Dibebaskan, 160 Nelayan Aceh yang Dituduh Curi Ikan di Laut Asing
160 nelayan Aceh yang telah dibebaskan itu ditahan oleh otoritas Negara Myanmar, India, dan Thailand. Mereka dibebaskan karena ada advokasi permintaan keringanan hukum dari berbagai pihak.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sebanyak 160 nelayan Aceh yang sempat ditahan di luar negeri karena tuduhan pencurian ikan dibebaskan sepanjang 2019-2020. Kerja sama dengan negara-negara lain harus terus diperkuat agar advokasi terhadap nelayan yang ditahan itu bisa dilakukan semakin mudah.
Wakil Sekretaris Panglima Laot Aceh/Lembaga Adat Nelayan Miftah Tjut Adek, Jumat (29/1/2021), mengatakan, nelayan yang dibebaskan itu ditahan otoritas Myanmar, India, dan Thailand. Mereka dibebaskan karena advokasi permintaan keringanan hukum dari Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Kelautan Perikanan, dan Pemerintan Provinsi Aceh.
”Kami berterima kasih kepada Pemprov Aceh dan pemerintah pusat yang bekerja keras mengadvokasi nelayan kita tersebut sehingga mereka dengan cepat bisa dibebaskan,” ujar Miftah.
Pemulangan terbaru dilakukan terhadap 28 nelayan yang ditahan di India sejak 3 Maret 2020. Seperti kasus-kasus lainnya, mereka ditahan karena memasuki wilayah perairan India di kawasan Durgabai Deshmukh. Nyaris setahun, mereka ditahan menjalani proses pengadilan. Pada 28 Januari 2021, pengadilan di India membebaskan mereka.
”Mereka akan segera dipulangkan ke Aceh,” kata Miftah.
”Kami berterima kasih kepada Pemprov Aceh dan Pemerintah Pusat yang bekerja keras mengadvokasi nelayan kita tersebut sehingga mereka dengan cepat bisa dibebaskan.”
Miftah menuturkan, umumnya nelayan Aceh masuk ke perairan asing karena kerusakan kapal dan tidak tahu batas perairan Indonesia dengan negara lain. Mereka ditangkap pihak keamanan negara asing dengan tuduhan mencuri ikan. ”Kalau tidak diadvokasi, nelayan Aceh bisa ditahan sampai tiga tahun,” kata Miftah.
Ketika nelayan ditahan dalam jangka waktu yang lama, penderitaan berat juga akan dialami keluarga mereka. Mereka kehilangan sumber ekonomi. Apalagi, mayoritas keluarga nelayan hidup dalam kemiskinan.
Nurlianti (29), warga Gampong Jawa, Banda Aceh, mengatakan, saat suaminya Munazir (35), ditahan di India, dia kesulitan membiayai hidup diri dan anaknya. Dia harus bekerja serabutan agar tetap bisa bertahan hidup.
Suaminya ditahan pada akhir November 2019 dan baru dibebaskan pada 5 Maret 2020. Kala itu, Munazir bersama dua nelayan lain kehilangan arah karena kabut asap dampak kebakaran lahan.
Sebelumnya, pada 13 Desember 2020 sebanyak 19 nelayan Aceh juga dibebaskan dari tahanan di India. Abdur Rahaman (52), salah seorang nelayan yang dibebaskan itu, menuturkan, sangat bersyukur akhirnya bisa kembali ke Aceh.
Selama di dalam penjara, Abdur sangat rindu kampung halaman dan keluarga. Ini adalah pengalaman paling buruk yang pernah dia rasakan selama belasan tahun menjadi nelayan.
Selama di dalam penjara, Abdur sangat rindu kampung halaman dan keluarga. Ini adalah pengalaman terburuk yang pernah dia rasakan selama belasan tahun menjadi nelayan.
Miftah menuturkan, perlu peningkatan kapasitas nelayan dalam membaca peta dan perlengkapan navigasi agar kasus-kasus serupa tidak terulang.
Gubernur Aceh Nova Iriansyah menuturkan, Pemprov Aceh bertindak cepat saat mengetahui ada nelayan yang terdampar dan ditahan di luar negeri. Advokasi dilakukan bersama Kemenlu. ”Ini bagian dari kehadiran pemerintah untuk melindungi warganya,” kata Nova.