Harimau berjenis kelamin jantan ditemukan warga pada 22 Januari 2021 di Desa Gulo, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara. Saat ditemukan, kaki kanan harimau itu terjerat kawat sling dan terlihat sangat lemah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KUTACANE, KOMPAS — Setelah dirawat selama satu pekan, seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang diberi nama ”Danau Putra” dilepasliarkan ke hutan Leuser. Harimau itu terkena jerat yang dipasang pemburu.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, dihubungi pada hari Minggu (31/1/2021), menuturkan, keadaan fisik harimau itu sudah pulih sehingga sudah bisa dilepaskan kembali ke habitatnya.
”Dia (Danau Putra) dilepas ke Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan habitat satwa dilindungi,” kata Agus.
Harimau berjenis kelamin jantan itu ditemukan oleh warga pada 22 Januari 2021 di Desa Gulo, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara. Saat ditemukan, kaki kanan harimau terjerat kawat sling. Raja hutan itu terlihat sangat lemah. Luka karena jeratan kawat sling membuat dia tidak sanggup berjalan.
Dia (Danau Putra) dilepas ke Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan habitat satwa dilindungi.
Tim dokter BKSDA Aceh dan lembaga konservasi lain mengevakuasi satwa lindung itu ke pusat perawatan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Kutacane. Sepekan lebih dirawat intensif, harimau itu dinilai sudah layak untuk dilepas ke alam liar.
Warga memberikan nama Danau Putra. Di kawasan itu terdapat danau dan menyematan Putra karena harimau itu jantan. Usia Danau Putra 1,5 tahun dengan berat badan 50 kilogram.
Agus menuturkan, Danau Putra merupakan penghuni hutan TNGL. Namun, saat terkena jerat, Danau Putra sedang berjelajah hingga ke luar kawasan. Pemburu memasang jerat pada jalur jelajah satwa lindung.
”Di kawasan pelepas liar sudah dilakukan operasi sapu jerat. Kami yakin Danau Putra bisa bertahan hidup di alam liar,” kata Agus.
Saat pintu kandang dibuka, Danau Putra langsung melesat ke balik-balik pohon. Agus berharap tidak ada aksi perburuan terhadap satwa lindung.
Agus menuturkan, konflik harimau dengan manusia setiap tahun meningkat. Pada 2019 terjadi sebanyak 18 kasus, pada 2020 naik menjadi 30 kasus.
Pada Agustus 2020 satu ekor harimau di Kabupaten Aceh Selatan mati karena memakan kambing yang telah dicampuri racun. Hingga kini, kasus tersebut masih dalam penanganan polisi.
Pada 2020 BKSDA Aceh melepasliarkan tiga ekor harimau ke alam liar. Harimau yang dilepas itu adalah korban dari jerat pemburu. Perburuan menjadi ancaman paling besar terhadap keberlangsungan hidup harimau. Populasi harimau di Aceh diperkirakan 197 ekor.
Konflik satwa
Direktur Flora Fauna Aceh Dewa Gumay menuturkan, penanggulangan konflik satwa harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari penataan kawasan hingga penindakan hukum. Penindakan hukum yang lemah tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku.
Dewa menuturkan, untuk menghentikan perburuan, harus ditindak tegas perdagangan satwa. Perdagangan satwa memicu pemburu untuk membunuh satwa lindung.
Sebelumnya, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Ajun Komisaris Besar Hairajadi mengatakan tidak mudah mengungkap kasus perdagangan satwa lindung karena jaringannya hingga ke luar negeri.
Sepanjang 2020, jajaran kepolisian menangkap empat tersangka kasus kejahatan terhadap satwa lindung. Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah penangkapan terhadap satu tersangka perdagangan satwa lindung di Bener Meriah.
Dalam kasus ini, polisi menyita 71 paruh burung rangkong, 28 kilogram sisik trenggiling, 1 helai kulit harimau, dan tulang belulang harimau.