Kisah Sawah Tadah Hujan yang Mengangkat Kandar Jadi Desa Mandiri di Maluku
Dana desa mendorong Desa Kandar di Pulau Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, berhasil melompat dari status tertinggal menjadi mandiri. Desa di pelosok negeri dekat perbatasan Australia itu patut dicontoh.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Masuknya dana desa mengubah wajah Desa Kandar di Pulau Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Desa di pelosok negeri yang berbatasan dengan Australia itu mengalami lompatan jauh. Tahun 2019 masih berstatus desa tertinggal, tetapi setahun kemudian langsung menjadi desa mandiri. Pertanian lahan padi tadah hujan menjadi pengungkitnya.
Senin (26/1/2020) siang, seusai hujan deras membasahi lahan, Efraim Refualu (82) menyisir tanaman padi miliknya yang berusia sekitar satu bulan. Asupan air hujan bakal membuat padi yang kini tingginya di atas 40 sentimeter itu tumbuh subur hingga musim panen sekitar April mendatang.
Memandangi areal seluas lebih dari dua hektar itu membawa ingatan pria kelahiran 1938 itu kembali ke masa lalunya. Masa di mana sejak belasan tahun itu sudah berkebun, mengolah kebun dengan tenaga manual. ”Dulu saya bisa pacul tanah satu hektar. Saya kerja sendiri bisa,” kata Efraim saat dihubungi dari Ambon lewat telepon seluler.
Lengan yang kini masih tampak kekar berotot menjadi bukti dari ucapannya itu. Ia juga masih sangat bertenaga mengoperasikan mesin pertanian yang datang ke kampung itu dua tahun belakangan. ”Saya masih bisa dorong traktor dan mesin untuk tanam,” ucapnya lagi.
Kehadiran mesin pertanian berkat adanya dana desa membuat Efraim semakin bersemangat. Dari sebelumnya mengolah lahan satu hektar, kini dia mencari tantangan baru. Dua hektar lebih. Sebagian kerja manual sudah digantikan mesin. Mulai dari membajak lahan hingga penggilingan padi. Ia menargetkan bisa memperoleh hingga 5 ton beras.
Pulau karang
Lahan Efraim dan sekitar 300 hektar tanaman padi di Kandar hanya mengandalkan hujan. Tak ada embung, bendungan, apalagi sungai. Pulau Selaru sebagian besar disesaki batu karang, kering kerontang, dan tandus. Celah lahan yang dianggap subur oleh warga digunakan untuk menanam padi.
Sekretaris Desa Kandar Berti Benjamin Masela lewat sambungan telepon mengatakan, tradisi menanam padi tadah hujan itu sudah berlangsung lama. Sebelum Orde Baru melakukan ”berasisasi” ke seantero negeri, masyarakat Kandar sudah tanam padi.
Pun jauh sebelum tahanan politik memperkenalkan pengolahan padi sawah di Maluku, tepatnya Pulau Buru awal tahun 1970an. Cetak sawah kemudian melebar ke Pulau Seram setelah datangnya transmigrasi dari Pulau Jawa. Beras kini telah menggeser berbagai jenis makanan lokal di Maluku, seperti sagu, umbi-umbian, pisang, dan kacang-kacangan.
Di Maluku tak banyak masyarakat lokal yang menanam padi. Kandar sudah lama menanam. Hampir semua lahan tadah hujan diolah secara tradisional. Petani masih sering pindah-pindah lahan. Sebelum musim tanam, lahan dibabat lalu dibakar, tanah dicangkul, benih ditanam langsung ke dalam lubang tanah, pemupukan seadanya, panen secara manual, kemudian gabah dibawa ke tempat penggilingan.
Tak hanya butuh energi lebih, anggaran yang dikeluarkan untuk pengolahan lahan tidak sedikit. Untuk lahan seluas satu hektar, diperlukan biaya sekitar Rp 3 juta dengan hasil tidak maksimal. ”Apalagi kalau hujan tidak cukup atau terserang hama, kadang sampai gagal panen,” ujar Benjamin.
Kehadiran dana desa sejak tahun 2015 perlahan diarahkan ke sektor pertanian. Sistem ladang tadah hujan diubah menjadi sawah tadah hujan. Benih terlebih dahulu disemai lalu ditanam. Telah didatangkan traktor untuk membalikkan tanah, pengadaan mesin tanam, mesin panen, mesin perontok, dan mesin penggiling yang langsung datang ke lahan petani.
