Kaset Usang Kegagapan Penanganan Bencana yang Terulang di Sulbar
Kegagapan penanganan saat terjadi bencana seperti kaset usang yang terus terjadi. Distribusi logistik yang mampet, pendataan, hingga sulitnya informasi menjadi cerita yang tidak ada habisnya.
Sejak gempa mengguncang wilayah Sulawesi Barat pada 15 Januari lalu, penanganan pascabencana mulai memendam riak persoalan. Selain penyaluran logistik yang juga belum merata, data rumah terdampak gempa juga menyimpan potensi masalah. Kegagapan pemerintah daerah dalam penanganan bencana terus berulang, serupa kaset usang yang tidak henti berputar.
Menggendong map seukuran bantal, Sudirman (62) berjalan tergopoh memasuki Markas Kodim 1418/Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (26/1/2021) sore. Di belakang Kepala Lingkungan BKI ini, anak sulungnya, Ridwan (28), mengekor, juga membawa map.
Berlembar-lembar dokumen lalu dikeluarkan. Kertas kopian KTP, kartu keluarga, hingga foto rumah menumpuk jadi satu. Ia memilah, lalu menyuruh anaknya mengisi format data yang telah ia pegang. ”Ini data warga yang rumahnya rusak terdampak gempa di lingkungan kami. Baru terkumpul hari ini karena banyak yang mengungsi. Namanya korban, mereka hanya pergi dengan baju di badan,” tuturnya.
Jumlah keluarga di lingkungan tempat Sudirman bertugas lebih dari 200 orang. Sebagian besar rumah di wilayahnya mengalami kerusakan, mulai skala ringan hingga berat. Rumah ayah tiga anak itu juga termasuk, dengan keretakan di dinding dan plafon yang rusak.
Belum sempat menyelesaikan pekerjaan, telepon selulernya berdering. Dari seberang telepon, suara perempuan terdengar menanyakan apakah rumahnya sudah terdata atau belum. Sudirman menanyakan kerusakan dan lokasi mengungsi tetangganya tersebut saat ini, lalu dia menuliskan data di kertas.
Baca juga: Gempa M 6,2 Merusak di Majene
”Kami sudah data dua hari lalu, bahkan sampai ambil foto karena perintah dari kelurahan begitu. Yang susah, kalau orangnya mengungsi ke mana, terus tidak ada nomor yang bisa dihubungi,” kata Sudirman. Padahal, hari tersebut adalah batas terakhir pengumpulan data rumah warga terdampak gempa.
Asfar (46), warga Kelurahan Binanga, Mamuju, juga membawa identitas diri dan foto kerusakan bangunan yang dialami dirinya dan tetangganya ke Markas Kodim 1418/Mamuju. Dari lima berkas yang dibawa Asfar, tim pengumpul data hanya menerima dua berkas yang menampilkan kerusakan dua rumah di sekitar wilayah Binanga. Tiga lainnya adalah kondisi rumah toko (ruko).
”Saya membawa sendiri berkas ini karena tahu ada pengumpulan data bangunan rusak di Markas Kodim. Tetapi, saya tidak tahu kalau yang dikumpulkan baru rumah tinggal,” kata Asfar yang hanya sekitar 15 menit berada di Markas Kodim 1418/Mamuju.
Baca juga: Pastikan Data Rumah Terdampak Gempa Sulbar
Pengumpulan data rumah yang rusak dilakukan pemerintah sejak beberapa hari terakhir. Di bagian tengah kantor Kodim 1418/Mamuju ini, puluhan orang memasukkan data. Mereka adalah petugas dari Dinas Perumahan Rakyat, Permukiman, dan Pertanahan (Perkim) Mamuju. Anggota Bintara Pembina Desa TNI (Babinsa) juga membantu memasukkan data. Perwakilan Dinas Catatan Sipil hingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga berada di lokasi.
Jufri Badau, Sekretaris Dinas Perkim Mamuju, menyampaikan, data ini dikumpulkan oleh tim dinas sejak Jumat pekan lalu. Pengambilan data dilakukan dari bawah, yaitu lingkungan, dusun, desa, juga kelurahan. Data yang diberikan oleh aparat di setiap wilayah dicatat lengkap dengan nomor telepon pemilik hingga lokasi rumah.
”Untuk yang rusak berat itu sebanyak 767, rusak sedang 1.392, dan rusak ringan sebanyak 1.582 rum ah. Kami terus kumpulkan sampai malam ini karena masih ada yang baru mengirim data,” tambahnya.
Selain kendala waktu, tambah Jufri, sebagian besar warga terkendala dengan dokumen yang harus dikumpulkan, yaitu KTP dan Kartu Keluarga. Sebab, banyak rumah warga yang rusak sehingga dokumen tercecer atau tertimbun bangunan. Belum lagi warga yang mengungsi ke tempat keluarga di luar Mamuju.
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai, Rabu (27/1/2021), mengatakan, pendataan awal disinkronkan menggunakan semua sumber data yang ada. Hal itu untuk mempercepat proses pendataan dengan satu hasil yang sama.
Baca juga: Rupa-rupa Solidaritas Penyintas Gempa Sulawesi Barat
Validasi juga disegerakan tuntas pada Rabu malam untuk segera dikirim sebagai data awal. Nantinya, rumah warga yang belum masuk dalam data awal tetap didata untuk divalidasi dan disatukan dengan data awal.
”Kami membantu daerah dalam pendataan dan usahakan tuntas lebih cepat agar penanganan pengungsi segera tuntas. Yang jelas, validasi data juga tetap diutamakan agar tidak terjadi kesalahan data,” tambahnya.
