Ikhtiar Ksatria Airlangga Memulihkan Penyintas Gempa di Majene
Di Kecamatan Sendana ini terdapat sekitar 630 warga dari Malunda dan Ulumanda yang mengungsi di ketinggian. Selama ini mereka belum merasakan bantuan medis yang baik sehingga RSTKA proaktif membantu para penyintas.
Oleh
M Ikhsan Mahar
·5 menit baca
Di bawah tenda terpal yang didirikan di Pelabuhan Palipi, Majene, Sulawesi Barat, Minggu (24/1/2021), Direktur Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga Agus Harianto menerima satu per satu para penyintas gempa yang mengeluhkan berbagai masalah kesehatan setelah lebih dari satu pekan berada di tenda pengungsian. Itu adalah kegiatan perdana Agus bersama tim dari RSTKA sejak tiba di Sulbar, Sabtu kemarin.
”Kaki dan pinggang saya kaku, Pak. Sudah beberapa hari, saya sulit berjalan,” kata Muslimin (60), pengungsi di Desa Totolisi, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene.
Setelah memegang anggota tubuh yang dikeluhkan Muslimin, Agus langsung menuliskan resep obat yang bertujuan untuk meredakan rasa sakit. Hanya menunggu sekitar lima menit, nama Muslimin dipanggil oleh sukarelawan RSTKA yang membawa dua obat untuk meredam nyeri persendian dan asam urat.
Bagi Muslimin kehadiran RSTKA amat membantunya yang sering menderita asam urat. Dalam lima hari awal di tenda pengungsian, atau hingga Rabu (20/1) lalu, Muslimin tidak bisa meninggalkan tendanya karena rasa sakit di lutut dan pinggangnya.
Ia sempat disambangi oleh petugas kesehatan dari Puskesmas Sendana 1, tetapi kehadiran tim Puskesmas di wilayah itu tidak dibarengi dengan membawa pasokan obat. Agus pun meminta Muslimim datang kembali ke Palubahan Palipi apabila masih merasakan nyeri ketika obatnya, yang dijatah untuk empat hari ke depan, telah habis.
Agus mengungkapkan, RSTKA awalnya ingin bersandar di Mamuju, tetapi karena fasilitas kesehatan di ibu kota Sulbar itu telah memadai, RSTKA memilih untuk hadir di Majene. Di Mamuju, tindakan medis untuk para korban gempa dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sulbar, KRI dr Soeharso, dan RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso.
”Di Kecamatan Sendana ini terdapat sekitar 630 warga dari Malunda dan Ulumanda yang mengungsi di ketinggian. Selama ini mereka belum merasakan bantuan medis yang baik sehingga kami berupaya proaktif untuk membantu para penyintas,” kata Agus.
Jarak antara kota Mamuju dan Pelabuhan Palipi sekitar 95 kilometer. Adapun Pelabuhan Palipi di Majene menjadi titik perhentian ke-44 bagi RSTKA yang telah memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di pulau kecil dan lokasi bencana sejak Oktober 2017. Penanganan penyintas gempa Sulbar menjadi misi perdana RSTKA di 2021.
RSTKA memiliki ruangan untuk melakukan operasi serta ruangan khusus untuk pasien yang menjalani perawatan sebelum dan setelah menjalani operasi. Kemudian, RSTKA juga membawa ribuan obat serta ratusan alat untuk melakukan tes usap antigen bagi para penyintas yang hendak dioperasi serta memiliki gejala Covid-19.
Kepala Puskesmas Sendana 1 Edy Warsan memastikan, dirinya siap membantu berbagai kebutuhan RSTKA. Pada Minggu kemarin, Edy telah mengerahkan dua dokter umum yang dimiliki puskesmas itu untuk membantu tugas Agus.
Petugas Puskesmas Sendana 1 juga menjadi tim pengurus administrasi. Mereka mendata nama, alamat, dan keluhan para penyintas gempa itu untuk membantu proses pendataan para penyintas.
”Puskesmas hanya memiliki dokter umum sehingga kehadiran RSTKA bisa membantu penyintas yang membutuhkan tindakan dokter spesialis,” ujar Edy.
