Dua Jenazah Covid-19 di NTT Dibawa Pulang Paksa Keluarga
Dua jenazah di NTT diambil paksa keluarga karena menilai rumah sakit tidak jujur sejak awal menetapkan pasien itu terpapar Covid-19 dan dinyatakan tertular virus korona setelah meninggal di rumah sakit.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
BA’A, KOMPAS — RN (67), pasien Covid-19 di RSUD Ba’a Rote Ndao yang meninggal, diambil paksa keluarga. Alasannya selama masuk rumah sakit, manajemen tidak pernah memberlakukan RN sebagai pasien Covid-19, tetapi ketika meninggal dinyatakan akibat terpapar Covid-19. Ambil paksa pasien Covid-19 juga terjadi di RSUD TC Hillers Maumere, dengan alasan keluarga ingin memakamkan sendiri.
Marthen Sae Suek (45), anggota keluarga RN dihubungi di Ba’a, ibu kota Rote Ndao, Minggu (24/1/2021), mengatakan, RN memiliki riwayat sakit asma. Dalam dua pekan terakhir asma RN kambuh sehingga keluarga memutuskan membawa ke RSUD Ba’a, sekitar 16 kilometer dari kediamannya. Ia masuk rumah sakit, Jumat (22/1/2021).
Menurut Marthen, sejak awal masuk sampai dengan Minggu, 24 Januari 2021 pagi hari, sebelum mengembuskan napas terakhir, tidak ada informasi dari rumah sakit bahwa pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Selama RN sakit, semua anggota keluarga memperlakukan RN sebagai orang yang sakit biasa sehingga mereka tidak mematuhi protokol kesehatan, bahkan salah satu cucu RN tidur bareng neneknya di rumah sakit itu.
”Satu jam setelah meninggal, pihak rumah sakit menyampaikan bahwa pasien meninggal karena Covid-19. Itu pun hanya berdasarkan hasil tes antigen yang dinyatakan reaktif,” ujarnya. Hasil spesimen PCR masih antre di Laboratorium Biomolekuler RSUD Yohannes Kupang dan butuh waktu 5-14 hari lagi.
Pihak keluarga pun membawa paksa jenazah RN ke kampung asal di desa Modosina Kecamatan Rote Barat Laut. Jenazah itu digotong beramai-ramai oleh anggota keluarga dari dalam rumah sakit menuju kendaraan truk yang sudah siap membawa jenazah ke desa asal.
Satu jam setelah meninggal, pihak rumah sakit menyampaikan bahwa pasien meninggal karena Covid-19. Itu pun hanya berdasarkan hasil tes antigen yang dinyatakan reaktif. (Marthen Sae)
Setelah jenazah dibaringkan sekitar tiga jam di rumah duka di desa itu, datang tim Satgas Covid-19 Rote Ndao terdiri dari anggota kepolisian Polres Rote Ndao, dan Kepala Dinas Kesehatan Rote Ndao. Setelah memberikan pemahaman kepada keluarga, tim Satgas Covid-19 membawa jenazah dari desa untuk dimakamkan sesuai protokol kesehatan di tempat pemakaman yang sudah disiapkan.
Sementara itu, juru bicara Satgas Covid-19 Sikka bidang kesehatan Clara Yosefina Francis mengatakan, pasien yang meninggal Sabtu (23/1/2021) malam berinisial SM (76) asal Desa Mageloo, Kecamatan Magepanda. SM dirawat di ruangan isolasi Covid-19 sejak Selasa (19/1/2021).
Pemakaman
Ia dirujuk dari Puskesmas Magepanda dengan keluhan sesak napas. Saat tiba di unit gawat darurat RSUD Maumere itu dilakukan tes cepat antigen, hasilnya reaktif. Sementara hasil tes PCR masih menunggu dari Laboratorium PCR di Kupang. Hasil itu biasanya keluar 4-14 hari.
Karena itu pihak rumah sakit memasukkan pasien yang meninggal itu dengan status probable Covid-19, dan proses pemakaman sesuai dengan protokol kesehatan ini. Ini, memang sesuai standar pemakaman Covid-19.
Akan tetapi, pihak keluarga menolak proses pemakaman sesuai dengan protokol kesehatan. Mereka mengambil paksa jenazah SM untuk dibawa ke kampung asal di Mageloo, Magepanda untuk dimakamkan di sana.
Anggota keluarga SM, Goris Mbasa, mengatakan, keluarga tidak begitu saja memercayai rumah sakit. Sejak pasien masuk rumah sakit tidak ada informasi bahwa pasien itu terpapar Covid-19. Akan tetapi, setelah meninggal kemudian disampaikan bahwa pasien itu meninggal dengan status probable Covid-19.
Kepala Dinas Kesehatan Sikka Petrus Herlemus mengatakan, hasil diagnosis kedokteran tidak bisa dibantah, apalagi ditegaskan dengan hasil laboratorium. Ia mengatakan, memutuskan seseorang masuk ruang isolasi bukan hal sepele.
Apakah keluarga menyiapkan lokasi untuk pemakaman jenazah atau tidak. Kalau sudah siap Satgas Covid-19 akan melakukan pemakaman sesuai dengan protokol kesehatan. Kalau keluarga tidak memiliki lahan sendiri, pemerintah sudah menyiapkan lahan untuk penguburan jenazah probable Covid-19 ini.
Direktur Yayasan ”Tukelakang” NTT Marianus Minggo mengatakan, yang dibutuhkan keluarga dari pihak rumah sakit adalah keterbukaan mengenai kondisi kesehatan pasien dan status penyakit pasien. Jika pemeriksaan PCR itu berlangsung di Kupang, butuh waktu sampai dua pekan, itu pun perlu dijelaskan kepada keluarga pasien sehingga tidak ada kesalahpahaman terkait penetapan status pasien itu Covid-19 atau tidak.
Kejadian di Rote Ndao dan Sikka sebagai akibat dari pemeriksaan spesimen PCR di Kupang butuh waktu sampai 14 hari bahkan lebih. Ini membuat pihak keluarga sulit menerima pernyataan dari pihak rumah sakit mengenai penetapan status Covid-19 terhadap jenazah pasien itu,” kata Minggo.
Ia mengatakan, banyak masalah muncul terkait penanganan Covid-19 di NTT, selama 21 kabupaten/kota hanya bergantung pada satu alat tes PCR di Kota Kupang. Mestinya, NTT memiliki 6-7 alat pemeriksaan PCR, tersebar di Flores, Sumba, dan Timor sehingga mempercepat proses pemeriksaan.
Hampir semua daerah di NTT memiliki alat tes molekuler (TCM), tetapi hasil TCM itu harus dipastikan melalui tes PCR. Itu hanya bisa dilakukan di Kupang. Sementara alat tes PCR di Kupang, setiap hari ada ratusan bahkan ribuan sampel spesimen PCR antre. Rata-rata alat itu bisa memeriksa 180 spesimen per hari.