Januari 2021, Dampak Kerugian Bencana di Aceh Rp 11,6 Miliar
pemulihan hutan, normalisasi sungai, dan penataan kawasan sesuai fungsi harus dilakukan untuk memitigasi bencana banjir. Jika ini tidak dilakukan banjir akan selalu mengancam wilayah Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Selama Januari 2021 terjadi sebanyak 62 kali bencana alam di Provinsi Aceh dengan nilai kerugian Rp 11,6 miliar. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan angin puting beliung paling sering terjadi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Ilyas, Senin (25/1/2021) menuturkan bencana hidrometeorologi terjadi 49 kali dan bencana kebakaran permukiman 13 kali. Banjir luapan sungai terjadi sebanyak 28 kali.
Banjir terjadi di Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Besar, Pidie, dan Langsa. “Sebanyak 305 desa terendam dan sebanyak 33.380 jiwa warga terdampak,” kata Ilyas.
Ilyas mengatakan bencana hidrometeorologi terjadi semakin masif karena hujan ekstrem dan kondisi lingkungan yang buruk. Sepanjang 2019 laju deforestasi hutan di Provinsi Aceh mencapai 15.140 hektar atau setara dengan 14.000 kali lapangan sepakbola profesional. Sebagian besar kerusakan dipicu perambahan perkebunan dan pembalakan liar.
Sungai dangkal
Menurut Ilyas berkurangnya tutupan hutan akibat aktivitas pertanian memicu kerusakan sungai. Material kayu sisa-sisa ilegal logging dan juga material batu sisa tambang ilegal menyebabkan sungai-sungai menjadi dangkal. Saat ini 20 daerah aliran sungai (DAS) skala besar di Aceh dalam keadaan rusak. Selama ini DAS tersebut sering meluap saat debit air naik.
“Aktivitas tambang di daerah hulu membuat kestabilan struktur tanah terganggu. Saat hujan di hulu akan memicu banjir bandang dan longsor di daerah hilir,” ujar Ilyas.
Ilyas menuturkan perlu pemulihan kawasan hulu dengan menanam pohon dan dan warga perlu menjaga sungai dengan tidak membuang sampah ke sungai. “Kita harus arif dan bijak dalam berinteraksi dengan alam. Kalau kita menjaga alam, alam akan menjaga kita,” tutur Ilyas.
Kajian risiko bencana Aceh 2016-2020 yang disusun BPBA menyebutkan, 19 kabupaten/kota di Aceh memiliki risiko tinggi terhadap bencana banjir. Adapun luas lahan yang digenangi banjir di Aceh mencapai 1,5 hektar. Dari 5,5 juta penduduk Aceh, sebanyak 4,2 juta berpotensi terdampak banjir.
Kawasan yang selama ini sering banjir adalah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Langsa, Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Jaya. Dalam setahun Aceh mengalami kerugian Rp 291 miliar karena bencana alam.
Selama ini banjir sering terjadi pada kawasan 20 DAS ini. Selama DAS ini belum pulih potensi banjir tetap ada. (Eko Nur Wijayanto)
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh Eko Nur Wijayanto mengatakan dari 974 daerah aliran sungai (DAS) dan Sub DAS di Aceh sebanyak 20 DAS kondisinya rusak. DAS yang rusak itu di antaranya DAS Tamiang, Peureulak (Aceh Timur), Jambo Aye (Aceh Utara), Peusangan (Bireuen), Meureudu (Pidie Jaya), dan Panga (Aceh Jaya).
“Selama ini banjir sering terjadi pada kawasan 20 DAS ini. Selama DAS ini belum pulih potensi banjir tetap ada,” kata Eko.
Eko menuturkan total 2,7 juta hektar lahan di 20 DAS yang rusak tersebut perlu dipulihkan. Pemulihan dilakukan dengan menanam pohon dan membuat insfrastruktur fisik. Adapun luas lahan yang sangat kritis adalah 141,669 hektar.
DAS merupakan satu kawasan aliran air hujan mengalir dari titik tinggi hingga ke sungai. Berkurangnya tutupan hutan mempercepat kerusakan DAS. Kerusakan DAS menyebabkan daya serap air tanah berkurang. Akibatnya air hujan tidak mampu diserap sehingga langsung mengalir ke sungai.
Air hujan mengalir ke sungai membawa serta material seperti tanah dan bebatuan sehingga sungai menjadi dangkal. Pada musim hujan hanya sedikit air yang mampu diserap oleh tanah selebihnya mengalir ke sungai. Pada saat yang sama sungai dalam keadaan dangkal sehingga air meluap ke permukiman warga.
Pada 2019, BPDAS Krueng Aceh menanam pohon sebanyak 500.000 ribu batang dan pada 2020 sebanyak 350.000 batang. Namun, upaya itu belum cukup untuk memulihkan DAS yang rusak.
Dosen Konservasi Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Teuku Muhammad Zulfikar mengatakan pemulihan hutan, normalisasi sungai, dan penataan kawasan sesuai fungsi harus dilakukan untuk memitigasi bencana banjir. Jika ini tidak dilakukan banjir akan selalu mengancam wilayah Aceh.
"Pemulihan hutan, normalisasi sungai, dan penataan kawasan sesuai fungsi harus dilakukan untuk memitigasi bencana banjir. Jika ini tidak dilakukan banjir akan selalu mengancam wilayah Aceh," katanya.