Dalam hari perdananya memberikan pelayanan kesehatan di Majene, Agus memeriksa lebih dari 25 pasien. Ia menemukan sejumlah pasien mengalami trauma minor, seperti tertusuk benda dan tertimpa benda berat saat berusaha menyelamatkan diri pada gempa, 15 Januari lalu.
Salah satu penyintas gempa, Rahma (53), amat berharap kehadiran langsung tenaga kesehatan di tenda pengungsian. Rahma yang juga sempat menjalani pemeriksaan dengan Agus mengeluhkan sering merasa kembung pada malam hari serta sakit maag kambuhan karena waktu makan yang tidak teratur di pengungsian.
”Banyak pengungsi yang tidak mau berobat, padahal kondisinya lebih parah daripada saya. Mereka tidak ingin meninggalkan tenda dan keluarganya karena masih khawatir gempa susulan,” kata Rahma.
Untuk merespons keinginan warga, tim RSTKA juga akan membentuk tim cepat tanggap yang akan langsung mendatangi para penyintas gempa di sejumlah titik di 14 desa di Sendana.
Rencana itu akan dilaksanakan RSTKA ketika dokter sukarelawan telah hadir di Majene. Para dokter, yang hadir dari Surabaya (Jawa Timur) dan Makassar (Sulawesi Selatan) itu, akan mulai bertugas, Senin (25/1) ini.
Mulai awal pekan ini, RSTKA juga akan mulai melakukan operasi, salah satunya tindakan caesar untuk seorang ibu hamil. Secara total ada sekitar sembilan dokter yang akan bertugas selama RSTKA berada di Majene. Selain dokter umum, ada pula para spesialis, mulai dari ortopedi, anestesi, dan kandungan. RSTKA juga memiliki dua psikolog untuk membantu pemulihan trauma para penyintas.
Hikmah
RSTKA telah berlayar dari Surabaya sejak Minggu (17/1) lalu. Hanya gelombang tinggi di wilayah perairan menghambat perjalanan Ksatria Airlangga menuju Sulbar.
Ketika dalam perjalanan dari Surabaya menuju Pelabuhan Paotere, Makassar, gelombang tinggi mengakibatkan saluran satelit di kapal itu bermasalah. Alhasil, komunikasi dengan dunia luar sempat terputus.
Kemudian, saat hendak berangkat dari Makassar, Rabu lalu, RSTKA dilarang berlayar oleh petugas syahbandar karena cuaca buruk di perairan Selat Makassar. Alhasil, RSTKA baru bisa melanjutkan perjalanan pada Jumat kemarin dan tiba di Majene, Sabtu (23/1) pagi.
”Meskipun kami amat ingin tiba di Sulbar, tertahan di Makassar menghadirkan hikmah bagi kami. Pasalnya, kami jadi memiliki waktu untuk membeli peralatan masak dan bahan makanan untuk membuka dapur untuk pengungsi,” kata Agus.
Sekitar Rp 20 juta dikeluarkan RSTKA untuk membeli kebutuhan dapur untuk pengungsi dari Malunda dan Ulumanda. Bahan pokok yang disiapkan RSTKA cukup untuk memasak sekitar 600 porsi makanan selama 14 hari mendatang.
Makanan itu berisi nasi, lauk-pauk, dan sayuran. Agar efektif diterima para pengungsi di wilayah Sendana, seluruh nasi itu dibungkus untuk dibawa langsung ke tenda pengungsian.
Selain memenuhi kebutuhan perut para pengungsi, sukarelawan RSTKA akan memberikan program pemulihan trauma bagi para penyintas gempa.
”Bagi kami, dampak gempa yang paling terasa ialah aspek sosial. Masyarakat trauma kembali ke rumahnya, jadi ini yang perlu segera kami tangani bersama RSTKA,” ujar Edy.
Sesuai rencana, RSTKA akan berada di Majene selama masa tanggap darurat di Sulbar berlangsung hingga akhir Januari. Akan tetapi, Agus menekankan, masa waktu misi RSTKA di Majene bersifat fleksibel.
”Kami akan meninggalkan Majene ketika kondisi masyarakat telah berangsur pulih. Artinya, penyintas gempa sudah kembali ke rumahnya lagi, kemudian mereka juga telah kembali melaksanakan kegiatan sehari-hari,” kata Agus.
Layaknya kesatria, misi kemanusiaan RSTKA tidak akan surut sebelum penyintas gempa mampu mengikis rasa takut....