Produktivitas bertambah
Produktivitas hasil panen pun bertambah menjadi sekitar 5 ton gabah kering giling pada setiap hektarnya. Ini membuat gairah bertani di desa itu meningkat. Kelompok tani yang pada tahun 2018 sebanyak 20 kini bertambah menjadi 24 kelompok. Keluarga petani yang semula 290 kini menjadi 320 keluarga. ”Di desa kami swasembada beras,” ucap Benjamin.
Untuk memajukan sektor pertanian di Kandar, telah berdiri sekolah menengah kejuruan khusus mengajari tentang pertanian. Kini sudah dua angkatan. Lulusan sekolah tersebut diharapkan membantu petani mengembangkan inovasi pertanian. Tak hanya padi, mereka akan melebar ke berbagai tanaman hortikultura, terutama sayur-sayuran.
Frans Luanmase, pendamping untuk pengelolaan dana desa di Kandar, mengatakan, beras dari Kandar kini sudah dijual hingga ke Saumlaki, ibu kota kabupaten. Bahkan, ada yang sampai di Papua. Namun, proses penjualannya masih secara parsial. Mereka berencana menjadikan badan usaha milik desa (BUMDes) sebagai penyalur. BUMDes nantinya akan membantu pengadaan kemasan dan izin yang ditargetkan mulai efektif musim panen tahun depan.
Menurut dia, petani di desa berpenduduk 1.848 jiwa itu ingin menggenjot produksi tetapi masih terkendala pengairan yang hanya menggandalkan hujan. Musim tanam dan panen hanya satu kali dalam setahun menyesuaikan dengan musim hujan. Kepada pemerintah daerah mereka telah mengajukan pembangunan embung sebagai sumber air.
Desa mandiri
Perubahan wajah Kandar membuat status desa itu naik dratis. Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM), pada tahun 2020, lahir tiga desa berstatus mandiri di Kepulauan Tanimbar, yakni Kandar di Kecamatan Selaru serta Oelilit dan Sifnana di Kecamatan Tanimbar Selatan. Sebelumnya, tak ada satu pun desa mandiri, dari total 80 desa di Kepulauan Tanimbar.
”Yang menarik adalah Kandar. Desa itu pada tahun sebelumnya masih berstatus desa tertinggal tapi bisa melompat jauh menjadi desa mandiri. Kandar juga bukan desa di pusat kota seperti dua desa mandiri lainnya, Sifnana dan Oelilit,” kata Kepala Bidang Kelembagaan Kawasan Perdesaan dan Sistem Informasi Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kepulauan Tanimbar Dessy Sabono.
Pengukuran IDM meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dilakukan setiap tahun. Tahun 2019, IDM Desa Kandar 0,58 naik menjadi 0,85 pada tahun 2020. Penyumbang terbesar adalah aspek ekonomi. Berdasarkan IDM yang diperoleh lalu dibuatkan kategori mulai dari paling rendah, yakni desa sangat tertinggal, naik tingkat menjadi desa tertinggal, kemudian desa berkembang, lalu desa maju, dan memuncak menjadi desa mandiri.
Koordinator Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kepulauan Tanimbar Bernardus Turlel menambahkan, tak ada lagi desa sangat tertinggal di Kepulauan Tanimbar menunjukkan, dana desa berdampak positif. Kini terdapat 9 desa tertinggal, 51 desa berkembang, 17 desa maju, dan 3 desa mandiri.
Menurut dia, pencapaian tersebut merupakan hasil kerja keras semua pihak, terutama partisipasi masyarakat. Di balik itu masih terdapat sejumlah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah, seperti keterlambatan penetapan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) dan keterlambatan waktu pencairan anggaran. Juga masih terdapat penyelewengan dalam pengelolaan anggaran.
Dalam satu tahun seperti 2020, masing-masing desa di Kepulauan Tanimbar mendapat kucuran dana desa mulai dari Rp 800 juta hingga Rp 3 miliar dengan penyerapan di atas 75 persen. Dana itu dicairkan sebanyak tiga kali. Desa Kandar mendapat alokasi sekitar Rp 2 miliar. Dengan ditetapkanya status desa mandiri, pencairan anggaran untuk Kandar dipercepat menjadi dua kali saja.
Cerita tentang Desa Kandar yang mengelolah dana desanya dengan baik sehingga satusnya melompat dari tertinggal langsung ke puncak tertinggi menjadi desa mandiri patut diberi apresiasi. Ini semacam kabar gembira di tengah wajah buram pengelolaan dana desa di banyak wilayah di Indonesia. Kandar, desa di pelosok negeri, pulau terluar, itu perlu dijadikan contoh.