Aparat Penembak Mati Buronan Judi di Solok Selatan Jadi Tersangka
Polisi yang menembak mati Deki Susanto, buronan kasus judi di Solok Selatan, ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian dan terancam hukuman di atas 5 tahun penjara.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Polisi yang menembak mati Deki Susanto, buronan kasus judi di Solok Selatan, Sumatera Barat, ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian. Pelaku ditahan di kantor Kepolisian Daerah Sumatera Barat sembari menunggu proses hukum pidana. Namun, kuasa hukum keluarga Deki menilai pasal yang dikenakan terhadap pelaku tidak tepat.
Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Stefanus Satake Bayu Setianto, Senin (1/2/2021), mengatakan, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektorat Pengawasan Umum Daerah (Itwasda) telah memeriksa enam anggota Polres Solok Selatan. Mereka adalah aparat yang terlibat dalam aksi penyergapan yang berujung pada kematian Deki pada 27 Januari lalu.
Hasilnya, satu personel, Brigadir K, yang menembak Deki, diproses secara pidana di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumbar. Proses secara pidana itu juga sesuai dengan laporan yang dibuat oleh keluarga Deki kepada Polda Sumbar. ”Pelaku telah dibebastugaskan karena ditahan di Polda Sumbar. Statusnya tersangka,” kata Satake, Senin siang.
Rabu (27/1/2021) pukul 14.30, buronan kasus judi, Deki Susanto, tewas ditembak saat disergap anggota Polres Solok Selatan di Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan. Sejam kemudian, massa yang marah atas kejadian itu menyerang kantor Polsek Sungai Pagu.
Satake melanjutkan, lima personel lainnya yang diperiksa akan menjadi saksi dalam proses sidang di pengadilan. Adapun terkait dugaan pelanggaran etik dalam aksi penyergapan Deki bakal dilanjutkan kembali setelah proses pidana terhadap Brigadir K tuntas.
Menurut Satake, pasal yang disangkakan kepada Brigadir K adalah Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian pada korban. Ancaman hukumannya paling lama 7 tahun penjara.
Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pergerakan Indonesia Guntur Abdurrahman, kuasa hukum keluarga Deki, mengapresiasi langkah cepat polisi menangani kasus ini. Namun, ia menyayangkan penerapan pasal yang tidak tepat dalam tindak pidana yang dilakukan oleh Brigadir K terhadap Deki.
Guntur melanjutkan, tindakan Brigadir K bukanlah suatu penganiayaan, melainkan pembunuhan. Sebab, penembakan terhadap Deki dilakukan di bagian kepala dari jarak dekat. Jadi, penembakan itu dimaksudkan untuk membunuh, bukan untuk menyakiti atau melumpuhkan korban.
Kalau perbuatan mereka diizinkan oleh atasan, atasan mereka juga mesti bertanggung jawab.
”Orang ditembak di bagian kepala dengan senjata api dari jarak dekat, seluruh dunia tahu itu pembunuhan, korbannya pasti mati. Jika yang diterapkan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian, itu tidak tepat. Kecuali penembakan dengan peluru karet atau korban ditembak di jempol kaki dan mati, baru dapat dikatakan penganiayaan,” kata Guntur.
Menurut Guntur, pasal yang tepat dikenakan terhadap pelaku adalah Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Jika dari penelusuran lebih lanjut oleh polisi ada unsur perencanaan, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana juga dapat diterapkan.
Selain pelaku penembakan, kata Guntur, lima personel lain yang terlibat dalam penyergapan Deki dapat pula diproses secara pidana. Selain melanggar prosedur standar operasi (SOP), tindakan aparat tersebut dapat digolongkan sebagai teror terhadap keluarga Deki. Kalau perbuatan mereka diizinkan oleh atasan, atasan mereka juga mesti bertanggung jawab.
Kata Guntur, aparat mendatangi rumah Deki dengan dua mobil. Beberapa di antara mereka bersenjata, tanpa memperlihatkan tanda pengenal, surat tugas, atau surat perintah penggeledahan, langsung masuk ke rumah dan memburu Deki yang menimbulkan ketakutan pada keluarga Deki.
Guntur berharap polisi menindak tegas aparat yang terlibat dalam penyergapan yang berujung pada kematian Deki. ”Kami berharap pelaku dihukum berat dan dipecat. Kalau tidak ditegakkan sesuai ketentuan sebenarnya, kasus ini bakal menjadi preseden buruk dan bisa terulang kembali di masa mendatang. Mungkin nanti ada orang adu ayam ditembak mati,” kata Guntur.
Ditambahkan Guntur, istri Deki saat ini masih lelah dan trauma karena melihat langsung penembakan terhadap suaminya. Trauma berat juga dialami putra Deki yang berusia tiga tahun, yang turut melihat langsung kejadian itu. ”Anaknya sering mengigau, ’Papa mati ditembak polisi’,” ujar Guntur.
Melanggar HAM
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Sumbar Muhammad Fauzan Azim mengatakan, penembakan terhadap Deki dalam proses penangkapan oleh enam polisi adalah pelanggaran HAM serius melalui tindakan. ”Penembakan tersebut jelas tidak dibenarkan dan termasuk pada pembunuhan di luar proses peradilan (extrajudicial killing),” kata Fauzan.
Menurut Fauzan, Undang-Undang Kepolisian dan Hukum Acara Pidana mengatur, penegakan hukum terhadap seseorang harus menghormati asas praduga tidak bersalah dan perlindungan terhadap hak asasinya selaku warga negara. Seseorang yang diduga melanggar hukum harus dihormati haknya untuk diperlakukan secara adil dan bermartabat.
Oleh sebab itu, kata Fauzan, patut diduga seperangkat peraturan perundang-undangan terkait penggunaan kekuatan dan senjata oleh petugas, implementasi prinsip, dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri, penggunaan kekuatan dan tindakan, SOP ataupun prosedur tetap penggunaan senjata, telah dilanggar oleh petugas di lapangan.
Fauzan melanjutkan, pelaku penembakan harus dipecat dan diberhentikan secara tidak hormat dari tugas sebagai anggota kepolisian. Jajaran pimpinan terkait juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan anggota sesuai mekanisme yang berlaku di tubuh kepolisian.
”Lebih penting lagi, pelaku harus dihukum berat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan PBHI meminta hentikan praktik impunitas. Untuk itu, PBHI meminta kepolisian harus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan pelaku secara profesional, transparan, dan bertanggung jawab,” ujar Fauzan.