Kendala informasi
Tidak hanya terkait pendataan rumah, minimnya informasi yang diterima warga pun menjadi kendala dalam pengumpulan data rumah terdampak gempa. Sebelumnya, sebagian penyintas gempa juga kesulitan mendapatkan bantuan logistik di satu pekan perdana setelah gempa terjadi 15 Januari lalu.
Pasalnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat tidak memiliki pusat informasi yang bisa menjadi acuan bagi penyintas untuk mendapatkan bantuan. Pemprov Sulbar memang membuka posko pengaduan untuk para pengungsi yang belum mendapatkan bantuan. Namun, proses itu menyulitkan para penyintas.
”Saya sudah membawa KTP dan Kartu Keluarga untuk data pengungsi karena belum dapat bantuan. Tetapi, petugas hanya meminta saya menaruh nomor telepon dan belum jelas kapan bantuan bisa saya terima," ucap Rusanda (45), warga Sumare, Mamuju, yang ditemui di kompleks kantor pemerintahan Sulbar, Rabu (20/1) lalu.
Baca juga: Kerugian Bangunan Dominan, Standar Konstruksi Mendesak Ditingkatkan
Nur (55), warga Mamuju lainnya, menuturkan, ia dan keluarga baru mendapatkan bantuan pada Senin (25/1) atau 10 hari setelah gempa. Bantuan berupa tenda dan beras itu diberikan oleh aparat kepolisian. Rumahnya yang rusak juga tidak pernah didata oleh pemerintah untuk menerima bantuan kerusakan.
Dalam rapat koordinasi Pemprov Sulbar bersama DPRD pada Rabu (27/1) siang, sejumlah masalah menjadi sorotan dalam penanganan gempa ini. Tidak hanya terkait validasi pengungsi dan logistik, tetapi juga pada buruknya komunikasi yang disampaikan ke masyarakat oleh Satgas Penanggulangan Bencana Gempa Sulbar.
Tidak hanya itu, komunikasi dari pemerintah daerah, khususnya juru bicara yang diangkat dalam penanganan bencana, tidak mampu memberikan informasi ke masyarakat.
Syukri, Ketua Komisi II DPRD Sulbar, mengatakan, persoalan data menjadi hal krusial dalam penanganan bencana. Sebab, data menjadi rujukan untuk pengambilan keputusan hingga pemberian bantuan. Informasi yang dikumpulkan di lapangan harus valid dan menjangkau semua lapisan.
“Tidak hanya itu, komunikasi dari pemerintah daerah, khususnya juru bicara yang diangkat dalam penanganan bencana, tidak mampu memberikan informasi ke masyarakat. Orang tidak tahu ke mana untuk melapor, dan penanganan harian seperti apa,” ucap Syukri.
Sekretaris Daerah Sulbar Muhammad Idris menyampaikan, berbagai hal memang sedang dalam upaya penanganan saat ini. Data rumah terdampak gempa sedang dalam pencatatan dan validasi. Itu akan dipastikan bisa mendata semua korban terdampak.
Distribusi logistik, tambah Idris, terus berjalan dan dilakukan dengan secara bersama-sama dengan berbagai institusi yang terlibat. Pengiriman menggunakan jalur darat hingga udara untuk menjangkau daerah yang belum tersentuh pun dilakukan. ”Memang juga ada kendala informasi, seperti disampaikan teman-teman DPRD tadi. Kami terus evaluasi agar penanganan semakin maksimal,” ucapnya.
Wakil Ketua DPRD Sulbar Usman Suhuriah mengatakan, penanganan bencana yang dilakukan Pemprov Sulbar harus segera dievaluasi, terutama terkait pelayanan masyarakat, informasi ke publik, hingga pengumpulan data. Koordinasi juga wajib dibenahi agar penanganan bencana bisa menyelesaikan persoalan tuntas satu demi satu.
Kami berharap pemerintah berbenah dan segera menyelesaikan permasalahan dan mengantisipasi persoalan yang bisa timbul ke depannya.
”Penanganan bencana yang dilakukan Pemprov Sulbar ini gagap meski telah hampir dua minggu. Kami berharap pemerintah berbenah dan segera menyelesaikan permasalahan, juga mengantisipasi persoalan yang bisa timbul ke depannya,” kata Usman.
Kegagapan penanganan saat terjadi bencana seperti kaset usang yang terus terjadi. Distribusi logistik yang mampet, pendataan, hingga sulitnya pusat informasi yang kompeten menjadi cerita yang tidak ada habisnya. Di sisi lain, intensitas bencana kian hari semakin tinggi dan terus mengancam keselamatan warga.
Baca juga: Penyintas Gempa di Sulbar Bakal Dapatkan Dana Tunggu Hunian
Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Makassar, Adi Maulana berpendapat, kegagapan penanganan bencana berakar dari rendahnya pengetahuan bencana dari sumber daya manusia di daerah. Hal ini berimplikasi pada pengambilan keputusan dan penyelesaian teknis lapangan.
Dalam masa tanggap darurat, selain persiapan dan kesiapsiagaan, diperlukan pula koordinasi lintas intansi yang matang. Satu hal yang paling mendasar adalah pemenuhan kebutuhan korban bencana. Jika tidak ada pembenahan, beban masalah akan semakin membesar dan berkepanjangan.
Ujung-ujungnya, masyarakat yang sudah jatuh karena bencana akan tertimpa tangga pula.