Hibah Rp 9,5 Miliar untuk 100 Organisasi di Aceh Tuai Kritik
Dana hibah Rp 9,5 miliar untuk penanganan Covid-19 di Aceh bagi 100 organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan menuai kritik dari publik sebab dinilai tidak berdampak pada penanganan Covid-19 di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Aceh memberikan dana hibah Rp 9,5 miliar untuk penanganan Covid-19 kepada 100 organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan. Namun, kebijakan tersebut menuai kritik dari publik sebab dinilai tidak berdampak pada penanganan Covid-19 di Aceh.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA), Alfian, Kamis (28/1/2021), dalam diskusi publik Kupas Tuntas Polemik Dana Hibah, menuturkan, barangkali secara regulasi pemberiaan dana hibah tersebut tidak menyalahi, tetapi secara kepatutan dapat diperdebatkan.
Pemberian dana hibah kepada individu dan kelompok masyarakat diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi, dan Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Besaran dana hibah yang diberikan untuk 100 organisasi itu paling rendah Rp 32 juta dan paling tinggi Rp 100 juta. Adapun total alokasi sebesar Rp 9,5 miliar. Dana tersebut bagian dari anggaran daerah untuk penanganan Covid-19 Provinsi Aceh. ”Namun, kesimpulan bertentangan atau tidak, kami menunggu audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” kata Alfian.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 426/1675/2020 tentang penetapan 100 organisasi penerima dan besaran dana hibah tahun anggaran 2020. Surat itu ditandatangani pada 22 Desember 2020 menjelang akhir masa anggaran tahun berjalan.
Alfian mengatakan, ada tiga klasifikasi penerima dana hibah itu, yaitu organsiasi kepemudaan, organisasi kemahasiswaan, dan organiasi sayap partai politik. Namun, pemberiaan dana hibah tidak sepenuhnya mengacu pada tiga sektor fokus penanganan Covid-19, yaitu pengamanan jaringan sosial, ekonomi, dan kesehatan.
”Saya menemukan ada beberapa organisasi bagi-bagi uang untuk anggota. Saat persoalan ini mencuat baru mereka buru-buru bagi sembako,” ujar Alfian.
Koordinator Masyarakat Pengawas Otonomi Khusus Aceh, Syakya Meirizal, menuturkan, proses seleksi tidak transparan dan tidak ada penetapan kriteria kelayakan. ”Tidak diberikan kesempatan yang sama bagi organisasi pemuda. Padahal, pemuda-pemuda di kampung lebih layak dibantu,” kata Syakya.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Iskandar Muda, Banda Aceh, Lindawati menuturkan, pihaknya mendapatkan hibah Rp 100 juta. Uang tersebut digunakan untuk kegiatan sosial, seperti pembagian masker, sembako, dan pembersih tangan.
Tidak diberikan kesempatan yang sama bagi organisasi pemuda. Padahal, pemuda-pemuda di kampung lebih layak dibantu.
”Dana hibah ini bagian dari pembinaan organisasi dari pemerintah daerah. Kami melakukan sosialisasi penerapan protokol, tetapi tidak mungkin keberhasilan penanganan Covid-19 dinilai dari kegiatan organisasi pemuda,” ujar Lindawati.
Kepala Biro Humas Provinsi Aceh Muhammad Iswanto mengatakan, organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) di Aceh selama masa pandemi Covid-19 aktif membantu pemerintah menyosialisasikan kepada masyarakat agar tetap menjaga protokol kesehatan.
”Jadi itu bukan bagi-bagi uang, OKP itu sudah bekerja lebih dulu dengan dananya sendiri. Apa yang dilakukan ormas/OKP selama pandemi Covid-19 ini jauh lebih besar dibandingkan bantuan dari pemerintah,” ujar Iswanto.