Tes Antigen Berkala bagi Sukarelawan Merapi di Sleman
Para sukarelawan barak pengungsian Merapi, di Kabupaten Sleman, dites antigen secara berkala. Langkah ini menjadi upaya antisipasi penularan Covid-19 dari para sukarelawan terhadap pengungsi yang mayoritas kaum rentan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Sukarelawan di barak pengungsian Gunung Merapi, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan menjalani tes antigen secara berkala. Langkah ini menjadi upaya antisipasi penularan Covid-19 yang berpotensi muncul dari tingginya mobilitas dalam penanganan pengungsian.
”Pasti akan ada tes berkala. Kira-kira dua minggu lagi akan kami tes (antigen). Ini untuk antisipasi,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman, Joko Supriyanto, saat ditemui di Kompleks Kantor Pemkab Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (29/1/2021).
Tes antigen dilakukan terhadap 68 sukarelawan barak pengungsian, di Balai Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Kamis (28/1/2021). Dari tes itu, ditemukan seorang sukarelawan menunjukkan hasil tes positif antigen. Sukarelawan itu juga merupakan warga Desa Purwobinangun. Dipastikan, yang bersangkutan belum beraktivitas di barak pengungsian.
Dinas Kesehatan Sleman menindaklanjuti temuan itu dengan pengambilan sampel usap polymerase chain reaction (PCR) kepada sukarelawan tersebut. Dia juga diminta melakukan isolasi mandiri di rumah sebelum hasil tes usap PCR keluar.
Tes cepat antigen diwajibkan bagi sukarelawan yang ingin terlibat dalam barak pengungsian lereng Merapi, di Sleman. Tes bertujuan mencegah penularan Covid-19 kepada para pengungsi mengingat tingginya mobilitas para sukarelawan. Terlebih, para pengungsi berasal dari daerah zona hijau, atau belum terjadi penularan Covid-19.
Tes bertujuan mencegah penularan Covid-19 kepada para pengungsi mengingat tingginya mobilitas para sukarelawan.
Saat ini, warga yang sudah mengungsi berasal dari Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem. Mereka menempati barak Purwobinangun sejak Rabu (27/1/2021), setelah terjadi luncuran awan panas sejauh 3,5 kilometer dari puncak Merapi. Hingga Jumat siang, jumlah pengungsi mencapai 130 orang. Dari jumlah tersebut, pengungsi kelompok rentan, seperti lansia, anak balita, ibu hamil, dan anak-anak berjumlah 78 orang.
Joko mengatakan, untuk menekan potensi penularan Covid-19, sukarelawan yang dikerahkan juga hanya warga lokal. Hanya warga Desa Purwobinangun yang diperbolehkan menjadi sukarelawan di barak pengungsian tersebut.
”Jadi kami membatasi orang luar yang diduga bisa menularkan Covid-19. Yang bertugas ini kan, juga sudah dites antigen sehingga mereka yang kami tugaskan,” kata Joko.
Temuan positif antigen menunjukkan kewaspadaan terhadap penularan di barak pengungsian, perlu terus dijaga. Warga pengungsi dan sukarelawan tidak boleh lengah dengan protokol kesehatan sehingga nantinya tidak muncul kluster baru penularan Covid-19 dari lingkungan tersebut.
Adapun protokol kesehatan yang diterapkan di barak pengungsian, di antaranya penyekatan ruangan, pemasangan instalasi cuci tangan, dan kewajiban pengenaan masker. Satu bilik juga hanya boleh digunakan pengungsi dari satu keluarga. BPBD Sleman pun telah menugaskan sejumlah pengawas untuk mengingatkan agar protokol kesehatan diterapkan ketat.
Kepala Seksi Pemerintahan, Desa Purwobinangun, Nurhadi mengatakan, akses masuk barak dibuat satu pintu. Hanya warga pengungsi dan orang yang berkepentingan dalam penanganan kedaruratan bencana diperbolehkan masuk. Pemberi bantuan pun hanya diminta menyalurkan bantuan lewat posko khusus di balai desa tersebut.
”Bantuan ditampung di gudang logistik. Pemberi bantuan nanti lapor ke posko. Penyaluran bantuan dilakukan sukarelawan sehingga interaksi warga dengan orang luar benar-benar dibatasi,” kata Nurhadi.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, saat barak pengungsian dioperasikan di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, banyak komunitas penyalur bantuan langsung memberikan bantuan kepada warga pengungsi di desa itu. Padahal, ada mekanisme penyaluran bantuan lewat pemerintah desa. Interaksi penyalur bantuan dari luar daerah, dikhawatirkan mengakibatkan penularan Covid-19 mengingat pengungsi sebagian besar merupakan warga kelompok rentan.
Kepala Desa Glagaharjo, Suroto, juga mengaku khawatir pada penyaluran bantuan dari donatur yang langsung menemui para pengungsi. Ia berharap, para donatur mau memahami kondisi para pengungsi yang terdiri dari kelompok rentan dan punya risiko lebih tinggi tertular Covid-19. Bantuan hendaknya cukup diberikan lewat pemerintah desa agar selanjutnya didistribusikan ke pengungsi lewat sukarelawan desa.
”Jika nanti barak pengungsian kami diaktifkan lagi, kami akan melakukan pengawasan lebih ketat untuk penyaluran bantuan. Selanjutnya, bantuan hanya satu pintu lewat posko desa,” kata Suroto.