Seorang pembajak film berdomisili di Kota Jambi akhirnya diseret ke meja hijau. Upaya ini diharapkan memberi efek jera kepada para pembajak karya seni untuk menghentikan praktik-praktik liarnya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Berbekal sebuah laman web, Aditya Fernando meraup jutaan rupiah dari hasil membajak film. Sekitar 3.000 film telah diunggahnya secara ilegal. Kini nasibnya naas terancam denda Rp 4 miliar dan hukuman penjara 10 tahun.
Tiga tahun silam, rekan Aditya, Robbi, membangunkan sebuah laman yang dinamai Duniafilm21. Nama pengguna dan kata kunci laman itu dikirim Robbi kepada Aditya lewat akun Facebook-nya. Robbi yang tinggal di Kamboja berpesan agar laman tersebut dipergunakan Aditya untuk mengunggah dan memperbarui film-film bajakan.
Lewat platform itulah, Aditya, yang bertempat tinggal di kawasan Thehok, Kota Jambi, mengunggah 3.000-an film dalam waktu tak sampai dua tahun. Film yang dibajak adalah film-film terkenal, baik dalam negeri maupun film impor. Hasil unggahan dapat diputar secara utuh atau ditayangkan secara daring bagi pengunjung lamannya. Dari usaha itulah keduanya mendapatkan uang.
Mereka memasang tarif iklan sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 3,5 juta per bulan. Semakin banyak pengunjung akan menarik lebih banyak pengiklan.
Meskipun memperoleh untung besar, kendali keuangan ada pada Robbi yang kini masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Adapun Aditya menerima Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per bulan.
Modus membajak film baru terungkap setelah munculnya unggahan film sinema berjudul Keluarga Cemara. Film produksi Visinema yang diluncurkan serentak di bioskop-bioskop dalam negeri pada awal Januari 2019 itu telah menarik banyak penonton. Penjualan tiket film yang dibintangi Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir tersebut menyedot hingga hingga 1,7 juta penonton bioskop.
Peluang itulah yang dimanfaatkan Aditya dan Robbi untuk meraup untung lewat cara ilegal. Keduanya membajak film dan menayangkannya di laman itu tak lama setelah masa tayangnya di bioskop.
Namun, pembajakan itu segera terendus. Keduanya langsung dilaporkan Visinema pada 20 Juli 2020. Aditya lalu ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal dua bulan kemudian.
”Ini babak baru perlawanan terhadap pembajak film. Perbuatan yang melawan hukum selayaknya dibawa ke pengadilan,” ujar Angga Dwimas Sasongko, pendiri Visinema, Jumat (29/1/2021).
Kamis (28/1/2021) sore sidang terhadap Aditya digelar di Pengadilan Negeri Jambi. Di awal sidang, Aditya mengaku kepalanya pusing saat Ketua Majelis Hakim Arfan Yani menanyakan kondisi kesehatannya.
Alasannya pusing karena kehadiran awak media meliput sidang itu. Hakim memutuskan sidang tetap berjalan dengan menghadirkan sejumlah saksi. Sidang itu berlanjut lagi pekan depan.
Jangan sampai pembajakan karya cipta dipandang sebelah mata.
Upaya menuntut pembajak IP film, kata Angga, sekaligus mewakili seluruh kreator seni di Indonesia yang hasil karyanya telah dibajak. Pembajakan karya cipta merupakan kejahatan yang tidak boleh ditolerir.
Ia berharap prosesnya akan berjalan adil dan membuka mata bagi semua orang. ”Jangan sampai pembajakan karya cipta dipandang sebelah mata,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, 5 Mei 2018, peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Chaikal Nuryakin, menyebut pembajakan film merugikan seluruh pelaku rantai produksi dan distribusi film legal. Dampak kerugian terutama dialami oleh pihak produser, lalu berikutnya bioskop, produsen DVD legal, dan pemilik laman legal pemutar film beraliran langsung (film streaming).
Dari hasil penelitian di empat kota, yaitu Jakarta, Medan, Bogor, dan Deli Serdang (Sumatera Utara), LPEM menghitung total kerugian langsung yang dialami produser mencapai Rp 1,495 triliun per tahun. Secara nasional, LPEM memperkirakan total bisa mencapai Rp 5 triliun.
Jaksa penuntut umum, Hariyono, menyebut akibat perbuatannya, terdakwa melanggar Pasal 32 Ayat (2) juncto Pasal 48 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. ”Selain itu, terdakwa juga dikenai pasal tentang hak cipta,” katanya. Terdakwa terancam hukuman maksimal denda Rp 4 miliar dan kurungan 10 tahun.