Hilir Mudik Pengungsi Merapi di Magelang Tingkatkan Risiko Penularan
Di tengah pandemi, pengungsi masih lalu-lalang rumah dan kembali ke pengungsian. Sekalipun berisiko menularkan Covid-19, aktivitas ini sulit dicegah dengan berbagai alasan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Para pengungsi dari lereng Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, hingga kini masih hilir mudik dari rumah ke tempat pengungsian dan sebaliknya. Meski meningkatkan risiko penularan Covid-19, aktivitas tersebut sulit dicegah.
Afandi, koordinator barak pengungsian sekaligus perangkat Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, mengatakan, selain berisiko menularkan Covid-19, kepulangan pengungsi ke rumah semula dilarang karena dinilai membahayakan keselamatan. Namun, belakangan, seiring kian menipisnya persediaan logistik di barak pengungsian, hal itu tak bisa lagi dicegah.
”Karena kami di sini juga membutuhkan pasokan sayuran dari desa, pengungsi pun akhirnya kami persilakan pulang,” ujar Afandi, Selasa (26/1/2021).
Balai Desa Banyurojo saat ini menampung warga Dusun Babadan I, Desa Paten, Kecamatan Dukun. Jumlah warga Dusun Babadan I yang pulang sekitar 5 orang hingga 10 orang per hari. Beberapa orang di antaranya pulang pada pagi hari dan kembali ke pengungsian pada sore hari. Namun, sebagian di antaranya ada yang sempat tinggal di rumah selama dua hingga tiga hari dan baru setelah itu kembali ke barak.
Para pengungsi diperbolehkan pulang ke rumah untuk kembali melakukan aktivitas pertanian. Diharapkan, hasil panennya dapat dimanfaatkan untuk memasok logistik selama bulan-bulan berikutnya di pengungsian. ”Kami harus tetap memikirkan kebutuhan sayuran karena juga tidak tahu sampai kapan warga Dusun Babadan I harus bertahan di pengungsian,” ujarnya.
Wahyudi, salah seorang koordinator pengungsi asal Dusun Babadan I, mengatakan, warga sebenarnya juga berharap untuk pulang karena mereka harus bertani demi memenuhi kebutuhan hidup. ”Karena tertahan di pengungsian, saat ini kami terbilang terlambat untuk memulai aktivitas cocok tanam. Pada kondisi normal, di awal tahun seperti sekarang, kami seharusnya sudah mulai bersiap panen,” ujarnya.
Sudarno, Kepala Dusun Babadan II di Desa Paten, Kecamatan Dukun, mengatakan, dirinya tidak melarang kepulangan pengungsi karena mereka memang perlu bercocok tanam demi alasan ekonomi. Dia juga meyakini kepulangan warga tidak membahayakan karena mereka hanya beraktivitas di kebun dan rumah.
”Saat pulang, mereka tidak bepergian dan tidak berinteraksi dengan orang luar. Para pengungsi hanya akan menjalankan aktivitas di lahan dan setelah itu pulang ke rumah,” ujarnya.
Sebanyak 54 warga Dusun Babadan II saat ini mengungsi di Tempat Evakuasi Akhir (TEA) Desa Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan. Nur Asiyah, salah seorang bidan di Desa Paten yang sekaligus bertugas sebagai tenaga kesehatan di posko kesehatan TEA Desa Mertoyudan, mengatakan, saat pulang, pengungsi biasanya hanya mengurus lahan.
Mereka juga tidak memasarkan sayuran ke luar kota karena biasanya para pengepul yang mendatangi mereka di kampung. ”Dengan melihat aktivitas di desa, saya menilai perilaku mereka terbilang aman dan tidak berisiko menularkan penyakit,” ujarnya.
Bayi sakit
Di Desa Banyurojo, seorang bayi asal Dusun Babadan II yang sering dibawa ibunya pulang pergi ke rumah dan ke pengungsian akhirnya menderita demam. ”Karena bayi dalam kondisi sakit, saya pun meminta agar untuk sementara ini ibunya tidak bepergian terlebih dahulu,” ujar Gunaryati, salah seorang tenaga kesehatan di pos kesehatan di Desa Banyurojo.
Sejak awal Januari hingga sekarang, jumlah pengungsi yang memeriksakan diri ke pos kesehatan mencapai 67 orang. Di luar bayi yang menderita panas, kebanyakan pasien mengeluhkan gejala ringan, seperti pusing dan gatal-gatal saja.
Warga Dusun Babadan I dan Babadan II saat ini terdata masih bertahan di pengungsian. Adapun total pengungsi dari dua dusun tersebut mencapai 319 orang.
Warga dari dua dusun ini sempat pulang meninggalkan pengungsian pada akhir Desember 2020, tetapi akhirnya kembali ke lokasi pengungsian pada awal Januari 2021.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang Retno Indriastuti mengatakan, sebelum kembali ke pengungsian pada Januari 2021, warga terlebih dahulu menjalani tes cepat. Dari tes tersebut sempat diketahui sembilan orang reaktif, tetapi setelah menjalani tes antigen, semuanya dinyatakan negatif.
Kendati demikian, mekanisme serupa tidak diberlakukan untuk pengungsi yang kini sudah bolak-balik pulang rumah lalu kembali pengungsian.
”Hingga saat ini, kami belum mendapatkan pedoman atau arahan dari pemerintah pusat terkait pengungsi dengan mobilitas tinggi tersebut. Oleh karena itu, tes cepat pun tidak kami lakukan pada mereka,” ujarnya.