan, Liponsos Jember memiliki kapasitas untuk membina 40 orang. Saat ini, ada 27 warga binaan yang tinggal di Liposos.
”Semua jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial (PKMS) bisa tinggal di Liponsos. Kebanyakan yang tinggal di sana ialah ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), orang telatar, lansia telantar, gelandangan, dan pengemis,” ujarnya.
Warga binaan didampingi 14 petugas. Di sana, mereka dipenuhi kebutuhan dasarnya, misalnya makanan, pakaian, dan tempat istirahat. Warga binaan juga mendapat layanan kebersihan dan kesehatan.
”Pada 2020, kami mendata, ada 81 gelandangan. Sebagian besar berasal dari Jember, sedangkan yang berasal dari luar Jember jumlahnya tidak lebih dari 10 orang,” ungkap Rifendi.
Rifendi mengakui, gelandangan dan pengemis menjadi permasalahan tersendiri di Jember. Menurut dia, permasalahan sosial ini membutuhkan penanggulangan melalui pendekatan yang menyeluruh antarinstansi disertai partisipasi aktif dari masyarakat.
Gelandangan di tempat umum, lanjut Rifendi, berpotensi menimbulkan banyak masalah sosial di masyarakat, misalnya masalah tata ruang dan lingkungan, masalah administrasi kependudukan, hingga keamanan dan ketertiban.
Rifendi mengatakan, pihaknya melakukan pendampingan terhadap warga binaan hingga hasil asesment menunjukan bahwa gelandangan ini siap dan bisa diterima kembali oleh keluarga dan masyarakat. ”Bisa mandiri, sehat jasmani dan rohani, serta diterima keluarga dan masyarakat adalah proyeksi kami setelah warga binaan keluar dari Liponsos,” ujarnya.
Pengelola Unit Pelaksana Teknis Liponsos Jember Roni Effendi mengatakan, pihaknya lebih banyak membina gelandangan yang berusia lanjut dan ODGJ. Hanya pernah ada beberapa gelandangan usia produktif yang tinggal di liponsos, tetapi mereka sebentar saja di situ dan memilih pergi.
”Liponsos Jember tidak pernah memberikan pendampingan atau pelatihan keterampilan bagi warga binaan. Selama ini, kebanyakan warga binaan adalah ODGJ dan lansia sehingga kami lebih banyak memberikan perawatan daripada pelatihan keterampilan,” ungkap Roni.
Kegiatan warga binaan sehari-hari, lanjut Roni, hanya sekadar aktivitas ringan seperti menyapu, mengepel, dan bersih-bersih di sekitar Liponsos. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mengisi waktu sekaligus terapi bagi warga binaan ODGJ dan lansia yang masih bisa beraktivitas.
Liponsos Jember sebenarnya sudah menyiapkan program-program pendampingan dan peningkatan kapasitas bagi gelandangan berusia produktif. Akan tetapi, sebagian besar warga binaan tidak mau mengikuti program tersebut.
Pelatihan yang ditawarkan UPT Liponsos Jember bekerja sama dengan UPT Liponsos lain di beberapa kota/kabupaten di Jawa Timur. Bahkan, di akhir pelatihan, warga binaan mendapat bantuan peralatan. Namun, hal itu masih dinilai tidak menarik bagi warga binaan.
”Ada program pelatihan salon, perbengkelan, pertukangan, permesinan, fotografi, dan lainnya. Setelah lulus, mereka akan mendapat bantuan peralatan. Tapi banyak yang tidak mau. Mungkin hanya 10 persen yang mau,” keluhnya.
Roni menduga, warga binaan tidak betah karena selama mengikuti pelatihan selama 6 bulan mereka tidak mendapat penghasilan. Kondisi ini yang membuat program pelatihan tersebut tidak diminati kendati ditujukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan gelandangan.